Celoteh

Menggenggam Takdir di Alam kedua (Cerpen motivasi meraih cita)

18.58.00




Demi jiwa yang ada dalam raga ini, sungguh rasanya aku ingin berontak menghalau segala yang mengganggu kenyamanan hidupku tapi itu sama sekali tidak mungkin. Ada satu rasa yang  membuatku pasrah pada keadaan ini, satu rasa yang mungkin telah banyak muncul dibenak setiap anak pada orang tuanya. Aku sungguh nyiris pada setiap hal yang kulalui. 

Bagaimana bisa aku tertawa untuk sekedar menutupi airmata yang menetes deras dalam hati. Aku munafik! Memang benar, demi membohongi diri dan sekitar aku menampakkan hal berbeda antara tindakan dan hati, kukira kebohongan ini mampu membuaiku hingga lupa perasaanku. Semua ini bermula saat aku harus merelakan mimpiku dan usahaku demi sebuah rasa pada wanita paruh baya yang kupanggil ibu. Mati –matian aku membangun setiap inci mimpi itu hingga bangunan itu harus roboh seketika. Nafasku terasa berat sedang hatiku begitu sesak saat mengingat mimpi itu. 

Sialnya lagi ingatan itu selalu muncul dalam hitungan detik. Aku tersiksa atau malah menyiksa diriku sendiri? Kelak aku besar nanti aku ingin kuliah dibangunan megah bernama universitas dengan ribuan mahasiswa. Aku bahkan terlihat seperti psikopat yang berburu mimpi kecilnya. Ruang kamarku penuh dengan deretan  list yang kupersiapkan untuk tes masuk universitas nantinya, bukan persiapan menunggu bulan tapi semua itu kupersiapkan semenjak duduk dibangku sekolah menengah pertama. Tiap pagi hari ketika kelopak mataku membuka, hal pertama yang kulakukan adalah mengelupas tempelan kertas berisi hitungan waktu yang tersisa untuk masuk unviersitas. 

Seringkali wanita baruh baya itu menegur karena cat tembok ikut terbawa lem kertas yang kutempel. Kuanggap potongan – potongan kertas itu sebagai waktu yang tersisa dimasa mendatang. Kuartikan bahwa nyawaku juga berkurang setiap kali kukelupas tempelan kertas itu dari tembok. Tak terbayangkan betapa banyak potongan kertas itu bukan? Hitung saja bila dalam satu tahun terdapat dua belas bulan dan masa untuk masuk universitas masih sekitar enam tahun kedepan. Bisa diartikan dua belas bulan dikali enam, kalian hitunglah sendiri. Tiap jarum jam berlari kearahnya, aku juga ingin berlari kearahku. Itu semua feedback dari apa yang kulakukan tiga tahun yang lalu. Sekarang ini aku sedang menempuh kuliah semester tiga disalah satu sekolah tinggi komputer dikota kelahiran. 

Semua ini tak berjalan begitu saja, perlu perjuangan dan pengorbanan yang cukup menguras pikiran. Awal langkahku saat menempuh masa – masa akhir sekolah menengah atas. Orang bilang, masa putih abu – abu adalah masa terindah dalam fase hidup. Tapi teori itu tak berlaku padaku, masa abu – abu putih adalah masa penuh peluh dan darah.Tahun pertama masuk aku harus terpisah dari orang yang kusebut keluarga, diruang kotak sesak itu mencoba mencocokkan diri dengan kaum hawa yang asing. Sesekali aku melihat kelebatan raut jemu dari mereka, tapi aku mencoba diam. 

Dalam diam aku membohongi diriku akan realita. Bagaimana atau apapun yang terjadi disini aku harus membohongi diriku bahwa aku akan baik – baik saja. Waktu untuk mandi bertambah menjadi dua kali lipat dari biasanya, separuh waktu itu kugunakan untuk meredam isak tangis. Sungguh aku tak ingin menjadi beban pikiran bagi wanita paruh baya yang dalam diam amat kusayangi, Ibu.

Tak terasa waktu mengantarkanku kebangku akhir SMA, di tempat ini aku harus menyesuaikan waktu menjadi dua bagian, satu untuk pembelajaran formal ilmu agama dipesantren. Dan karena inilah persiapan untuk menghadapi Ujian Nasional dipercepat, empat bulan lebih awal dari sekolah formal lainnya. Tuhan mendengarku, disaat seperti itulah seorang alumni pesantren membawa info beasiswa kuliah dari diknas. 

Aku girang bukan main, setiap harinya aku menyempatkan diri menerobos ruang guru untuk menanyakan info lebih lanjut, kuharap ada guru yang berkenan membantuku. Hasilnya tetap saja nihil, para guru rasanya tak punya waktu lebih untuk sekedar melihat usahaku. Nafasku sesak menahan kecewa setiap kali menginjakkan kaki dilantai sekolah. Perasaan demi perasaan muncul disela himpitan ujian nasional yang menghadang. Bukannya mendukung, kebanyakan makhluk justru tertawa sinis melihat usahaku meraih beasiswa tersebut. Bahkan satu kalimat yang sangat membuatku amat terpukul, “mau ujiannya gak lulus apa, kok ngotot banget pengin kuliah”.

Kali ini aku tak mau merasakan sakit hati lagi, aku akan menunjukan bahwa diri yang mereka sepelekan ini akan jadi subyek yang selalu disebut dimana tempat. Itu janjiku, dan sebagai langkah awal menepatinya kukerok habis tabungan untuk mendaftar ujian masuk perguruan tinggi, sisanya kugunakan untuk browsing materi ujian masuk perguruan tinggi tahun sebelumnya. Bukan hal mudah memang membagi waktu untuk beberapa urusan. 

Jika sebelumnya waktuku mempunyai dua bagian, kini waktu harus kupecah lagi menjadi tiga bagian, antara sekolah formal (persiapan ujian nasional), aktivitas pesantren, dan ujian masuk perguruan tinggi. Dulu bukan hal mudah untuk mendapat ube rampe ujian masuk perguruan tinggi, disisi lain aku sangatlah gaptek (gagap teknologi). Aku mencatat secara manual dibuku tulis setiap soal yang kutemukan diinternet, bila kuhitung ada tiga buku yang berisi soal – soal latihan ujian masuk pergiruan tinggi, isi dari tiap buku ada 58 lembar, jadi 58 lembar dikali tiga hasilnya 174 lembar. Jika mengingat hal ini aku tersenyum kecut, entah terkesan lucu atau bodoh.Setelah ujian nasional berlalu, aku punya banyak sekali waktu dirumah, istilah kerennya mudik. Lebih gilanya lagi, tak terbesit sedikitpun kekhawatiran akan hasil ujian nasional nanti. Entah kenapa aku terlampau percaya diri bisa lulus. 

Firasatku memang benar, bahkan diacara wisuda namaku disebut sebagai siswi dengan nilai ujian bahasa inggris terbaik. Rasanya beribu bunga mekar didadaku sedang udara sejuk Himalaya menyambar wajahku. Selang beberapa hari aku membuka website pengumuman hasil ujian masuk perguruan tinggi, ada ucapan selamat anda lulus di pilihan pertama. Tulisan itu tertera jelas dengan header besar berfont tebal, rupanya aku diterima disalah satu universitas negeri yang cukup tersohor diJogjakarta. Setelah pertimbangan dari keluarga, aku dan wanita paruh baya, Ibu, datang ke universitas tersebut untuk cek kesehatan serta mengurus administrasi. Ada rasa bahwa pembuktian ini bisa kujadikan cambukan bagi mereka yang dulu menertawakan mimpiku.

 Bukankah jelas dalam firmanNya, bahwa Alloh tak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang merubahnya. Dan kini sudah kuubah nasibku dengan usahaku. Tak lagi terpikirkan seberapa sakit dan terpukulnya aku saat ditertawakan dulu, kini ku tuai hasil keringatku. Berita bahagia bertubi -  tubi datang menghampiri, dan terakhir tawaran beasiswa full datang dari yayasan  yang tak berdiri tak jauh dari pesantren dan sekolahku dulu. Melalui bebarapa pertimbangan, pada akhirnya ku lepaskan tiket masuk universitas di Jogja dan menukarnya dengan tiket beasiswa dikota sendiri. Setiap kali jam perkuliahan usai, dengan mantab ku lewati bangunan yang dulu menertawakanku. Sekilas kulihat disana para makhluk menunduk pelan kearahku.

Celoteh

Mawar Kembar di Ujung senja

18.48.00



Udara masih berhembus dengan pelan tapi pasti, sesekali rambut panjang itu terurai menutupi wajah. Dengan cekatan jari yang lentik dengan  kuku berwarna merah itu mengusap helai demi helai rambut yang menutup wajah lembutnya. Aku memandang hal itu dari jarak yang tak terlalu jauh, disisi kanan jalan dengan buku yang sesekali menutup wajahku. Dalam hati aku mengagumi wajah yang penuh lukisan masa laluku.Ais! Sekali lagi aku berhalusinasi mengenai sosok yang telah lama tiada.Wanita dengan paras anggun dan tutur kata lembut serta senyum sederhana yang mempu meluluhkan hati siapapun yang melihatnya. Disini sosok itu muncul kembali dengan wujud yang sama walau pembawaan sikap yang bertolak belakang.

 Dulu, disetiap kali kududuk membaca dibawah pohon ini, Nisa berada ditaman seberang yang berhadapan lurus dengan pohon yang meneduhkanku. Dengan leluasa aku memandang makhluk lembut itu tanpa khawatir pemilik raga itu sadar mataku menerawang kearahnya. Sesekali aku mengalihkan pandangan pada tumpukan kertas tebal yang tergenggam lembut dipermukaan tangan. Kenangan demi kenangan seolah menyatu begitu cepat saat nama itu kusebut, Nisa. Peri cantik yang tak pernah lupa untuk sekedar tersenyum pada makluk asing, tak terkecuali denganku. Suatu ketika, aku berpapasan dengannya ditangga kampus yang hanya cukup untuk dua orang secara berjejer saja. Bisa saja jika aku atau Riko mengambil posisi dibelakang untuk mengalah.

 Riko tak mungkin berpikir sedetail itu, sedangkan jika aku yang berlaku demikian pasti ia akan terkekeh mengejek. Nisa, kala itu terlihat bingung harus berjalan menyamping kekiri atau kesebelah kanan. Langkahnya terhenti dan terlihat bahwa ia ingin membalikkan badan menuju lantai yang sebelumnya telah terlewat. Aku faham betul kebingungannya, disisi kanan ada aku yang berlari menaiki tangga bersama temanku Riko diselahku. Nisa, adalah ketua dakwah kampus yang sangat menggenggam erat nilai luhur dan agamis. Ia mungkin sangat takut jika bersenggolan dengan kami. Dengan langkah pasti, Nisa membalikkan badan dan berlari kembali menuju tangga atas. Kupikir sudah terlambat untuk sekedar mengatakan tidak usah kembali keatas, dan mungkin Riko akan mengejekku habis – habisan.


“Eh.. maaf ya tadi kamu harus balik keatas lagi” sapaku dengan senyum sesopan mungkin. “Iya” jawabnya singkat dengan menatap mataku tak lebih dari dua detik, selebihnya ia menundukan wajah lalu kembali bergegas melangkahkan kaki menuju tangga yang dituju. Dalam wajah yang tertunduk itu sekilas aku bisa melihat senyumnya, sungguh senyum tulus dari makhluk manis nan baik hati. Ada rasa heran dan tak terduga mengapa ia tak begitu memperdulikanku, padahal untuk memulai pembicaraan dengan wanita aku termasuk alot.

Maklum saja, aku termasuk mahasiswa yang cukup tenar dilingkungan kampus, terutama dikalangan para mahasiswi. Jabatan sebagai ketua BEM dan vokalis band indi yang digandrungi akhir tahun ini. Lalu, kali ini dan untuk pertama kalinya seorang wanita justru terlihat acuh saat disapa padahal setiap kali ku menampakkan diri banyak wanita yang terkesan mengejarku. Wajar saja jika tiap bulan aku sering berganti pacar, mungkin citra buruk ini yang membuat Nisa terkesan sangat menutup diri terhadapku.


“Hahaha... Loe gak usah sok yes sama tu  cewek, percuma gak bakal mempan brother, liat wajah lu aja kayaknya empet dia! ” Riko menepuk pundakku dengan terkekeh, dan dengan sikap tenang aku menganggat bahu sembari berkata agak menantang ejekannya tadi, “kita liat aja nanti!” semenjak kejadian itu, aku sering membayangkan sosok Nisa yang begitu mewanita, maksudnya benar – benar feminim. Kukira ia sosok yang sangat ideal untuk menjadi pendamping dimasa depan. Diera ini, komitmen antara lelaki dan wanita bisa saja dengan mudah terkoyak godaan. Baik mengenai perselingkuhan hingga permasalahan keuangan, kukira jika orang seperti Nisa pasti tak mungkin terjerumus pada permasalahan duniawi. 

Sosok seperti dia pasti akan berpikir seribu kali untuk melakukan dosa, dan karena ketakutan akan dosa itulah yang membuatnya menjadi sosok ideal dimasa mendatang. Kuakui didalam hati, jika aku tertarik padanya. Mungkin pepatah yang mengatakan bahwa seburuk – buruknya lelaki, ia pasti menginginkan wanita yang baik untuknya masih berlaku dizaman ini. Walaupun tak ada niatan sedikitpun untuk berpacaran dengannya, karena itu sama sekali tidak mungin. Sekilas aku bukanlah sosok agamis yang wara’ atau hidup dalam kesederhanaan dan mengamalkan perintah Tuhan. Tiap harinya kuhabiskan untuk berkumpul bersama teman satu band atau berlibur dengan mereka. Pulang kerumahpun terbilang sangat jarang, aku sama sekali tak tertarik untuk menyaksikan perdebatan secara live dari mama dan papa. Akhir – akhir ini rumah terasa neraka bagiku, semenjak mama memergoki papa menjalin hubungan koleganya sepuluh tahun yang lalu. Entah kronologi seperti apa yang akan berkembang kedepannya, nampaknya aku sungkan mencampuri urusan mereka. Hidupku mungkin terkesan berantakan jika dipandang dari segi Nisa yang sempurna akhlaknya.
......................................................................................................................................................
“Woy! Ngelamun aja loe” tepukan yang cukup keras mendarat dipundakku dan membuyarkan lamunanku. Dengan agak gugup aku menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal sedikitpun. Aku membenarkan posisi duduk yang memang sudah benar sebelumnya. Aku hanya tersenyum simpul pada Andi yang menatapku curiga. Kualihkan kecanggungan ini dengan menatap kembali tumpukan kertas berwarna kecoklatan dengan nuansa klasik, apalagi jika bukan novel terjemahan. Kukira ini jutsu (jurus) pencairan suasana yang ampuh, setidaknya sampai Sita membetulkan posisi novel yang ternyata terbalik, sungguh aku hanya melihat rentetan kata yang terangkai menjadi kalimat bersajak tapi tak kusadari jika tulisan itu berada diposisi yang tidak normal. Bukannya pencairan, justru ini jutsu membekukan suasana. Shame on me! Sungguh memalukan! Dengan tatapan dalam dan menerawang, Andi mengamati tingkahku ini.

“Eh, kamu tahu Nisa kan?” tanyaku disela kecanggungan yang kian mereda. “iya, bukannya dia udah, emm.. maaf Rey” rasa tak enak hati untuk menyebut bahwa Nisa yang telah tiada, mungkin karena aku disebut penyebab kecelakaan yang merenggutnya. Siapa dan atas dasar apapun semua makhluk disini menganggapku penyebab utama kematian makhluk sebaik Nisa.

Kalau saja, sore itu aku tak memaksanya dan satu temannya untuk naik mobilku. Langit berkabut tebal dan pandangan mata agak kabur, sedangkan untuk bernafas tak jarang asap mengganjal dikerongkongan. Kukendarai mobil toyota hitam sembari mendengar siaran kebakaran hutan yang memang sedang jadi tranding topic di Indonesia bagian Utara. Dipersimpangan jalan kudapati dua wanita bermasker berjalan cepat agak tergesa, kupinggirkan mobil untuk menepi kearah mereka.
“Nisa, Helvi ayo aku antar saja, disini tidak dianjurkan untuk terlalu lama menghirup asap” dengan agak teriak aku memanggil mereka berdua,kulihat mereka hanya saling tatap satu sama lain, mungkin mereka bimbang atau tak percaya jika harus menumpang mobil dari orang sepertiku. “Ayolah, aku tulus mau bantuin kalian, serius aku gak ada niat apa - apa” untuk kedua kalinya kuyakinkan mereka, usahaku ternyata menuai hasil, mereka mengangguk.

 Lalu dengan cekatan aku keluar dari mobil untuk sekedar membukakan pintu, kukira perempuan seperti mereka perlu perlakuan lebih dari perempuan yang biasa kuajak jalan. Didalam mobil kami hanya diam terpatri dalam kecanggungan yang luar biasa. Memang selama ini aku hanya bertemu face to face sewaktu kejadian ditangga kampus dengan Nisa, sedangkan Helvi ku tahu namanya saja baru kemarin. Yang kutahu mereka sering kali pergi berdua dengan buku tebal digenggaman. Entah karena kurang konsentrasi atau memang aku kelelahan, tiba – tiba pandanganku buyar dan tanganku terkulai lemas.


“Astaghfirullohal’adzim, mas Rayhan kenapa?” dengan nada panik Nisa menarik baju dilenganku, mencoba menyadarkanku dari penyakit yang datangnya tiba –tiba. Dengan sisa tenaga, ku injak rem mobil tanpa menepi terlebih dahulu. Jelas saja si empunya kendaraan dibelakang kami berteriak memaki. Waktu itu aku tak lagi dapat berbicara, mataku terpejam separuh saja sedangkan telingaku masih awas mendengar suara sekitar. “Helvi, kamu disini dulu buat jaga mas Rayhan, aku akan mencari bantuan”. Kira – kira seperti itulah kalimat yang terlontar dari Nisa dengan tergesa dan wajah pucat memutih. Tanpa menunggu jawaban ataupun persetujuan temannya, 

ia bergegas membuka pintu mobil tanpa menggunakan masker. Bagaimana jika ia sesak nafas nanti? Dengan keadaan setengah sadar aku melihat dua sosok yang  kini terlihat amat cemas. Selang satu menit setelah Nisa keluar, terdengar  jerit dan suara kerumunan banyak orang tak jauh dari mobilku. Sepertinya ada kecelakaan di jalan depan, hingga membuat orang berkerumun dan keluar dari mobil mereka. Tak terkecuali dengan Helvi, ia bergegas keluar mobil tanpa menutup kembali pintunya, asap masuk melalui pintu tersebut, aku semakin dibuat tak berdaya oleh asap yang membuat sesak. Rasanya aku ingin berkoar – koar saat Helvi keluar mobil tanpa menutup kembali pintu tersebut, mungkin ia sangat tergesa hingga lupa didalam mobil aku terkulai lemas. 

Entah bertahan berapa lama, kurasakan diriku  membayang dan terasa ringan, sesekali malah berputar  bak jarum jam. Pandanganku tak lagi kabur, tapi menghitam dan rasa sesak didada kian lama kian membuncah. Aku mengalami semua itu dalam ruang gelap tanpa bisa berkata. Inikah rasanya hilang kesadaran? Atau inikah rasanya menemui ajal? Entahlah aku hanya bisu dalam keadaan yang memaksaku untuk membisu. Tubuhku tak lagi mau menuruti perintah dari otak.


“Aggrhh... dimana ini, kenapa kepalaku terasa sakit?” tanyaku pada sosok yang duduk disebelah ranjang persegi panjang berwarna putih.
“Maaf Rayhan, waktu aku keluar mobil aku panik hingga lupa menutup kembali pintunya, kamu kemudian merangkak keluar dan jatuh diaspal” tutur Helvi dengan wajah menunduk dan saat kulihat matanya bengkak karena sembab. Apakah ia menangisiku? Ataukah terlampau khawatir mengenai keadaanku? Lalu kemana Nisa sekarang? Tak pedulikah ia akan keadaanku?

“Maaf, apakah saudari keluarga dari pasien bernama  Nisa?” Tiba – tiba dibalik pintu seorang suster menanyai Helvi, itu hal yang wajar tapi yang menjadi pertanyaanku bagaimana Nisa menjadi pasien dirumah sakit ini sedangkan ia sore tadi terlihat baik – baik saja. Kulihat Helvi mengangguk dan keluar mengikuti isyarat sang suster. Mungkinkah itu Nisa yang lain? Toh setahuku mereka bukanlah saudara, atau kata saudara hanya formalitas kedokteran saja?


Lima menit kemudian Helvi kembali masuk ruanganku, dengan wajah merah padam dan mata yang semakin sembab ia menatapku tajam. Dengan agak bingung, aku mengangkat bahu sebagai isyarat ketidakmengertianku. Yang kutahu wajah Helvi berurai air mata yang melukiskan amarah tak terkira.

“kamu sama sekali tak inginkah menanyakan keadaan Nisa? Dia yang keluar dari mobil ditengah jalan demi mencari pertolongan untukmu, dan karena itulah kini ia telah tiada”  dengan emosi yang meluap Helvi kemudian bersimpuh dilantai dengan air mata yang berderai, beberapa kali kudengar ia melafaldzkan bacaan islami yang tak kutahui artinya. Bak disambar petir aku mendengar penuturan tersebut. jadi suara riuh yang sempat kudengar dan Helvi yang bergegas keluar mobil tanpa menutupnya kembali, itu semua terjadi saat Nisa tertabrak ditengah jalan. Dan satu alasan yang harus memukul perasaanku adalah alasan Nisa kini tiada, hanya demi menyelamatkanku ia harus merelakan nyawanya. Mataku pedih dan perlahan menetes sedangkan nafasku terasa sangat berat. Sungguh baru kali ini ada hal yang membuat perasaanku membuncah dengan rasa bersalah dan penyesalan berarti.


Semenjak kepergian Nisa, perlahan aku meninggalkan gemerlap duniaku dulu. Kini aku bukanlah vokalis band yang berdandan necis, sekarang hanya makhluk pemakai koko yang selalu duduk disudut majlis. Bukan pujian atau rayuan para fans wanita yang kini kudengar, hanya desis – desis anggota dakwah kampus mengenai penyebab kematian Nisa, dan tersangka utamanya adalah aku. Benar! Jika bukan karena aku, mungkin sosok baik itu masih bisa berkeliling kampus dengan misi dakwahnya. Banyak yang mengatakan bahwa itu musibah didepanku, tapi nyatanya dibelakangku mereka tak luput menyalahkanku juga. 

Menjalani hari baru dengan makhluk baru untuk mendapatkan kebaikan baru. Helvi tak sungkan jika kutanyai masalah agama, bahkan kami menjadi sering bertemu. Aku bisa melihat sosok agamis dalam dirinya sebagaimana apa yang kulihat pada diri Nisa. Apakah aku mencintai Helvi? Dan sebelum semua rasa itu jelas, dengan bodohnya kuungkapkan bahwa aku mempunyai rasa pada Helvi. Antara percaya dan tidak percaya, Helvi justru bersedia menerimaku jika aku benar – benar serius, karena selama ini aku menjadi pria yang baik untuknya. Ku temui orang tuanya, setelah terjadi pertemuan antar kedua keluarga kami putuskan untuk mengkhitbah Helvi terlebih dahulu karena kami masih harus mengejar skripsi yang belum tuntas.

Godaan datang bersama datangnya sosok baru dikampus. Ia masih mahasiswi baru tahun ini. Hari ini kutahui namanya gadis, dan yang paling membuatku terkejut ia adalah kembaran Nisa. Walaupun perangai dan cara perpakaiannya berbanding terbalik dengan sosok Nisa. Darahku rasanya berdesir saat melihat wajah yang amat mirip itu. Agaknya Nisa bukan hanya pergi meninggalkan rasa bersalah tapi rasa cinta juga dilubuk hatiku. Tak ayal jika kutemui wajah yang sama aku bisa merasakan hal yang sama. Aku diliputi dilema mengenai Helvi yang sudah ku khitbah dengan Gadis, mahasiswi dan kembaran dari sosok yang kucinta.

“Aku tak akan memaksamu bang, aku tahu benar jika kepedulianmu terhadap Nisa adalah rasa tertarikmu, dan kini ada Gadis yang masih satu darah dengan Nisa. Tinggalkan aku dan dapatkan ia menjadi wanita yang shalihah seperti Nisa bang, InsyaAlloh aku ikhlas” terang Nisa dengan suara tertahan disaat kuceritakan segala unek – unek yang ada. Diruang baca ini aku merasa sebagai makhluk paling jahat untuk kedua kalinya karena membuat Helvi terisak menahan tangis. Tapi entah apa yang membuatku yakin untuk memilih Gadis, aku memendam harapan jika suatu hari nanti ia akan ku ubah seperti Nisa. Bukan hal yang sulit untuk membuka percakapan dengan Gadis. Tak selang beberapa lama setelah orang tuaku meminta maaf dan saling menerima keputusan ini pada keluarga Helvi, aku mengenalkan Gadis pada orang tuaku. Mereka nampak tak terlalu menyukainya, tapi sekali lagi kuyakinkan sebentar lagi Gadis akan menjadi wanita baik, bahkan lebih baik dari Helvi.

Waktu nampaknya berjalan terlalu tergesa. Aku tak sadar jika sudah berjalan satu tahun hubungan antara aku dan Gadis. Kini ia sudah berubah sedikit demi sedikit untukku. Saat bepergian ia sudah mulai memakai kerudung dan pakaian yang tak terlalu terbuka. Sungguh rasa senang akan usahaku yang mulai menuai hasil. Gadis mengatakan bahwa ia dan Nisa sudah berpisah dari kecil saat ayah bundanya bercerai. Nisa ikut bundanya  yang sangat agamis sedangkan Gadis hidup bersama ayahnya yang glamour. Sejak lahir mereka sebenarnya mempunyai nama yang sama hanya diubah menjadi dua bahasa. Nisa berarti wanita dalam bahasa Arab yang bundanya titipkan, sedangkan sang ayah lebih memilih putri kecilnya dinamai Gadis. Keduanya memilikii maksud yang sama untuk menjului dua putri kembar mereka.

Tak pernah kami berkhalwat atau berdua – duaan, awalnya Gadis memprotes hal ini akan tetapi setelah kujelaskan dengan perlahan ia bisa menerimanya. Setiap harinya aku tak pernah luput untuk mengirim link – link dari situs yang memuat rubrik agama.bahkan sesekali ia mengajakku berdiskusi mengenai hukum islam. Setiap minggunya kucarikan buku – buku agama diluar kota untuknya. Bahkan saat pulang petang kusempatkan mampir ke toko baju muslimah untuk mencari baju ganti untuknya. Di saat waktu berjalan dan semakin berkurang justru rasa sayangku pada Gadis semakin bertambah saja. Keyakinanku semakin kuat untuk merubah  attitude nya. Semakin bertambahnya waktu maka semakin kuatlah keyakinanku pada perubahan Gadis.

“Gadis, besok abang ingin kerumahmu beserta keluarga besar” kataku sembari menghampirinya di bangku taman yang ia singgahi.

“Loe serius, eh maksudnya abang serius?” ia terkesan amat kaget mendengar pernyataanku, sedang aku hanya mengangguk mantap dengan sebuah senyum.

Aku memencet keypad handphone untuk sekedar mengetahui waktu. Ku tahui jika Gadis harus mengikuti kelas pagi. Dia meninggalkanku dibangku taman kampus dengan terburu. Sedangkan aku mempersiapkan diri untuk acara khitbah besok. Sore hari, aku keliling komplek dengan sepeda kesayanganku. Dua jam lagi aku akan datang ke majlis pengajian diperumahan sebelah. Karena waktu yang masih lama, kuputuskan untuk memutar arah menuju rumah Gadis.

 Sekitar lima belas menit aku sudah berdiri didepan gerbang, aku memang tak berniat masuk. Bagiku melihat keadaan rumahnya sudah sangat cukup bagiku. Aku memutar sepedaku, tiba – tiba kudengar suara engsel gerbang dibuka. Betapa kagetnya aku, saat wanita yang kucintai berpakaian amat tidak pantas. Dengan celana diatas lutut dan atasan ketat tak berlengan. Bukankah semenjak ia menjalin hubungan denganku, ia berjanji akan berubah? Satu hal yang lebih membuat mataku terbelalak adalah seorang pria yang merangkul pundak Gadis. Jadi ia hanya bersandiwara menjadi perempuan baik – baik didepanku?

“Astaghfirulloh, jadi seperti ini kelakuanmu dibelakangku?” dengan nada gemetar menahan amarah aku melontarkan kata kepadanya
“Dengerin penjelasan gue dulu Rey, aku selama ini memang mengikuti semua yang kau sukai, tapi perubahanku itu justru membuatku tertekan. Aku sudah punya dunia yang tak banyak aturan, dan aku nyaman dengan duniaku. Mengertilah..” katanya dengan nada serak menahan tangis

Rasanya mendung tak hanya bertengger dilangit saja tapi hatiku bergumul dengan kabut – kabut kekecewaan. Wanita yang ku yakini bisa ku ubah, layaknya Nisa yang mengubah jalan pikiranku. Perlahan ingatanku mengantarkanku pada wanita baik hati yang ku tinggalkan dulu. Helvi, entah seperti apa dia kini. Aku terlalu mengikuti kata hati yang kini mengantarkanku pada kenyataan pahit. tapi mengapa Gadis harus bersandiwara didepanku, jika kiranya pengorbananku kepadanya tak terlihat berarti dimatanya. Harusnya jangan pernah kudekati wanita hanya karena rupanya yang sama dengan makhluk yang kusayangi dulu. 

Aku menjauhkan diri dari gerbang itu, sama seperti diriku yang akan menjauh dari kekecewaan yang timbul. Sekilas aku bertanya pada Sang pemilik hidup, mengapa disaat aku menjalankan perintanya dan menjauhi segala larangannya justru aku harus menelan realita hidup yang pahit. mungkin kebaikanku belum cukup menebus segala dosa masa laluku. Perlahan tapi pasti aku bangkit dari sakitnya didustai. Aku memaafkannya, walaupun kesalahannya tak bisa bersih sepenuhnya dari ingatanku. Waktu bergulir mengantarkanku pada ruang baru dimuka bumi. Hatiku merasakan kedamaian yang tak terkira saat kuselami ilmu ukhrawi. 

Semakin berjalannya waktu aku baru menyadari bahwa Alloh ingin menunjukan mana wanita yang pantas menjadi teman hidup. Dua mawar dari satu pohon tak selamanya memiliki dahan yang sama. Merahnya mereka berdua harusnya tak membuatku menganggap bahwa mereka sama. Dan diujung senja kusadari kedua mawar itu berbeda. Cahaya mega membukakan mataku pada warna yang berbeda itu.






"Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak percaya itu"

_Ali bin Abi Thalib_

Like me on Facebook