Celoteh

Resensi Novel Tears in Heaven (Sampai Kita Bertemu Lagi) Karya Angelia Caroline

08.32.00

 


Judul : Tears in Heaven
Penulis : Angelia Caroline
Penerbit : GagasMedia
Tebal : 344 halaman
Tahun Terbit : 2013




Novel ini ternyata debut dari penulisnya, Angelia Caroline. Tapi aku salut sama penulis yang bikin alur (plot) yang penuh dengan twist (kejutan). Kisah bermula dari seorang pemuda bernama Nathan, ia harus hidup diantara masa lalu yang kurang menyenangkan. Ayahnya, Anthony, memilih hidup bersama Lidya, Dokter perempuan yang menjadi partner kerjanya akhir - akhir ini. Masih ingat betul saat ibunya, Julia, mempertanyakan status Lidya. Saat itu juga deru mobil terdengar meninggalkan garasi rumah beserta penghuni didalamnya. Nathan memendam benci akan tetapi rindu juuga pada sosok Anthony. Ia benci ketika melihat teman - temannya berpeluk orang tua mereka diakhir kejuaraan tim. Nathan sebagai kapten tim basket terpaksa menutupi apa yang terjadi pada Anthony dan Julia, kedua orang tuanya telah  berpisah. Hingga suatu ketika Nathan diagnosa dokter mengidap leukimia. Anthony adalah seorang onkologis jadi akan sangat tepat jika ia yang menangani Nathan. Berangkatlah ia ke Jakarta, tempat dimana Anthony dan Lidya membangun keluarga baru mereka. 

Di Jakarta itulah Nathan mengenal sosok Kayla, gadis keturunan Jepang yang amat menyukai manga serta anime. Disaat yang sama, sosok Tania juga dekat dengan Nathan. Gadis yang amat mencintai dance, ia juga berpacaran dengan Raymond, ketua OSIS disekolah tersebut. Nathan melewati hari - harinya berjuang untuk hidup, tepatnya menjalani kemoterapi. saat itulah Kaylal datang sebagai malaikat penolong baginya, ia membuat Nathan luluh pada sosok Lidya serta bocah kecil bernama Tara (anak dari Anthony dengan Lidya).  Rasa benci itu luluh perlahan semenjak Nathan dekat dengan Kayla. Perlahan tapi pasti Nathan mulai jatuh hati pada Kayla. Namun secara tiba - tiba Kayla menghilang dari kehidupan Nathan, disinilah rahasia Kayla terbongkar. Ia ternyata sudah meninggal 2 tahun yang lalu, entah kenapa ia bisa memperlihatkan wujudnya hanya pada Nathan, Tania, Tara. Kayla seolah dikirim kebumi untuk membantu Nathan dalam perjuangannya melawan leukimia serta perasaannya pada ayahnya. Dan setelah hubungan ayah dan anak  itu membaik, 

Kayla memudar kembali. Dan sosok Kezia, yang Nathan temui di perpustakaan ternyata kembaran Kayla. Nathan mengetahui ketika Kayla menceritakan rahasia serta meminta Nathan menyampaikan pesannya pada ibunya. Disinilah Nathan mengetahui alasan dibalik kecintaan Kayla pada budaya Jepang, karena ayahnya memang warga Osaka, Jepang. Jadi ia ingin mengetahui semua hal yang bisa mendekatkannya pada sosok ayahnya yang sudah meninggal.
Setelah kejadian tersebut, Anthony menemukan Nathan tergeletak dilantai kamarnya. Bak orang kesetanan Anthony membawa Nathan kerumah sakit. Disinilah Julia, ibunya datang menjenguk dari Bali. Pertama kalinya Anthony bertemu Julia setelah perpisahannya dulu. Dibalik itu semua, Nathan merasakan dirinya melayang, Ia melihat Kayla tersenyum di depannya kini. Rupanya Kayla menjemput Nathan kealam yang indah. Nathan melihat Anthony, Julia, Tania , Tara, semua  orang itu menguap keawan membentuk warna pelangi. Nathan bersama Kayla melangkah menuju kehangatan sinar matahari yang abadi.

Celoteh

Tangan Tuhan dalam Tabir Kun Fayakun

05.37.00

Andai Jibril turun untuk kedua kalinya
Andai saja wahyu tersampaikan dengan syahdunya
maka malaikat tak ubahnya hiasan surgawi
maka manusia tak ubahnya tajuk nirwana
kalaupun sang surya mampu berungkap kata
maka rembulan tak selamanya tersenyum dalam gelapnya kabut malam
tapi nafas itu terbatasi oleh ketetapan
kau bilang itu ketetapan Tuhan!
sedang mereka bilang itulah takdir
ada hal yang bisa dan tak bisa
karena hidup itu bagai dua ruangan yang berbatas tabir ditengahnya
bukankah fitrahmu diciptakan untuk menyembah?
lalu apa gunanya hujatan semu itu?
sembahlah dan terimalah ketetapan itu
raihlah tangan Tuhan dalam genggaman penuh kasih
letakan hatimu ditempat yang semestinya
merenung berteman lampion dibawah langit
berkata pada hati yang kian membatu
perlu apa lagi tuk cairkan hati yang beku?
cintakah?
kasih sayang?
atau malah mati dalam kebencian?
sujudmu dipenghujung sajadah itu untukmu sendiri
untuk damaikan gumpalan darah yang bernama hati
gumpalan darah yang merajai jasadmu
riwayat umat terdahulu menyaksikan itu
jika baik segumpal darah itu maka baik pula seluruh inti jasadmu
lalu ada apa dengan kun fayakun?
mantra ajaib apakah itu?
apa kiranya mampu ubah duniaku serta duniamu?
sedahsyat apa tangan Tuhan kendalikan mantra itu?
dalam  hening kau menyebutnya tabir
lalu sejenak memanggilnya sebagai ketetapan
tabir dalam ketetapan yang kau sebut sebagai takdir
dimana sesungguhnya kun fayakun itu ada pada tangan Tuhan

Celoteh

Terawih Keliling Pengurus IPNU - IPPNU Banjarnegara di Karang Kobar

23.47.00



Banjarnegara, 22 Juli 2014. IPNU- IPPNU melaksanakan agenda terawih keliling di dusun Timbang, Karang Kobar. Acara ini merupakan agenda rutin dari pengurus harian IPNU- IPPNU Banjarnegara. Acara ini terlaksana di masjid setempat. Setelah shalat terawih selesai, rekan  dan rekanita beserta warga mengikuti pengajian (mau’idzah khasanah) yang diisi oleh ustadz Zuhri dari pondok Karang Kobar. Sebelum memasuki sesi mau’idzah khasanah, Perwakilan IPNU- IPPNU memberikan sambutan serta ucapan terima kasih kepada warga setempat yang telah menyediakan tempat serta memfasilitasi acara terawih keliling tersebut. Sambutan kedua disampaikan oleh ta’mir masjid yang mengucapkan selamat datang serta harapan supaya rekan dan rekanita IPNU-IPPNU bisa menjadi generasi penerus NU.Rekan dan rekanita serta warga setempat mengikuti setiap acara dengan  khitmat. Acara tersebut dihadiri oleh ta’mir masjid, ustadz, rekan dan rekanita PAC  Karang Kobar serta warga sekitar.
Semoga dengan dilaksanakannya acara tersebut, rekan dan rekanita bisa belajar, berjuang, dan bertaqwa dalam berorganisasi. Kedepannya, pengurus IPNU – IPPNU akan semakin giat lagi melakukan sosialisasi maupun bakti sosial kepada masyarakat Banjarnegara. IPNU – IPPNU adalah sarana regenerasi setiap penerus warga NU, terutama pelajar. 

Celoteh

Kerinduan yang Hakiki Kini Terbatas Fatamorgana

15.02.00

Seperti melayang ditangga - tangga langitMu
Lalu terhempas udara rindu hingga tenggelam dilautan penuh cinta
suara deru ombak bak panggilan bermelodi kasih
lalu hempasan angin berlabuh di bumi penuh rahmat
Dalam satu tarikan nafas bertuturlah lisan ini akan kuasaMu
nafas ini terisi tasbih untuk segala kuasaMu Ya Rabb...
Subhanalloh...
Dalam setiap AsmaMu ku temukan arti nafas ini
Dalam setiap kuasaMu ku temukan arti hidup ini
Semua itu hanya tertutur dalam tasbih penuh rasa rindu
Dibawah birunya langit ku tengadahkan hati
Diatas pijakan ini ku tundukkan wajah beraut rindu
Kerinduan akan hakikinya rasa
Duka lara tak lagi berarti bagi kerinduanku kini
Rasa dalam fatamorgana hidup sungguh memabukkan
Hati ini terlampau sunyi untuk dimabukkan
Kata mereka dulu, aku melihatMu dialam rahim
Kata mereka kini, Engkau Dzat tanpa bisa diterka penglihatan
Sungguh tak ada jiwa yang tak merinduMu
Tak akan lagi ada keinginan dalam dekapan hidup
Semoga hati ini selalu terpenuhi kerinduan akan Tuannya
Tak pandang perihnya air mata yang menetes
Tak pandang betapa nikmatnnya kebahagiaan yang singgah

Celoteh

Relakan Aku Pergi Sebagai Syuhada

11.12.00




Aku membohongi dunia. Ku katakan bahwa aku baik – baik saja.  Padahal hatiku terluka menahan perih. Hatiku saja terasa terbebani batu dengan bobot ratusan ton. Mungkin lebih dari itu! Ganjalan hati yang tertutupi tabir hidup. Tapi aku terlalu lemah untuk menyingkirkan ganjalan batu itu dari hatiku.
“aku mau mati saja!”

Dalam gelap aku masih merasakan antara perih serta pegalnya dipergelangan tanganku, goresan pisau mungkin akan merenggut nyawaku. Nadiku mungkin putus sehingga cairan merah bernama darah menetes deras. Aku serasa melayang dalam kesakitan jasadku kini. Tapi hatiku lebih sakit, sangatlah sakit untuk sekedar mengambil satu nafas saja. Tuhan, untuk apa kau ciptakan aku dalam kesakitan ruh serta jasad yang mendalam seperti ini?

Aku serasa gila karena termakan rasaku sendiri. Aku gila akibat membohongi diri terlalu berlebih. Aku memang naif soal rasa. Aku bodoh dalam berkata – kata. Tapi hatiku terlampau cerdas untuk dibohongi. Lalu, kiranya harus kusalahkan siapa atau mungkin apa?
Hening. Hanya diam tanpa ucapan berarti saat ku tatap mereka. Ayah, bunda serta bang Ridwan. Dalam hening itu, aku menyimpan rasa takut serta rasa bersalah pada mereka. Bagaimana bisa hanya karena seorang pria yang baru kukenal tiga tahun belakangan ini, justru aku menelantarkan kasih serta kepedulian keluargaku sendiri.

 Bukankah  mereka bahkan kukenal serta tak kuragukan lagi kasih serta ketulusan mereka padaku? Kenapa aku sebodoh ini dalam bersikap. Aku marah bahkan jijik pada diriku sendiri. Aku malu pada mereka, sosok hebat yang selalu mendampingi senang sedihku. Tapi bagaimana denganku? Aku menyakiti mereka untuk kesekian kali dengan menggugurkan dawai – dawai harapan yang  ada. Aku menyayat hati mereka!


“tak sepantasnya seorang muslim mengambil tindakan konyol seperti ini. Alangkah murah hatinya Alloh yang masih memberimu kesempatan untuk menata lagi hatimu”
“tapi ayah, aku tak sanggup menanggung semua ini sendirian” aku memotong perkataan ayah
“alangkah celakanya kami, jika diakherat kelak kami dimintai pertanggung jawaban akan amanah yang Alloh titipkan pada kami. Kamu itu amanah Alloh yang akan kami jaga kehormatan serta perasaanmu, jangan lagi berkata jika kamu itu sendirian Tina!” ayah terdengar sedikit keras kali ini. Bahkan, sedikit agak membentak.


Kak Ridwan hanya diam, begitupun dengan bunda. Aku tak begitu menangkap arti diamnya mereka. Marahkah? Tentu saja! Putri satu – satunya yang amat mereka sayangi harus menanggup aib dari perkenalannya dengan seorang pria alim. Sosok alim yang meninggalkannya dihari pernikahan tanpa kabar. Ia kabur membawa berkas berharga  serta mobil ayah.

Dia sosok alim yang kupandang sebagai malaikat tak ubahnya iblis bertopeng. Memang awal perkenalan antara aku dan dia juga berasal dari hal yang dibuat – buat. Ternyata ia menyewa preman untuk menjambret tas yang kubawa dibandara, sedangkan ia lalu muncul menjadi pahlawan berparas menawan kala itu. Awalnya hanya ucapan terimakasih biasa saja, tapi lambat laun perhatian serta kealimannya meluluhkanku, juga keluargaku. Tapi nyatanya sekarang apa? Dia hanya bagian dari komplotan preman yang menyamar.

Apalagi kabar menyedihkan datang silih berganti. Mulai dari pertunangan bang  Ridwan yang akhirnya ditunda, perusahaan yang pailit, bunda yang memerlukan perawatan tindak lanjut dirumah sakit. Dan alasan dari semua itu berpangkal pada satu cabang,yaitu aku!

Hari demi hari kami jalani dengan kesederhanaan.  Dari bangunan megah berbeton tebal kini menjelma menjadi kayu triplek kecoklatan sebagai dinding serta tameng dari angin malam. Ayah sibuk mencari suntikan dana dari relasi kerjanya, bang Ridwan susah payah menduduki jabatan asisten produksi dikantor yang dulu ia pimpin. Sedang yang paling tragis ibu, kini semakin kurus serta kantung mata bergelayut dibawah kelopak matanya. Diatas semua kesusahan ini, aku justru bersikap bodoh dengan pisau dapur berkarat itu.


Setahun kemudian, ekonomi keluarga kami membaik. Akupun melanjutkan kuliahku yang sempat kutiinggalkan. Aku mulai merasakan angin sejuk serta nafas kebahagiaan yang sempat kulupakan. Dikampus aku juga merupakan salah satu aktivis dakwah. Sesekali aku juga seolah menjadi motivator bagi junior atau bahkan senior dikampus. Kuceritakan kisah kelamku dulu, kukerahkan semua daya untuk menceritakan kisah pahit yang hampir merengggut nyawaku.

Tak kusangka, mereka begitu menghargai untaian demi untaian kata dari ceritaku. Mereka bahkan sangat termotivasi akan ceritaku.
Usai shalat dzhuhur, aku yang masih membawa bahan untuk tugas UAS berlarian menuju depan kantin untuk sekedar berteduh. Jika tahu hujan akan segera turun, mungkin akan lebih baik jika aku menunggu redanya terlebih dahulu. Ditengah pelarian tersebut, ada sosok yang tak sengaja kutabrak.


“eh maaf mas, saya buru – buru”
“iya mba, ini salah saya juga kok” sahut pria berpeci hitam dengan wajah menunduk.

Sepulang dari kampus, aku masih sempat terpikir pria yang kutabrak tadi. Agaknya ia pria yang baik.
Tiba – tiba aku teringat kejadian masa itu. Aku benar – benar tak ingin tertipu dengan penampilan untuk kedua  kalinya. Semenjak kami bertabrakan, sering aku jumpai ia berjalan dimasjid kampus. Ternyata ia mahasiswa transfer yang aktif sebagai pendakwah dikampusnya dulu. Tak ayal jika ia juga aktif dikampusnya kini. Kutahui ia bernama Farid. Ada sedikit rasa kagum dibalik hatiku kini. Tapi sebisa mungkin kuredam.

“Eh kamu tahu mahasiswa transferan itu kan?” selidik Rifa bernada menggoda
“siapa?”
“itu loh, mas Farid. Bukannya minggu lalu kau menabraknya?” nadanya kini benar- benar menggoda, sedang aku hanya menundukan wajah yang perlahan merona merah.
“mas Farid meminta abangku Riko untuk menyampaikan salamnya padamu, assalamu’alaikum?” aku salah tingkah dengan nada bicara Rifa yang amat menggoda itu. Untuk mengurangi salah tingkah, aku hanya menjawab salam itu dengan suara lirih.

Semenjak salam darinya, entah kenapa disela sujudku aku terbayang wajahnya yang menunduk saat berbicara. Kulawan bayangan itu dengan istigfar,sayang semua itu tak berlangsung lama. Bahkan aku pernah mendapatinya melihat kearahku saat ia menyampaikan dakwahnya.

“kenapa tak pernah cerita sama abangmu ini, Tina? Abang yakin Farid pria yang baik  untukmu” aku amat kaget mendengar penuturan bang Ridwan.

”Farid siapa bang?” tanyaku sekedar menyakinkan  serta mengharap yang dimaksud oleh abangku ini adalah Farid mahasiswa transferan itu. Bang Ridwan hanya tersenyum simpul sembari menyerahkan surat biru langit ketanganku.

Teruntuk : Tina Zania
Assalamu’alaikum Tina, mungkin suratku mengagetkanmu atau bahkan membuatmu merasa aneh akan diriku. Tepatnya empat bulan sudah semenjak kita bertabrakan, aku melihat sosokmu dimasjid kampus. Dengan Asma Rabbi, aku ingin menyampaikan hasratku untuk mengajakmu ta’aruf. Kadang, kucuri pandang tuk sekedar melihat kelebat bayanganmu,Tina. Inilah pria sederhana yang memimpikan membangun cinta diatas ibadah kita bersama nantinya. Itupun kalau kau berkenan. Aku bukanlah sosok romantis yang pandai merangkai kata indah yang memabukkan, inilah kalimat sederhana yang ingin kusampaikan padamu, jika kau berkenan mari kita saling mengenal. Untuk itu sejak bulan lalu aku sudah menemui ayah serta bang Ridwan membicarakan hal ini. Serta ibundamu juga merestui niatanku. Tina, aku telah meletakkan dua buku diatas mejamu, jika kau menerima niatan baikku maka ambillah buku tafsir dan jika kau belum berkenan maka ambillah buku aqidah.
Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh.....

Deg!
Bahagia, kaget, entah rasa apa lagi yang kini meluluhlantahkan hatiku. Ada rasa kesal bercampur senang saat kutahu ternyata sebulan lalu, Mas Farid telah menemui keluargaku. Hanya saja mereka menyembuyikan hal itu dariku. Kejutan macam apa ini. Esoknya aku mengambil buku dimejaku, buku tafsir yang kuambil. Dibalik jendela ruang kuliah, aku melihat sekelebat bayangan pria. Kuyakin itu pasti mas Farid. Ah dasar romantis! Secepat kilat ia menyembunyikan diri dari pandanganku. Tentunya kini ia tahu jawabanku.

Kebetulan bulan depan kami diwisuda. Kuhitung baru dua bulan kami menjalani masa ta’aruf. Kukira ia akan menggunakan masa perkenalan itu hingga tiga bulan, ternyata tidak. Katanya ia sudah amat mengenaliku. Lagi – lagi ucapan sederhana yang keluar darinya menggoncangkan hatiku.

“Tina, tak terasa kita telah mendapatkan gelar kita masing – masing. Untuk  itu aku ingin mengkhitbahmu besok” ia masih menggunakan pakaian wisuda saat bicara denganku, masih dengan wajah yang menunduk seperti dulu. Sedang aku masih seperti dulu, selalu saja hanya mengangguk dengan wajah merona.

Setelah dikhitbah, aku serta keluargaku menyiapkan visa keberangkatan kami ke Palestina. Bukan demi mode menikah diluar negeri. Akan tetapi ini merupakan nadzar mas Farid jika bisa mempersuntingku. Ada rasa takut serta was – was dinegeri itu. Walaupun keselamatan kami dijamin oleh kedubes Indonesia disana, akan tetapi aku tetap merasa khawatir. Sesampainya disana keluargaku serta keluarga mas Farid membawa segala ube rampe untuk akad kami nantinya.

Ube rampe disini bukanlah sesajen atau bunga macam tujuh layaknya orang abangan. Ini hanya istilah saja. Dimasjidil Aqsa kami masuk melalui pintu yang dijaga tentara Israel. Anehnya disana bagi pengunjung muslim menjadi syarat utamam hafal surah Al Fatehah. Akan tetapi bagi non muslim tanpa syarat untuk masuk baitulloh tersebut. Bahkan tak jarang turis non  muslim itu hanya memakai celana pendek. Ditambah lagi, aku amatlah kasihan rakyat sipil disana, aku harus menyaksikan anak – anak yang pergi kesekolah bertodong senjata. Ais! Kejamnya tentara Zionis itu!

Kuputuskan untuk mengambil air wudhu sebelum akad nikah dimulai. Bagiku wudhu adalah riasan pengantin paling sempurna, apalagi riwayat shahih membahas hal tersebut. Setelah berwudhu aku beranjak menuju serambi masjid dimana akad kami dilaksanakan. Tiba – tiba aku mendengar jeritan anak kecil dibalik tembok ku berdiri. Entah apa yang menggerakkan aku untuk mencari sumber suara tersebut. Entah kekuatan macam apa yang menuntun langkahku, padahal sebelumnya aku singgah dinegeri ini berliput rasa khawatir.

“Asytaghfirulloh!” gumamku lirih saat kutemui gadis kecil yang memeluk wanita paruh baya yang bersimpuh darah. Air mata serta rintih tangisannya memilukan hatiku. Kuyakin wanita paruh baya tersebut adalah ibundanya.

“help me... help me and  my mother, please!” gadis kecil itu menatap kearahku sembari senjata menodong kepalanya. Seorang tentara kini bagai Izrail dihadapanku, tatapannya seperti psikopat.
“Don’t touch them, or you wil die with them now. Go!”  sang tentara Yahudi menggertakku. Sedang kulihat sitentara mulai menarik pelatuk senjatanya. Kulihat lagi gadis itu yang kini memejamkan mata serta memeluk erat wanita paruh baya itu. Syetan menakutiku serta menawarkan keselamatan dengan dengan meninggalkan gadis itu, sedang hati kecilku bergumam menolongnya, bukankah Alloh janjikan surga bagi para syuhada, jika aku mati sekalipun. Dalam pertentangan batin itu, entah kenapa air mataku menetes disertai keberanian yang tak kutahu darimana asalnya.

“Allohu Akbar!” Aku mencoba mengekang senjata itu dengan tanganku. Senjata itu kini menjauh dari kepala si gadis. Dan kini aku berebut menaklukan senjata dari tangan kekar sang tentara. Hingga tanganku melemah, lalu kurasakan hentakan peluru mengenai dada kiriku. Pandanganku tiba – tiba buyar. Samar – samar kudengar jeritan ibu serta mas Farid yang berhambur  menuju kepadaku.
“kenapa kamu Tina, berasabarlah serta kau harus kuat. Kami akan membawamu kerumah sakit As Syiwa agar kau bisa sembuh” ibuku nampak panik hingga pelukannya terasa erat sekali dipergelangan tanganku.

Dunia menghitam. Lalu kumelihat cahaya sedikit demi sedikit. Kelopak mataku membuka perlahan. Kini kusadar keberadaanku dimobil ambulance ayah,ibu dan mas Farid duduk disebelahku.

“Ayah, ibu maafkan Tina. Dan mas Farid ijinkan aku pergi sebagai syuhada, bimbinglah aku membaca syahadat untuk terakhir kalinya” aku berusaha tersenyum walaupun dadaku amatlah sakit.

“Tirukan mas untuk bersyahadat Tina, Ashadu alla ilaa haillalloh wa asyhadu anna muhammadarrosululloh...” agak serak menahan air mata mas Farid membimbingku bersyahadat.

Agak terbata menahan sakit, aku berusaha bisa menyelesaikan syahadatku untuk terakhir kalinya. Aku melihat wajah mereka sembari menghaturkan senyum tanda kebahagiaan yang hakiki untuk terakhir kaliinya. Aku memejamkan mata dan bersiap memandang melalui ruh yang akan menemui penciptanya. Ku tinggalkan gelapnya dunia tuk penuhi hasratku akan cahaya surga, insyaAlloh. Ya Rabb dulu aku pernah mencoba mendahului hidupku sebelum takdir yang Engkau gariskan. Kini aku terima takdir hidup yang Engkau gariskan sebagai pengganti masa kelamku dulu. Terimalah pengganti ini dan anggaplah aku sebagai  salah satu syuhadaMu Ya Rabb. Dalam hening aku menyampaikan ungkapan itu dalam hati, menunggu detik dimana kebahagiaan menjemputku, insyaAlloh.

Kisah Nyata (True Story)

Hati Kami untuk Kalian, Wahai Saudara diTanah Palestina!

10.46.00



Ketika kebanyakan negeri mengecam serta melarang tindakan Israel. Dan ketika itu hanya menjadi sebuah kecaman atau bahkan gertakan tak berarti bagi kaum yahudi. Wahai seluruh negeri, buktikanlah kecaman itu dengan tindakan nyata. Wahai saudara seiman, atas nama agama serta kasih sayang tunjukanlah kalau kita peduli pada mereka. Dan teruntuk umat agama lain, atas nama kemanusiaan, apa yang kalian perbuat untuk Palestina? Lihatkah kau anak – anak yang sungguh lucu itu , tanpa raut dosa sedikitpun harus menanggung sakit serta ketakutan amat dalam. Masa kanak – kanak yang seharusnya dihiasi indahnya kedamaian serta kasih sayang dari orang – orang tercinta mereka. Tapi kini, mereka harus melawan rasa takut serta menahan luka ketika orang tua, saudara, teman atau bahkan diri mereka dibombardir tentara Yahudi. Bukan susu sebagai asupan nutrisi mereka melainkan tetesan darah dari para syuhada. Kemana perjanjian damai yang kita agung – agungkan? Kau katakan perserikatan bangsa – bangsa! Tapi lihatlah Palestina!
Allohu Akbar!
Setiap dentuman roket serta jerit tangis anak – anak Palestina, takbir Tuhan tak akan pernah sunyi diantaranya. Wahai kalian penggagas perdamaian dunia, mengapa kemunafikan muncul dari wajah kalian sendiri. Kalian mainkan catur kebangsaan tapi kalian support tentara Yahudi itu. Kemana perginya hati kalian. Wahai negera adidaya, tuangkanlah sedikit saja belas kasih ditanah Palestina. Katakan pada antek – antek kalian untuk berhenti menumpahkan darah. Ini bukanlah perang! bagaimana kalian bisa sebut ini perang, sedangkan tentara Yahudi menyerang secara membabi buta dengan persenjataan yang lengkap. Dan tahukah kau apa yang para Syuhada gunakan sebagai tameng?. “Kekuatan takbir!” Dengan kekuatan takbir mereka lawan roket raksasa itu dengan bongkahan batu, mereka lawan senjata api itu dengan ketapel. Tanpa gentar serta mengenal usia, wanita maupun pria mereka membela diri untuk mempertahankan tanah mereka.
Berapa juta jiwa sudah tiada. Menunggu habiskah penghuni negeri itu! Tanpa rasa kemanusiaan sedikitpun tentara Yahudi mengambil nyawa Palestina. Ingatlah wahai kalian tentara Zionis, kalian bukanlah Tuhan. Kalian tak berhak mengambil nyawa seseorang. Kalian itu terlahir dengan wujud manusia akan tetapi hati kalian lebih busuk dibandingkan iblis jahanam. Atas nama tanah hadiah Tuhan kalian, pantaskah dijadikan alasan untuk menyakiti? Ah! Bukan menyakiti tapi membunuh. Kalian pembunuh! Apakah Tuhan kalian bersabda begitu piciknya? Tuhan kaliankah yang memerintahkan untuk membunuh umat Palestina? Jika alasan agama tidak jadi soal bagi kalian, setidaknya alasan kemanusiaan seharusnya bisa membuka sedikit saja pintu nurani kalian. Lupakah kalau kalian tidak hanya membunuh pria dewasa yang kalian anggap ancaman. Tapi kalian juga memburu anak – anak polos tanpa dosa! Dimana hati kalian! Kalian tak lebih baik dari umat jahiliah. Kalian bahkan lebih jahanam dari mereka. Setidaknya, lihatnya mata anak – anak yang berurai air mata itu. Mereka ketakutan! Bukankah kaum Yahudi juga punya anak? Juga punya perempuan – perempuan dibelakang kalian? Sedalam apa rasa sayang kalian pada mereka? Tentu kalian bisa bayangkan betapa dalamnya rasa didalam hati anak – anak Palestina.
Maha benar Alloh dengan segala firmanNya. Demi nyawa yang kini melekat pada jasad ini, kami mengutuk kebiadaban kalian, wahai kaum Zionis. Kami memang tak menyaksikan kebiadaban kalian didepan mata kami, tapi lewat layar kaca saja hati kami terkoyak serta membenci kalian lebih dari apapun yang kami benci dimuka bumi ini. Kami mengutuk kalian. Demi surga dan neraka yang Alloh ciptakan, tak ada tempat layak selain neraka jahanam bagi kalian. Demi setiap huruf Qosam yang para syuhada lontarkan,  neraka jahanam akan menjadi peraduan terakhir bagi kalian.camkan itu wahai pembunuh! Kebiadaban kalian akan terkenang sampai akhir masa. Kalian akan terkenang sebagai pembunuh. Bahkan jika mungkin memaafkan kalian, tapi untuk melupakan itu tidak mungkin. Kalian itu pembunuh jasad serta hati kalian sendiri. Setiap tetes darah umat Palestine itu akan menjadi kobaran api yang membakar jasadmu kelak. Dan setiap tetes air mata yang mengalir akan menjadi lautan yang menenggelamkan kalian.
Dadaku sesak saat mengucapkan hal keji ini. Air mataku tak lagi bisa kutahan. Tetes demi tetes air mataku ini tak sebanding dengan air mata saudaraku diPalestina  sana. Aku begitu lemah hingga tak berdaya menyaksikan kebiadaban itu. Betapa tak terbayangkan perasaan hati mereka. Ditanah air ini, aku bisa dengan nyenyaknya melewati malam, sedang mereka dengan rasa was – was selalu terjaga dimalam - malam mereka. Disini aku melihat ibuku menyiapkan sarapan dipagi buta, sedangkan mereka histeris saat menemui jasad ibu mereka dipagi buta. Ketakutan serta kebencian sudahlah mendarah daging. Bahkan terbawa dalam mimpi. Setiap detiknya kain kafan serta kelambu hijau melewati rumah mereka. Ayah yang mereka sayangi juga tak luput dari kekejaman itu. Jika aku punya kuasa akan satu saja doa yang akan Egkau kabulkan Ya Rabb, aku meminta kedamaian serta rasa aman teruntuk saudarakuu di Palestina sana. Ya Rabb bukankah Engkau juga mempunyai rumah ditanah itu? Untuk itulah lindungi tanah di rumahMu Ya Rabb. Lindungi Masjidil Aqsa beserta umatMu disana. Lindungi mereka Ya Rabb....

tugas kuliah

The Use of Computer in Banking and Insurance

01.38.00



Banking
  • Computers are instrumental to the way the banking industry performs its business. This technology allows banks to be able to take transactions and update accounts in real time.
An advantage to the bank customers is an increase in convenience. By linking computers and automated telling machines (ATMs), people are able to access their money at any hour of the day.
Online banking is another effect of computer technology on the banking industry. With online banking, customers are able to pay bills electronically and manage accounts and transfer money from the comfort of their own homes. Additionally, computers allow people to set up automatic payments from their bank accounts to such places as utility companies and insurance groups.
Insurance
  • The world of insurance relies on computers to the same extent as banks. As stated by the U.S. Bureau of Labor Statistics, the insurance industry uses sophisticated computer software to analyze risk. Automated underwriting systems adjust premiums and recommend acceptance or denial of risk for a potential client. With the use of the Internet, insurance companies are able to access information which will determine whether they accept clients or not.





"Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak percaya itu"

_Ali bin Abi Thalib_

Like me on Facebook