news dan tips - tips simple

Gerak Jalan Gayeng Kabupaten Banjarnegara Tahun 2014 yang ke Lima

09.03.00


      Rabu, 22 Oktober 2014 - Dalam rangka memeriahkan HAORNAS (Hari Olahraga Nasional) dan memperingati hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada tanggal 28 Oktober, DPD KNPI dan Pemda Kabupaten Banjarnegara bekerjasama dengan BMB (Banjarnegara Muda Berkarya) kembali menyelenggarakan gerak jalan gayeng untuk ke lima kalinya dengan tema “Membangkitkan semangat juang, bersatu untuk kemajuan Banjarnegara dan Indonesia”. Gerak jalan gayeng Banjarnegara yang ke lima ini merupakan sarana silaturahmi serta wujud dari usaha untuk menggali potensi Banjarnegara.
          Pada agenda tahunan ini juga masyarakat Banjarnegara juga bisa berpartisipasi dalam memeriahkan lomba gerak jalan gayeng dengan menjadi peserta. Target Peserta Sebanyak 150 Regu x 11 Orang / Regu Sehingga Jumlah Keseluruhan 1.650 Orang. Dalam lomba ini terbagi ke dalam dua kategori yaitu kategori umum putra - putri, kategori pelajar putra - putri.Kategori umum putra maupun putri terdiri dari karyawan - karyawati, TNI, Polri, PNS, Swasta, BUMN, BUMD, Sekertariat DPRD, DPPKAD dan seluruh organisasi masyarakat se- kabupaten Banjarnegara. sedangkan kategori pelajar putra – putri terdiri dari pelajar SMP/MTs hingga SMA/MA yang ada di Banjarnegara.
Para peserta wajib hadir sebelum 30 menit keberangkatan dan melakukan registrasi ulang ditempat star dengan menggunakan kostum regu sesuai tema. Start dimulai di halaman DISHUBKOMINFO dan finish di alun – alun kota dengan jarak 3 km. Tiap regu terdiri dari 11 orang termasuk ketua didalamnya. Lomba gerak jalan gayeng dilepas dengan dikibarkannya bendera start.
“Untuk pengambilan juara akan dipilih empat kategori, yaitu kategori umum putra, kategori umum putri, kategori pelajar putra dan kategori pelajar putri. Dari tiap kategori akan diambil juara satu sampai tiga. Setiap juara nantinya berhak mendapat piala dan uang pembinaan serta sertifikat dari bupati. Pemenang akan di nilai dari kekompakan, kreativitas, yel – yel, dan sejauhmana regu bisa mengibur masyarakat” Tutur Sidik Wibowo Ahmad selaku ketua DPD KNPI Banjarnegara.
Semoga acara gerak jalan gayeng yang ke lima ini bisa menumbuhkan semangat masyarakat Banjarnegara dan kecintaan pada budaya daerah. Agenda tahunan ini selain sebagai usaha menggali potensi juga bisa diartikan sebagai hiburan rakyat. Kedepannya acara serupa akan terselenggara berkat kerjasama putra daerah. Kota Banjarnegara yang terkenal dengan julukan kota Dawet Ayu ini agaknya mengalami metamorfosis pada tiap generasinya.

Celoteh

Gerimis dan Airmata di Penghujung Malam (Cerpen Remaja)

08.10.00



Air mataku masih berderai ketika para senior mengisi ruang asing ini dengan berbagai celotehan. Dipojok ruang kelas yang cukup luas ini aku termangu disamping anak perempuan yang baru kukenal semenit yang lalu. Mataku sesekali tertuju pada dua poster yang berjejer dengan ukuran yang sama diatas papan putih. Aku kenal siapa mereka, mungkin lebih tepatnya aku tahu persis bahwa mereka adalah orang paling berpengaruh dinegeri ini.Dengan wajah sumpringah mereka mengenakan peci hitam dengan background bendera merah putih yang gagah. Bisa ditebak bukan? Presiden dan wakilnya, waktu itu Bapak SBY dan Jusuf Kalla. Sesekali aku menengadahkan wajah keatas sebagai kamuflase agar tak terlihat menangis. Andai saja mereka dan makhluk manis berpita ping disampingku ini mengerti air mataku yang meleleh karena rindu. Agaknya aku masih makhluk ingusan, layaknya anak itik yang tak bisa jauh dari induknya. Satu alasan lagi mengapa rasanya begitu asing disini, aku anak pindahan yang sebelumnya telah mengikuti stu hari masa orientasi (pengenalan) disekolah menengah pertama. Anak pindahan tentunya menjadi sasaran empuk bagi senior. Tapi berbeda denganku, karena sebelumnya kepala sekolah sendiri yang langsung terjun ke lapangan demi memperkenalkan siapa anak baru ini. itulah alasan mengapa mereka tak begitu menjadikanku sasaran kejahilan. Tanpa alasan aku airmata bercucuran disudut mataku.
“Yang bernama Rifa silahkan maju kedepan untuk mengenalkan diri”
Tiba – tiba ruang ini hening dan perlahan semua wajah yang sebelumnya menghadap kedepan kini menuju kerahku. untuk maju kedepan kelas rasanya agak canggung, tapi aku tak bisa mengelak. Dengan kekuatan yang sedikit demi sedikit kukumpulkan aku melangkah menuju tempat panas itu. Sesekali aku melihat para anggota OSIS yang tadi memanggilku.
“Selamat pagi, perkenalkan nama saya Rifa Syarif. Saya pindahan dari SMP Bina Bakti seminggu yang lalu. Hobi saya membaca manga dan menonton anime Jepang, Arigato” mereka nampaknya agak terhenyak saat kata terakhir yang berbahasa Jepang itu terlontar dari mulutku. Biarlah, toh aku suka jika mereka kagum denganku. Ketika membungkuk sembari mengatakan ucapan terima kasih dengan bahasa dari negeri matahari terbit itu, seluruh isi kelas menjadi riuh penuh dengan beberapa siulan.
First Class....
Ini hari pertama aku masuk setelah masa orientasi. Memasuki gerbang rasanya ada tatapan aneh dari beberapa siswa yang duduk dipelataran kelas. Aku berusaha setenang mungkin saat berlalu melewati mereka. Sudah bukan hal baru lagi bagi mereka untuk menggoda murid baru. Aku berlalu saja tanpa meladeni mereka, tak penting juga. Sesampainya dikelas aku berusaha memberi senyum seramah mungkin pada seisi kelas. Dan hasilnya benar – benar mujarab, mereka membalas senyumku.
“kamu bawa baju olah raga kan?” tanya makhluk perpita ping disebelahku
“bawa, tapi bukannya itu jam kedua ya” tanyaku menyelidik
“iya sih, cuman tadi pak Radit masuk kelas buat ngasih tahu kalau olah raga diganti jam pertama” jawabnya sembari melihat kearahku yang mengangguk perlahan.
Untuk ukuran guru, beliau terlihat lebih muda dari kebanyakan guru disekolah ini. parasnya yang tampan nampaknya membuat banyak murid begitu antusias untuk berolah raga. Kuakui ada rasa kagum juga yang terselip dihatiku, tapi aku tak mau berlebihan seperti geng senior atau temanku yang berpita ping ini. sialnya lagi pemanasan menjadi lebih singkat karena permainan bolal basket antara putra dan putri akan segera dimulai. Semua siswa masuk tim, tak terkecuali aku. Dengan muka masam aku mengejar ke segala penjuru untuk merebut bola orange itu. Hasilnya tetap saja nihil, hingga sesekali aku berdiri mematung dipojok lapangan. Saat aku menoleh aku kaget bukan main karna sebuah bola orange  membentur tembok yang berbanding lurus denganku. Dengan hitungan detik bola itu memantul tepat kearahku. Aku terjatuh saat wajahku terhantam keras, kurasakan bau anyir darah segar yang mengalir dari bibir bagian atas. Seluruh siswa mengerumuniku, lalu pak Radit menggendongku menuju UKS. Kira – kira begitulah kronologi yang kuingat sebelum tak sadarkan diri. Masih dengan keadaan terbaring aku bisa melihat teman – temanku menemani dan sesekali memijit lengan serta kakiku. Wajah mereka terlihat khawatir dengan keadaan yang menimpaku.
“Siapa sih yang bego banget benturin bola ketembok tadi?” tanyaku dengan ekspresi datar
“Emm.. tadi tuh yang pegang bola si Dino, dia jago basket dari SD, kayaknya dia bakal jadi kapten basket deh disekolah ini” tutur si pita ping sembari membenarkan segala aksesoris dirambutnya.
Bukannya membantu dengan menenangkan, dia malah cerita panjang lebar mengenai makhluk menyebalkan bernama Dino. Memangnya sekeren apa cowok yang jago main basket akan tetapi untuk meminta maaf saja nampaknya tak berani.
“Permisi” suara ketukan pintu disertai bunyi pintu yang berderik perlahan. Nampaknya ada teman yang akan menjengukku. Masih menerka siapa yang masuk aku dibuat, dalam hitungan detik aku dibuat  terhenyak dengan makhluk yang tadi membuatku cidera. Dalam hati aku sudah menyiapkan berbagai umpatan sinis yang akan kulontarkan padanya. Nampaknya ia tahu niatanku, hingga dengan gerak cepat ia membalikkan badan dan keluar dari UKS. Dasar pengecut! Umpatku dalam hati. Entah apa juga yang membuat teman – temanku terpana dengan kedatangannya hingga berekspresi berlebihan seperti melihat artis bertaraf internasional.
“Aku minta maaf ya Rifa, tadi aku benar – benar gak sengaja benturin bola ketembok. Kamu gak papa kan?” katanya dengan wajah tulus dan kehadiran kedua yang mengagetkan. Tangannya mengulurkan sebuah bingkisan persegi panjang berwarna keemasan. Spontan aku menerima pemberiannya tanpa ucapan terima kasih dan juga tanpa umpatan yang sebelumnya telah kusiapkan. Kudengar bisik – bisik dan deheman kecil para makhluk di UKS. Cukup lama aku dan dia berpandangan mata, aku rasanya tersihir oleh pesona makhluk itu. Benarkah? Senyuman kecil nan manis juga tersungging diwajahnya hingga membuatku tak berkutik mengumpat ataupun marah terhadapnya. Darahku berdesir saat matanya menatapku, perasaan macam apa ini. dengan bahasa tubuh, ia mengisyaratkan bahwa ia pamit keluar, dan kedua kalinya aku mengagguk pasrah.
“Ciyee.. katanya tadi dia itu bego terus mau kamu omelin habis – habisan. Eh gak taunya malah pandang – pandangan gitu, kayaknya ada yang  falling in love at the first sign nih” makhluk berpita ping itu menggoda dengan mencubit lengan dan diiringi tawa tertahan seisi makhluk di UKS. Dan untuk ketiga kalinya, makhluk bernama Dino itu kembali ada dihadapanku secara tiba – tiba. Dengan agak tersipu malu, ia mengulurkan tangannya untuk meminta maaf. Rupanya ia kembali ke ruang ini hanya karena tadi ia lupa tak bersalaman tangan denganku. Akupun tak luput dari wajah memerah bak tomat di dapur rumah.
Dino, sosok itu entah kenapa tiba – tiba sering berkelebat dianganku. Guratan senyum dan ekspresi yang khas itu sungguh mengisi ruang yang kosong. Semenjak tragedi pelemparan bola basket itu, aku dan Dino sering berpapasan ditangga atau sekedar melihat dari jarak tak begitu jauh. Inikah yang orang katakan cinta pada pandangan pertama? Mungkinkah? Anak yang membuatku cidera justru membuatku membuka rasa pertama kalinya. Senyum lebar itu tak pernah luput ia berikan jika bertemu denganku. Tak terhitung bulan, kami menjadi begitu dekat. Bukan hal yang aneh jika ini menjadi alasan mengapa aku diasingkan dan dihujani tatapan sinis senior dan beberapa teman satu kelas. Si pita pink yang dulu duduk bersebelahan denganku, kini ia hijrah kebangku depan. Aku memang tahu, dari caranya menatap atau bahkan bahasa tubuh yang ia berikan adalah tanda bahwa ia menyimpan rasa pada Dino. Tapi apakah ini kesalahanku jika kini Dino lebih dekat denganku daripada dengannya? Benar jika awalnya aku sama sekali tak tertarik untuk mengenal sosok Dino, apalagi ia adalah pelaku utama dari cidera yang kualami. Dan kedekatan kami mengalir perlahan hingga membuat aku dan ia begitu dekat sekarang. Setiap satu minggu sekali kami saling berkunjung kerumah, sekedar mengulang pelajaran. Rumahnya terbilang sangatlah unik, agak beda darai rumah – rumah dikomplek perumahan. Dengan khas Jawa yang kental dengan ukiran – ukiran klasik dari kayu jati. Sekilas aku  bisa menerawang jika penghuninya pasti budayawan dari Jawa. Saat memasuki gerbang setinggi pundak orang dewasa, aku juga disambut dengan bangunan khas Jawa bernama Joglo, kudapati ada patung Yesus disana. Apakah keluarga Dino itu non muslim? Sebersit tanya kembali menyeruak didalam hati. Kupikir ibuku pasti tak suka jika aku bergaul dengan kalangan yang berbeda keyakinan. Kata ibu, itu akan seperti membuka luka yang sudah lama tertutup benang. Setiap kali ibuku mendengar mengenai umat Kristiani, entah mengapa airmatanya perlahan tercucur dari kelopak matanya. Seringkali rasa penasaran mengusikku untuk bertanya, tapi semua itu kuurungkan. Masih terekam jelas saat aku menanyakan ada apa dengan umat Kristiani, mengapa ibu terkesan menjauhkanku dari hal itu. Kebekuan menjadi jawabannya hingga aku berusia enam belas tahun, sekarang ini.
“Eh, ada tamu rupanya. Siapa ini kok cantik sekali Dino?” kata perempuan yang seumuran dengan ibuku dibalik rimbunnya tumbuhan yang sedang disiraminya.
“Kenalin bunda, ini teman baru aku namanya Mawar. Dan Mawar, kenalkan ini bundaku yang paling cantik” ucap Dino sambil terkekeh.
Usai bersalaman, tante mempersilahkan kami untuk masuk dan mengambil minum, katanya anggap saja seperti rumah sendiri. Gerak – gerik wanita itu tak jauh berbeda dari wanita paruh  baya lainnya, terutama ibuku.
“Mawar, aku keatas dulu, kamu tunggu disini sambil baca koleksi buku dilemari yang berwarna coklat aja” katanya mempersilahkan, sedang aku hanya mengangguk pelan.
Ruang tamunya lebih mirip ruang baca diperpustakaan daerah yang biasa aku singgahi. Ada tiga lemari disana, ketiganya berbeda warna dari warna coklat, merah tua, dan hitam. Mataku menjelajah kearah lemari berwarna coklat, disana ada foto Dino bersama bundanya yang menggendong bayi, disamping wanita itu juga ada sosok pria gagah yang tersenyum lebar. Sekilas rasanya aku tak asing dengan wajah pria itu, ingatanku memutar berusaha mencari – cari siapa sosok itu.
“Pak Radit” kataku perlahan, jadi benarkah jika pria difoto keluarga itu adalah guru olahraga disekolah kami. Apakah ini berarti jika Dino adalah anak pak Radit?
“Itu ayah, oh iya aku belum pernah cerita kekamu kalau pak Radit ayah aku ya” ungkapnya mengagetkanku.
“Eh, iya aku juga gak pernah nanya kok” berusaha tersenyum simpul menyingkapinya.
Aku menyiapkan buku untuk bahan belajar kami. Sesekali aku melihat wajah Dino yang amat serius mengajariku matematika. Aku rasa ia sadar kuperhatikan, hanya saja ia berusaha tak tampil canggung.
“Dino, maaf ya aku mau nanya, keluarga kamu kristian?” tanyaku disela keheningan dengan agak takut menyinggung perasaannya.
“Emm.. iya mawar, kenapa? Apa kamu antipati dengan non muslim?” tanyanya kembali dengan raut tenang. Sedang aku hanya menggeleng perlahan berbumbu senyum.
Tak terasa sudah dua jam aku singgah dirumahnya. Dan kini aku bingung bagaimana aku bisa pulang karena angkutan kota sudah tidak beroperasi lagi sesore ini. Agaknya Dino dan bundanya memahami apa yang ada dipikiranku. Wanita  menyuruhku menunggu sekitar satu jam lagi saja, agar ayah Dino bisa mengantarku pulang. Aku tak punya pilihan lain, secepat mungkin kukabari ibu dirumah. Entah keajaiban atau anugrah, ibu hanya mengiyakan tanpa  bertanya berlebihan seperti biasanya, mungkin karena sebelumnya Dino pernah berkunjung dirumahku, jadi ibu merasa tenang. Selama menunggu ayah Dino pulang, aku dan dan Dino duduk ditaman belakang rumah. Banyak hal kami saling bagi mengenai hidup kami.
“Eh, kemarin waktu aku main kerumahmu maaf ya aku belum sempat ketemu ayah kamu” Ucapan Dino menyentak hati, aku baru sadar jika sudah tiga belas tahun sosok ayah hilang dari keluarga kami. Aku tak ingat seperti apa wajah yang dulu sering membopongku dengan riang.
“Dino, aku mohon kamu jangan lagi membahas mengenai ayahku. Aku benci dia, kata ibu ia sudah pergi meninggalkan kami demi wanita lain yang seiman dengannya” aku tertunduk lesu. Aku bisa melihat ada raut tak enak dari wajah Dino, sedang ia tak lagi berkata – kata. Suasana menghening seketika.
“Eh... Mawar, ayo om antar pulang nanti keburu kamu dicariin ibumu lho” suara sumpringah itu melunturkan kebekuan diantara aku dan Dino.
Ditengah perjalanan aku banyak bercerita mengenai banyak hal. Begitupun ayah Dino mengatakan bahwa ia dulu juga punya anak perempuan yang seumuran dengan Dino. Aku menelisik lebih dalam keterangannya, dulu pernah punya anak seumuran Dino? Lalu dimana anak itu sekarang, bukankah difoto keluarga hanya ada bayi perempuan yang umurnya terpaut jauh dengan Dino?
Setibanya digerbang rumah, kulihat ibu sudah menunggu dengan membawa payung. Malam ini gerimis turun perlahan. Pak Radit membukakan pintu untukku dan mendekat kearah ibu.
“kamu? Apa yang kamu lakukan disini, kenapa mawar bersamamu? Tak cukupkah kau menyiksa kami dulu dengan penghianatanmu?” ibu berteriak histeris dengan mengacungkan jari telunjuknya ke wajah pak Radit. Aku bingung dengan maksud dari kalimat yang terlontar itu. Ibu menyuruhku untuk masuk kedalam.
“jadi mawar anakku? Maafkan aku Retno, dulu aku tak kuasa menolak permintaan orang tuaku untuk menikah lagi dengan wanita kristian yang notabene seiman denganku”
Aku lunglai dibalik gerbang, aku menyandarkan punggungku digerbang dalam. Payung yang sebelumnya melindungiku dari rintik air itu kini terhempas angin. Dengan tubuh basah aku bisa mendengar segala tutur kata mereka diluar gerbang. Pertemuanku dengan Dino diawal masuk sekolah justru membuka rahasia tentang sosok ayah yang kubenci. Kenangan awal masuk sekolah yang kuanggap indah kini tak lebih baik dari pisau yang mencabik jahitan luka yang lama tertutup. Karena itu, aku membenci masa dimana aku mengenal bangunan bernama sekolah.

Celoteh

Selamat Berakal Indonesia!

15.43.00

Islam itu bukan hal yang bisa ditelan mentah - mentah. kalian punya buku dengan segala hadits yang menjadi landasan amal, tapi hadits itu rowinya dhobit gak? shahih? lalu asbabunnuzulnya gimana? Atau anda punya ayat suci yang tidak ada keraguan terhadapnya? nah dalam all qur'an itu terkandung makna dan maksud yang tidak bisa dijamah hanya dengan batasan arti yang sebenarnya saja. masih ada nasikh dan wal an mansuk. contohnya gini, sebelumnya Alloh melarang umat untuk berziarah kubur karna suatu hal (meraung dan menangis digundukan makam-red) akan tetapi Alloh kemudian menurunkan ayat yang menasikh (menghapus) dari larangan itu. diakhir ayat disebutkan "maka berziarahlah". untuk penjelasan ayat dan surah apa bisa ditanyakan kepembimbing / guru masing - masing.
Menarik memang diera global, umat itu cenderung mengimankan dirinya hanya berdasar pada buku agama (tanpa seorang guru yang mendampingi)
Berjubah hitam besar sudah mengaku alim
Berjilbab lebar bahkan niqob sudah mengkafirkan muslim yang lain
Berdahi hitam sudah dipandang kyai (kalau hitamnya dahi itu karna kejedot tembok gimana?)
Mau dibawa kemana islam kedepannya?
lebih nyiris lagi, jika melihat akhwat yang selalu mengibarkan bendera perang dengan mendebat amalan sunah, akan tetapi masih berani menyentuh kulit yang notabene bukan mahrom? dengan alasan bercanda bisakah haram menjadi mubah?
disini saya juga orang awam yang melihat suatu perkara lewat mindset yang saya punya, masih sebatas penalaran sederhana. bukan juga untuk mendebat atau tidak mau didebat, sebagai warga negara tentunya saya juga punya hak untuk mengemukakan pendapat to? begitupun anda. Dan inti dari semua itu ya saling meghargai hak umat satu sama lain. Jangan hanya mencari sebuah kesalahan orang lain tapi luput dari seribu kesalahan diri. Apapun bentuk ketidaksamaan yang tidak disukai adalah wujud toleran dalam kehidupan sosial. apa anda termasuk individualistik? wallohua'lam, rasanya mustahil jika umat harus bersikap sesuai dengan apa yang anda suka. yang ingin saya tanyakan, ANDA ITU SIAPA?
yuk latian berpikir bersama, kalau cuman punya otak, ayam pun punya. tapi keistimewaan yang Alloh titipkan kepada manusia itu akal.
Selamat berakal Indonesia!
*saiya jadi curhat nih! gara - gara ......

Celoteh

Mejikuhibiniu dan Hal Bernama Rasa

08.25.00



Warna adalah spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna

Merah, kau wakili apa itu kekuatan, cinta, bahaya dan ambisi
Jingga kau wakili mengenai apa?
Kuning, kau wakili apa itu optimis, harapan serta ketidakjujuran
Hijau, kau wakili alam, keberuntungan dan pembaharuan
Biru, simbolkan kepercayaan dan Nila, kau lambang feminitas atas cinta dialam ini
Ungu, kau sebut keangkuhan dan misteri dialam yang tenang
Tuhan menggaris warna yang berbeda diunjung senja
Aku hidup diwarna pelangi yang menggoda mata
Sebuah akronim mejikuhibiniiu membekas dengan indah
Gerimis disusul guratan pelangi didinding langit
Kukira itu tangga menuju surga penuh kebahagiaan
Warna, kau mengajariku arti dari setiap sajak
Menuntunku dalam remangnya bidang hitam berkabut tebal
Aku mengenal kalian, wahai mejikuhibiniu!
Jauh dilubuk hati kutempatkan kalian diruang istimewa beribu makna
Mendekap rindu dalam hangatnya makna
Dalam rasa yang berbalut spektrum hidup
Diam dan tenang dibalik bulan yang cemburu
Aku masih belajar tentang hal bernama rasa
Mejikuhibiniu dan segala makna
Aku masih duduk dibawah rembulan yang cemburu
Aku masih berpandang mata dengan bintang yang mengerlip manja
Disini, akan kutelaah dalam dimensi waktu yang sama
Dimensi yang tak terbatas oleh ruang dan waktu

Celoteh

Kenapa Harus Nyantri? (Alasan Dasar Mengapa Harus Nyantri, Batasan Aurat Wanita,Belajar Agama hanya Lewat Buku, dan Hukumnya Pacaran dalam Islam)

08.25.00






1. Kenapa harus nyantri?
2. Apa santri sudah pasti jaminan bahwa ia akan          lebih baik dari "orang luar"?
3. bukannya ilmu agama bisa didalami lewat apa saja dan dimana saja?
4. Lalu bagaimana anda menyingkapi fenomena pacaran dikalangan santri?
5. Bagaimana pandangan anda mengenai cara berpakaian santri dan orang luar yang berjilbab lebih lebar (syar'i) bahkan bercadar?
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ini bukan masalah nyantri atau tidaknya, setidaknya ilmu agama itu bukan bahan yang bisa ditelan mentah - mentah, jika dengan tidak nyantri ada sudah punya "guru" (guru disini bukan dalam hal mistis, tapi lebih tepatnya pembimbing dalam memperdalam agama). Dan mengenai lebih baik mana si fulan dimuka bumi ini sesungguhnya si fulan itu yang bisa merasakannya. setidaknya nyantri adalah jalan menuju taat (sami'na wa ato'na bukannya sami'na wa ngasoina) ingat ya, siapa sih yang bisa menjamin kebaikan suatu kaum?. Lalu, mengenai cara memperdalam ilmu dan tempat mendapatkannya, disini bisa ditelaah jika dipesantren terdapat ulama yang setidaknya lebih faham mengenai ilmu agama dan yang paling penting bisa dipertanggungjawabkan ilmunya diakherat nanti karena sesungguhnya segala ilmu agama itu akan bersambung sanadnya kepada Nabi Muhammad saw, lalu bagaimana jika kita belajar melalui buku agama saja? *tanpa guru-red. diera ini apa ada jaminan setidaknya 90% saja bahwa tulisan atau argumen dalam pembahasan suatu buku bisa terhindar dari kata bernama "salah" atau bahkan terkontaminasi oleh faham - faham yang menyimpang. contoh nyatanya bisa kita lihat sekarang adalah masuknya faham yang mengatasnamakan sunni dalam pembahasan atau dalil didalamnya. yang kedua penggunaan hadits yang tidak terjamin keshahihannya, kurang dhabit perowinya. dan siapa yang menjamin bahwa penalaran kita lebih dhabit (cerdas) dari ulama semisal Abu Hurairoh? kita ini masih ada pada tingkatan awam, jadi masih sangat membutuhkan pembimbing agar tak salah dalam menafsirkan. 
Pacaran adalah hal yang tak mudah untuk dihindari oleh siapapun dan dari kalangan manapun, terutama para santri. bukannya santri juga manusia yang punya rasa? tapi apakah pantas dengan mengatasnamakan "tidak ada yang sempurna" dan "manusia adalah tempatnya khilaf" lalu kita bisa melakukan hal yang dianggap dosa. ingat ini, LAA TAQROBU ZINA! janganlah kamu mendekati zina! pacaran adalah langkah awal untuk berzina. dari sekedar pandangan mata, pegangan tangan lalu merambah ketindakan zina itu sendiri. Pada dasarnya, zina digolongkan menjadi beberapa bagian yaitu zinan hati, dimana didalam hati kita mengingkan atau menyimpan hasrat pada si fulan, kedua zina mata, disini ada riwayat yang menunjukan bahwa janganlah kita mengikuti pandangan kedua. seringkali saat pandangan pertama itu menarik maka ingin sekali kita memandangnya lebih kedua kalinya. ini tidak boleh! jika ingin memahami mengenai hal ini lebih lanjut, telitilah mengenai "Godhul Basor".
Masuknya setan ketika seseorang itu memandang
Masuknya setan  lewat jalan ini melebihi kecepatan aliran udara ke ruang hampa. Lalu ia menyalakan api syahwat dan ia lemparkan kayu bakar maksiat. Pintarnya lagi, setan  akan menyesatkan manusia secara bertahap. Ada pepatah yang mereka pegangi; berawal dari pandangan, lalu berubah menjadi senyuman, kemudian beralih menjadi percakapan, kemudian berganti menjadi janjian, yang pada akhirnya berubah menjadi pertemuan. Begitu hebatnya setan  melemparkan panah beracun pada diri kita  dan setan  melemparkannya secara bertahap sehingga kadang kita tidak menyadarinya.
Mari kita teliti lebih lanjut, jangan langsung menjudge bahwa santri adalah makhluk yang bisa segalnya (bisa mendatangkan dosa dan pahala). permasalahannya disini bukan siapa dia (who are you) dan statusnya. santri ataupun orang biasa sama - sama punya hasrat dan minat.lagipula tidak semua santri itu pacaran, masih banyak juga bisa memegang teguh prinsip untuk tidak mendekati zina, ya dengan tidak pacaran. analoginya gini, kalangan santri tak bisa menjudge bahwa orang biasa yang tak faham agama lebih buruk akhlaknya daripada mereka yang nyantri, jadi tak ada alasan untuk orang luar menjudge bahwa semua santri harus berakhlak lebih dari orang luar bukan? ini kaitannya pada pribadi itu sendiri, toh hati manusia siapa yang tahu? nyantri itu seperti jembatan menuju taat, akan tetapi tidak semua orang bisa berjalan dengan baik dijembatan bukan? mungkin ada yang jatuh atau sekedar tersandung bahkan lebih parahnya jika sampai terjerembab kejurang dibawah jembatan itu sendiri. sekali lagi saya tegaskan pacaran itu mengenai prinsip hidup, kalau orang yang baik pasti tidak ingin menyalahi aturan Tuhan bukan? siapapun dia dan dari tempat bernama apapun juga. untuk itu mari galakkan motto hidup "say no to going steady" katakan tidak pada pacaran!
Bahasan terakhir, mengenai cara berpakaian para akhwat dari kalangan santri vs non santri. Berhubung saya penganut mahzab Imam Syafi'i aurat seorang wanita adalah seluruh badannya, kecuali muka dan telapak tangan. niqob atau cadar itu bukan hal wajib, menurut saya itu lebih cenderung pada tradisi berpakaian wanita Arab. karena disana adalah gurun pasir, maka wanita Arab menutup sebagian wajahnya untuk menghindari masuknya debu dalam pernafasan. alasan kedua mengapa menggunakan niqob adalah sebagai satir pengontrol hawa nafsu, pria Arab itu besar hasratnya jadi untuk menghindari timbulnya hawa nafsu, wanita Arab menutupnya dengan niqob. begitu pula dengan pakaian, Nabi tidak pernah mewajibkan kita untuk memakai jubah hitam layaknya pakaian masyarakat Timur, tapi yang Nabi tekankan adalah untuk menutup aurat. sekali lagi ini masalah tradisi! saya bisa melihat dimana santri berpakaian tidak terlalu besar dan berkerudung bukan berjilbab, tidak selebar jilbab orang luar. disini ketentuannya menutup aurat, jika dengan kerudung tidak menampakkan aurat atau melihatkan tonjolan badan maka tidak ada alasan mengharamkan cara berpakaian santri. maaf, saya pernah melihat seorang akhwat yang berjilbab lebar akan tetapi dibagian dadanya agak mempertotonkan tonjolan tertentu. maka akan lebih baik jika menutup aurat itu tidak diukur dari lebarnya atau hitamnya suatu bahan, tapi bagaimana bahan tersebut menutup aurat kita secara sempurna. dan jika berjilbab lebar dan menutup aurat adalah pilihan anda, maka itu adalah suatu keutamaan diantara kerudung seadanya yang menutup aurat kita. ini masalah pilihan :)
Jadi penegasan akhirnya bukan mengenai seberapa lebar kain yang melekat ditubuh tapi bagaimana kain tersebut bisa menutup aurat seorang wanita secara sempurna.
setidaknya ini jawaban dari seorang mantan (mantan santri-red) yang sehari dua hari numpang tidur dipesantren, jadi wajar kalau jawaban dari orang awam tentunya tak sehandal ataupun menyentuh kata kebenaran yang mutlak, setidaknya menjawab sebagai ajang gendu - gendu rasa antar umat muslim. ingat ya, bukan ajang debat untuk memperoleh label "pembenaran". salam ukhuwah islamiyah

Celoteh

Ketika Cinta Mengetuk Pintu Takdir (Cerpen Islami-Remaja-Roman)

12.53.00


Masih berkutat mengenai organisasi mahasiswa yang kian hari kian indah. Harusnya perasaan berlebih ini tak tertuang dalam suatu organisasi. Entahlah, cinta tak punya mata untuk melihat atau  bahkan memposisikan diri. Perasaan yang mengatasnamakan takdir karena kemunculannya yang tiba – tiba. Inilah aku, mahasiswi yang terjebak dalam lautan emosi ditempat yang kurang tepat. Andai diijinkan, ingin rasanya aku menimpali setiap rasa yang menyapa. Tapi semua perasaan urung kuungkap kepermukaan karena suatu hal yang tak lain karena sabda ilahi.  Kenyataannya, sampai detik ini aku belum pernah menjaliin hubungan dengan pria manapun. Bukannya aku tak normal, agaknya aku tumbuh dilingkungan pesantren dimana suatu hal yang mengatasnamakan syar’i menjadi acuan. Tak mudah rasanya menutup mata dari setiap cinta yang menyapa. Sembilan belas tahun sudah aku lewati hari tanpa mengenal cinta anak Adam.

“Sabtu besok kita mau ngadain rapat buat acara menggalangan dana, bisa ikut kan?” kata Seto penuh harap

“insyaAlloh” jawabku membuat janji

Dilema mahasiswa masa kini, saat mulut menggembar – gemborkan hak rakyat pada dewan pemerintahan akan tetapi lupa pada hak orang tuanya. Dimana letak tanggung jawabmu sebagai agen perubahan? Bukankah orang tuamu juga punya hak atas dirimu dan kau punya tanggung jawab dalam hak tersebut. Jika saja kau penuhi hak orang tuamu dan melaksanakan kewajibanmu sebagai mahasiswa, tak perlulah kau saling melukai dengan aparat. 

Cukup dengan prestasi kau bisa ubah negeri ini. sebagai mahasiswa bukan berarti hanya terpatri pada perkuliahan  saja lalu acuh pada keadaan negeri, hanya saja disini mahasiswa diuji untuk dapat memposisikan diri. Memposisikan diri dalam perkuliahan juga sebagai agen perubahan. Inilah celotehku yang mungkin diangap dosa bagi mahasiswa aktiv dikampus.

Jam karet masih berlaku dinegeri ini, tak ayal jika jam yang tertera pada undangan kini merombak lebih jauh. Dalam diskusi tersebut aku hanya bagian dari perkumpulan  mahasiswa diseluruh daerah. Tak aneh jika aku masih awam mengenai wajah serta nama mereka. Wajah – wajah cerdas nampak pada setiap mereka yang mengungkapkan argumen. Pandanganku tertuju pada sosok tenang yang duduk  menyilangkan kakinya. 

Aura kewibawaan sangat bisa terasakan, cukup itu saja yang bisa kudeskripsikan mengenai sosok itu karena aku tak berani memandangnya terlampau lama. Dengan wajah tenang itu, ia mengutarakan gagasannya. Tak luput senyum sederhana sesekali tersungging diwajahnya. Saat itulah muncul perasaan aneh dalam jeda detak jantung yang kian berdegup.
Aku mengangkat  tangan keatas sembari mengkode moderator, tepatnya menimpali gagasan yang diutarakan makhluk berwajah tenang sebelumnya.

“Bagaimana jika penggalangan dana tidak hanya melibatkan mahasiswa saja, akan tetapi seluruh pelajar SMP sampai SMA sederajat, bukankah ini akan menimbulkan dampak yang lebih baik bagi kita dan acara yang akan terlaksana. Saya yakin semakin banyak personil yang kita punya maka akan semakin banyak dana yang terkumpul nantinya” kataku menimpali argumen sosok tenang itu.

Ruang rapat kini bising dengan bisik – bisik makhluk didalamnya. Setelah itu moderator berdehem guna meraih perhatian untuk membacakan hasil voting serta keputusan yang didapat. Tersirat aura sumpringah saat usulanku disetujui. Setelah salam, kami membubarkan diri menuju pelataran. Menuju masjid ditengah bangunan yang biasa kami singgahi untuk berdiskusi. Dari sekian banyak anggota rapat, hampir seluruhnya menyempatkan diri untuk menunaikan shalat. Sedang beberapa orang hanya duduk bermalasan dipelataran menungggu shalat usai.

Aku berpapasan dengan sosok tenang itu diserambi masjid. Dengan wajah sumpringah ia melempar senyum sekilas, lalu kembali menundukan pandangannya. Rasanya es menyiram relung hatiku saat itu. Degub jantung kembali tak beraturan, berdetak penuh rasa yang sulit kudeskripsikan. Agaknya aku terlalu naif dalam hal perasaan. Rasanya disetiap tindak – tanduknya membuat getaran tertentu pada segumpal darah yang bernama hati. Ais! Sosok tenang yang mencerminkan keshalehan itu agak mengusik diri.

Sosok tenang itu belum lama ini kutahui bernama Farel. Ia menambahkanku sebagai teman dalam media sosial. Setelah itu kami menjadi akrab dalam berbincang mengenai keorganisasian. Bisa dibilang aku berguru kepadanya, karena ia memang ketua organisasi masyarakat. Keakraban itu hanya terjadi didunia maya. Kami saling menjaga hati walaupun cinta kian merongrong iman.

Jangan pacaran!

Itu yang kami tanamkan pada diri kami masing – masing setelah Farel mengutarakan perasaannya.
“Rif, sebenarnya aku tertarik kepadamu sejak pertama kita bertemu,sejak mendengar gagasanmu waktu itu aku menanyakan namamu, ternyata tak sulit menemukanmu dimedia sosial. Ada rasa yang tak mampu ku deskripsikan disini , akan tetapi aku tak akan mengajakmu pacaran karena islam tak membolehkan” terangnya dalam pesan singkat difacebook.

“Jujur aku senang mendengarnya, aku senang saat kau ternyata juga memiliki rasa yang sama terhadapku, selebihnya aku senang saat kau tak mengajakku untuk pacaran. Mari menata hati, jika berjodoh siapa yang tahu?” tuturku sekenanya saja sembari menyadari kenapa tak pernah kutanyakan pada siapa ia tanyakan namaku hingga tahu akun media sosialku. Ais! Sudahlah...

Tanpa ikatan dan tanpa dosa pastinya. kami tak bisa berlaku lebih karena satir muhrim masih membatasi kami. Memang agak berat akan tetapi indahnya lebih terasa. Saat berpapasan Farel hanya berkata seperlunya dan tatapan mata yang bisa kuhitung, ia tak akan menatapku lebih dari tiga detik. Jangankan didunia nyata, dimedia sosial pun kami tak pernah  berkata mesra layaknya insan yang dimabuk asmara. Sejauh ini kami berusaha tak melebihi batas dalam koridor islam. Kami sama – sama punya mimpi, dimasa mendatang untuk pacaran setelah menikah.

Rapat hari kedua...

Aku masih termangu menunggu anggota yang lain hadir. Agaknya ini cukup meraup kesabaran, bagaimana mungkin mereka bisa terlambat satu jam dari jadwal yang diagendakan. Ada rasa sebal yang dalam dada tapi tak kuasa kuluapkan pada mereka, para pemegang jam karet. Untuk mencairkan rasa kesal, mataku berkeliling kesekitar.

 Mulai rumput yang menjalar ketepian sampai lumut yang bergelayut diatas tembok tak terawat. Kukira melihat pohon juga tak kalah mengasyikan, aku bisa merasakan banyak makhluk yang hidup disana. Mulai dari semut, ulat bahkkan burung yang mungkin hanya singgah untuk bertengger diranting. Bahkan lebih gilanya lagi aku kadang membayangkan kehidupan hewan – hewan tersebut nyata layaknya manusia. Mungkin ini efek menonton film animasi atau membaca fabel dimasa kecil. Aih! Dasar imajinasi! Umpatku dalam hati.

“Assalamu’alaikum, yang lain belum datang?”

Aku menengadah untuk melihat sosok dari suara yang terlontar itu. Wajah itu ternyata milik makhluk berwajah tenang, Farel maksudku. Masih terpatri dengan wajah yang berhias senyum tiba – tiba aku tersadar dari lamunanku. Tololnya aku bersikap demikian, mungkin inilah yang biasa disebut salting (salah tingkah). Padahal dalam pesan singkat aku tak secanggung ini padanya, kenapa sekarang aku begitu memalukan. Rasanya aku terlempar kembali kesumur yang gelap lagi dalam, saat lamunanku pecah.

“Wa’alaikumussalam, be...belum dateng” Aku agak terbata menimpalinya dan tentu saja tanpa keberanian untuk memandang wajahnya.

Sesekali aku menghembus nafas secara perlahan, tak beda dengannya. Bahkan rasanya bunyi nafas itu menyambar kesisi telingaku. Hanya keheningan yang terasa diantara himpitan bangunan yang dihembus angin. Sedang otakku tak henti – hentinya berpikir mencari kata lalu merangkainya menjadi sebuah bahan pembicaraan, mungkin itu yang kami butuhkan sekarang. Tanganku meraih handphone untuk menetralisir kecanggungan. 

Aku duduk berjarak empat kotak keramik yang berjejer rapi darinya. Tak ada bayangan atau kelebat gerak – geriknya karena kami duduk berseberangan. Aku memang senang bertemu secara langsung dengannya, tapi tak kusangka akan  jadi secanggung ini. Kalau boleh tak tak menghujat nurani, ingin rasanya aku berlari sejauh dan sekencang mungkin darinya agar tak kaku begini. Tapi, bukankah itu akan jadi topik tolol kedepannya.

“Dari rumah jam berapa mas?” berusaha mengeluarkan jutsu pencairan suasana

“Jam satu siang, kamu udah lama duduk disini tadi?” katanya dengan jurus klasik dan terkesan basa – basi.

“Ciyeeee..... eheem ” tiba – tiba suara riuh datang dari makhluk yang tak ku ketahui kapan muncul dari permukaan bumi. Mereka memergoki kami hanya berdua dan itu dijadikan bahan lelucon mereka
“ciyeeh.. yang berenang sambil minum air?” ledek Syifa sembari melirik penuh makna tersirat, sedang aku hanya mengangkat bahu tanda tak faham maksud dari ucapannya.

“Maksudku kalian yang rapat sambil ketemuan, gituh” katanya mempertegas
Sedang aku hanya melotot kearah makhluk – makhluk penggoda itu, tepatnya para penyorak. 

Aku melepaskan jaket yang kukenakan sedari tadi, seisi ruangan pun tak ingin kalah dariku untuk melepas kain tebal itu. Dan sekali lagi aku menjadi bahan ledekan mereka, warna bajuku ternyata sama dengan pakaian yang Farel kenakan. Duh Gusti.. kenapa kecanggungan demi kecanggungan semakin merajalela saja. Meledaklah kata ciyeh yang sebelumnya sudah terlontar.

Agenda hari ini sangatlah menyita waktu. Sesekali kumelirik jam tangan dengan sembunyi – sembunyi, takut ada sepasang mata yang menyadari kalau aku sudah sangatlah gelisah ingin pulang. Disini aku terjebak dengan rasa tak enak hati, karena aku menjabat sebagai seksi acara rasanya tak adil jika kumeninggalkan partner ditengah kesibukan yang amat sangat.

22.30 PM
Kali ini aku memang harus tebal muka meminta ijin pulang. Bagaimana tidak? Orang rumah pasti sudah menunggu kepulanganku dan sidang akan terlaksana secepatnya. Beberapa menit lagi aku akan menjadi terdakwa dirumahku sendiri dan dikepung oleh penggugat yang notabenenya keluarga ku sendiri. Ku bergegas menarik lengan Syifa untuk mengantarkanku pulang, dengan wajah agak lesu ia pun mengambil helm untuknya dan untukku juga. Disetiap jalan yang terlewat aku melamunkan kejadian yang pasti membuatku sulit untuk tertidur malam ini.

Syifa hanya memberi kode kalau ia langsung pergi lagi. Akupun rasanya juga ingin pergi setelah melihat pelataran rumahku. Agak mengendap aku melangkah, rasa tenang agak bergelayut dihati ini saat ku tak lagi menemui lampu yang menyala. “Alhamdulilah, sudah pada tidur” kataku lirih
Ceklek! (bunyi saklar yang dinyalakan dengan keras)

“organisasi yang mengajarkan wanita untuk pulang selarut ini?” suara abah menggelegar keseisi rumah, sedang aku hanya menunduk penuh rasa bersalah.

“sudah ketiga kalinya kamu pulang larut malam dan semua alasanmu ada pada satu hal yaitu organisasi. Apa kata orang nanti jika anak kyai pergaulannya sama saja dengan anak berandalan” gertak abah sembari memukul  meja dengan telapak tangannya.

Faktanya, aku lahir dan dibesarkan sebagai ning, dimana semua orang akan melihat bahkan memerhatikan gerakan jari yang kubuat. Aku hanya ingin melihat dan merasakan apa yang anak – anak lain alami diluar sana. Toh aku tak melakukan hal yang dianggap dosa oleh agamaku. Apa karena aku anak kyai maka harus tertutup tembok ndalem dan pesantren? Aku juga ingin mempelajari ilmu umum serta bersosialisasi dengan manusia diluar sana, toh aku bisa menjaga diri.

“Kalau begini terus, kamu harus dimahromkan agar abah tenang. Terserah kamu akan melanjutkan kuliahmu atau tidak, dan mengikuti kegiatan diluar sana itu akan menjadi kewenangan suamimu nanti” abah menegaskan.

“Jika itu memang kemauan abah, Rifa akan menerimanya asalkan Rifa sendiri yang berhak menentukan siapa yang akan menjadi suami Rifa nantinya. Asalkan pemuda itu baik agama serta akhlaknya bukankah abah merestuinya?” tuturku dengan keberanian yang entah datangnya dari mana dan tanpa sadar akan dampak ucapanku.

Abah beranjak meninggalkan kursi yang sedari tadi disandarinya, tanpa jawaban dari lisannya sudah kuketahui kalau abah hanya menggertak dan pasti akan berpikir seribu kali jika aku harus menikah, toh mas ku saja belum diperbolehkan untuk ta’aruf pikirku. Dan aku yakin kalau ini adalah kesempatan terakhirku, jika sekali lagi beliau memergokiku pulang larut maka dengan cara apapun aku akan dibuat tak berkutik untuk keluar dari tembok ini.

Malam telah kutinggalkan tanpa bermimpi. Dengan lesu ku menuju ruang makan dan hal yang paling mengagetkan ketika umi menepuk pundakku.

“Nduk kami benar – benar serius untuk memahromkanmu, abah punya kenalan dari pondok Jatim yang memang berniat ta’aruf” tutur umi diiringi desah nafas.

Deg!
Aku kaget bukan main mendengarnya, ternyata abah tak menggertak. Sialnya lagi umi membicarakan hal tersebut disaat semua keluarga berkumpul diruang tamu. Dan ini berarti bukan penawaran melainkan keputusan.

“maaf  abah, umi dan mas Ridwan, bukannya Rifa menolak saran yang umi katakan tadi, tapi selama ini Rifa sudah punya pandangan mengenai calon, ia sosok yang abah dambakan. Dan ketahuilah selama ini kami punya rasa satu sama lain, antara Rifa dan ia tak pernah mengenal apa itu pacaran. Namanya Farel, nanti Rifa akan sampaikan hal ini padanya, pasti ia akan datang bersama keluarga secepatnya” kataku menatap penuh harap pada setiap mata diruang itu.

“Abah tunggu secepatnya, semoga tak mengecewakan keluargamu ini Rifa” ungkap abah tanpa melihat kearahku.

Entah jawaban abah itu mengandung ridha atau laknat didalam batinnya. Kini yang utama aku harus memberitahu Farel secepatnya. Aku melangkah dengan tergesa sampai kerikil tak luput menjadi sandungan. Rasanya jarak kekampus hari ini begitu jauh dan terasa berat dalam langkah. Mataku dengan telaten memeriksa setiap sudut bangunan kampus, sosok Farel harus ku temui hari ini juga, sebelum terlambat. Agaknya terlampau rumit jika harus menjabarkan hal ini di pesan seperti biasanya.

Ini sudah ku kelilingi setiap sudut ruang, mataku tak henti – hentinya menerawang sosok yang berlalu lalang digedung itu. Hampir setengah jam tak ku temui sosok Farel. Tak berangkatkah ia hari ini? tapi kenapa? Hatiku mulai berusaha  menebak.kuputuskan membuka laptop karena biasanya ia online dipagi hari.perasaanku kalut, aku khawatir akan badai.

Benar saja,Badai agaknya menyambangi komitmen yang kami gadang – gadangkan. Kini,ku ketahui Sosok wanita paruh baya membayang dalam pikiran Farel. Sudah semestinya jika ucapan wanita itu adalah perintah bagi Farel karena beliau ibunya. Entah siapa yang salah disini, Ibunya dengan mantap ingin agar anak lelakinya itu menjalin ta’aruf dengan anak teman lamanya. Sementara Farel tak kuasa menolak hasrat wanita paruh baya itu, agaknya ia tak mampu menoreh kekecewaan pada wanita itu.
“Apa kau pernah berbicara kepada ibumu mengenai aku sebelumnya?” tanyaku berusaha setegar mungkin dalam huruf yang terketik amat kaku.

“Maafkan aku Rifa, inilah kesalahanku. Mengapa aku tak pernah menceritakan mengenai kita kepada ibuku sejak dulu. Sedangkan kini aku tak ada daya untuk menolak keinginan beliau. Aku tak sampai hati mengecewakannya”

Kita?
Kau sebut kata itu sebagai ganti antara aku dan kamu, tapi kenapa memilih mengecewakanku untuk melegakan ibumu. Ada rasa sakit yang amat sangat, rasanya dadaku sesak hingga detak jantungku melemah. Rasanya umpatan didalam hati merongrong ingin tertumpahkan, tapi aku masih sanggup menjaga akhlakku. Kuurungkan untuk mengatakan padanya bahwa aku akan menjalani ta’aruf dengan pria Jatim jika ia tak secepatnya menemui abah. Tapi apa gunanya, toh ia menaati setiap sabda ibunya, bukan celotehku.

“Ini berarti aku harus memenuhi kehendak abah mengenai ta’aruf” kataku pada segumpal darah yang bernama hati.

28 Juni 2014...      
Tepatnya besok pria Jatim itu akan menyambangi rumahku, lebih tepatnya rumah abah. Dalam bayanganku aku menghayal jika saja takdirku berjalan layaknya konflik  novel  dimana aku  ternyata dijodohkan dengan sosok yang selama ini aku  sukai, dan semua berakhir bahagia. Tapi bukan seperti itu narasinya.

Aku mencoba menata segalanya kembali seperti sediakala sebelum kulihat wajah tenang itu. Berat rasanya merobohkan bangunan harapan yang kubangun  serpih demi  serpih untuknya. Aku mulai menyibukkan diri dengan aktivitas baru, dakwah kampus menjadi solusi yang tepat untuk menghalau rasa yang kian berhambur ini.

Siang ini agaknya aku harus menunaikan kewajibanku dimasjid kota. Setelah berwudhu dan sesekali bergurau dengan para akhwat aku merapikan sof  kami. Bacaan surah demi surah dari sang imam terdengar begitu menentramkan hati. Dalam sujud terakhirku entah kenapa bayangan wajah tenang itu berkelebat. Dalam doaku aku memohon keikhlasan hati serta kekuatan dalam menapaki jalan kebaikan. Aku melangkah keluar melewati serambi masjid. 

Entah apa yang mendorongku untuk menengok kearah kiri hingga saling menatap dengan sosok itu,Farel. Kecanggungan tak teredakan lagi, dengan wajah tanpa ekspresi yang  jelas hingga sosok itu melukis senyum diwajahnya, akupun berlaku demikian. Ternyata kami shalat ditempat dan waktu yang sama dalam bacaan syahdu satu imam. Dan semua ini justru membuatku bimbang mengenainya, keputusanku dan keputusannya. Ia dan titah ibunya sedang aku dan titah abahku.

Hari ini pertemuan yang pertama bagiku dengan pria Jatim, rupanya ia seorang Gus. Mudah ditebak jika kronologinya seperti itu. Sesuai narasi, aku keluar membawa minuman sebagai media untuk melihat, tepatnya memperlihatkan diri.

“Subhanalloh, kamu ini Rifa kan?” sosok itu bersuara hingga memancing setiap  pasang mata saling tatap.

Aku menengadah sembari meletakkan cangkir kepadanya. Rasanya tegangan listrik menyambar ragaku, benarkah pria Jatim itu Rouf teman masa kecilku dulu. Aku kenal betul siapa dia, sosok Gus yang selalu menundukan pandangannya serta sosok yang dekat denganku semasa kecil. Setiap hari aku mengaji dipondok keluarganya, jelas jika kedua keluarga kami sangatlah dekat, sedekat aku dan dia. Rupanya selama ini keluarganya pindah ke Jatim karena suatu hal, jadi tak ada hak lagi aku memanggilnya pria Jatim, celotehku dalam hati.

Jujur saja, ia adalah sosok yang pertama kali membuatku mengenal dan merasakan apa itu rasa kagum pada lawan jenis. Tapi semua itu kupendam karena aku dan dia rasanya sudah terpatri sebagai sahabat masa kecil. Dan semua itu kini menjadi nyata karena ia pria yang abah kehendaki. Aku tak mampu mendeskripsikan betapa bahagia singgah dihatiku saat itu, ternyata seberapa kerasnya aku berusaha mengetuk pintu yang Alloh takdirkan, akan tetapi pintu itu justru membukakan dirinya lebih dulu. Seberapa kerasnya aku menerka sosok imam masa depanku, nyatanya ia justru mendekat dari jarak yang memang dulunya sangat dekat. 

Dan semua itu berawal dari rasa kagum dimasa kecil. Sampai sosok Farel membuatku memalingkan rasa kagum kepadanya. Tapi rasa kagum pada sosok tenang itu hanya singgah untuk kembali pada rasa kagum dimasa kecil, menuju masa depan antara aku dan Rouf. Dan nyatanya, pertemuanku dengan makhluk berwajah tenang itu hanyalah cara Tuhan membumbui rasa hatiku. Semua itu tak lain adalah cara cinta melabuhkan rasaku pada Gus Rouf melalui pintu takdir yang sebelumnya berusaha kuketuk.
Subhanalloh, betapa sempurna teka – teki dalam setiap narasi yang Engkau gariskan. Biar ku mainkan narasi itu menjadi drama yang terjalani dengan rasa syukur.





"Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak percaya itu"

_Ali bin Abi Thalib_

Like me on Facebook