Gerimis dan Airmata di Penghujung Malam (Cerpen Remaja)

08.10.00



Air mataku masih berderai ketika para senior mengisi ruang asing ini dengan berbagai celotehan. Dipojok ruang kelas yang cukup luas ini aku termangu disamping anak perempuan yang baru kukenal semenit yang lalu. Mataku sesekali tertuju pada dua poster yang berjejer dengan ukuran yang sama diatas papan putih. Aku kenal siapa mereka, mungkin lebih tepatnya aku tahu persis bahwa mereka adalah orang paling berpengaruh dinegeri ini.Dengan wajah sumpringah mereka mengenakan peci hitam dengan background bendera merah putih yang gagah. Bisa ditebak bukan? Presiden dan wakilnya, waktu itu Bapak SBY dan Jusuf Kalla. Sesekali aku menengadahkan wajah keatas sebagai kamuflase agar tak terlihat menangis. Andai saja mereka dan makhluk manis berpita ping disampingku ini mengerti air mataku yang meleleh karena rindu. Agaknya aku masih makhluk ingusan, layaknya anak itik yang tak bisa jauh dari induknya. Satu alasan lagi mengapa rasanya begitu asing disini, aku anak pindahan yang sebelumnya telah mengikuti stu hari masa orientasi (pengenalan) disekolah menengah pertama. Anak pindahan tentunya menjadi sasaran empuk bagi senior. Tapi berbeda denganku, karena sebelumnya kepala sekolah sendiri yang langsung terjun ke lapangan demi memperkenalkan siapa anak baru ini. itulah alasan mengapa mereka tak begitu menjadikanku sasaran kejahilan. Tanpa alasan aku airmata bercucuran disudut mataku.
“Yang bernama Rifa silahkan maju kedepan untuk mengenalkan diri”
Tiba – tiba ruang ini hening dan perlahan semua wajah yang sebelumnya menghadap kedepan kini menuju kerahku. untuk maju kedepan kelas rasanya agak canggung, tapi aku tak bisa mengelak. Dengan kekuatan yang sedikit demi sedikit kukumpulkan aku melangkah menuju tempat panas itu. Sesekali aku melihat para anggota OSIS yang tadi memanggilku.
“Selamat pagi, perkenalkan nama saya Rifa Syarif. Saya pindahan dari SMP Bina Bakti seminggu yang lalu. Hobi saya membaca manga dan menonton anime Jepang, Arigato” mereka nampaknya agak terhenyak saat kata terakhir yang berbahasa Jepang itu terlontar dari mulutku. Biarlah, toh aku suka jika mereka kagum denganku. Ketika membungkuk sembari mengatakan ucapan terima kasih dengan bahasa dari negeri matahari terbit itu, seluruh isi kelas menjadi riuh penuh dengan beberapa siulan.
First Class....
Ini hari pertama aku masuk setelah masa orientasi. Memasuki gerbang rasanya ada tatapan aneh dari beberapa siswa yang duduk dipelataran kelas. Aku berusaha setenang mungkin saat berlalu melewati mereka. Sudah bukan hal baru lagi bagi mereka untuk menggoda murid baru. Aku berlalu saja tanpa meladeni mereka, tak penting juga. Sesampainya dikelas aku berusaha memberi senyum seramah mungkin pada seisi kelas. Dan hasilnya benar – benar mujarab, mereka membalas senyumku.
“kamu bawa baju olah raga kan?” tanya makhluk perpita ping disebelahku
“bawa, tapi bukannya itu jam kedua ya” tanyaku menyelidik
“iya sih, cuman tadi pak Radit masuk kelas buat ngasih tahu kalau olah raga diganti jam pertama” jawabnya sembari melihat kearahku yang mengangguk perlahan.
Untuk ukuran guru, beliau terlihat lebih muda dari kebanyakan guru disekolah ini. parasnya yang tampan nampaknya membuat banyak murid begitu antusias untuk berolah raga. Kuakui ada rasa kagum juga yang terselip dihatiku, tapi aku tak mau berlebihan seperti geng senior atau temanku yang berpita ping ini. sialnya lagi pemanasan menjadi lebih singkat karena permainan bolal basket antara putra dan putri akan segera dimulai. Semua siswa masuk tim, tak terkecuali aku. Dengan muka masam aku mengejar ke segala penjuru untuk merebut bola orange itu. Hasilnya tetap saja nihil, hingga sesekali aku berdiri mematung dipojok lapangan. Saat aku menoleh aku kaget bukan main karna sebuah bola orange  membentur tembok yang berbanding lurus denganku. Dengan hitungan detik bola itu memantul tepat kearahku. Aku terjatuh saat wajahku terhantam keras, kurasakan bau anyir darah segar yang mengalir dari bibir bagian atas. Seluruh siswa mengerumuniku, lalu pak Radit menggendongku menuju UKS. Kira – kira begitulah kronologi yang kuingat sebelum tak sadarkan diri. Masih dengan keadaan terbaring aku bisa melihat teman – temanku menemani dan sesekali memijit lengan serta kakiku. Wajah mereka terlihat khawatir dengan keadaan yang menimpaku.
“Siapa sih yang bego banget benturin bola ketembok tadi?” tanyaku dengan ekspresi datar
“Emm.. tadi tuh yang pegang bola si Dino, dia jago basket dari SD, kayaknya dia bakal jadi kapten basket deh disekolah ini” tutur si pita ping sembari membenarkan segala aksesoris dirambutnya.
Bukannya membantu dengan menenangkan, dia malah cerita panjang lebar mengenai makhluk menyebalkan bernama Dino. Memangnya sekeren apa cowok yang jago main basket akan tetapi untuk meminta maaf saja nampaknya tak berani.
“Permisi” suara ketukan pintu disertai bunyi pintu yang berderik perlahan. Nampaknya ada teman yang akan menjengukku. Masih menerka siapa yang masuk aku dibuat, dalam hitungan detik aku dibuat  terhenyak dengan makhluk yang tadi membuatku cidera. Dalam hati aku sudah menyiapkan berbagai umpatan sinis yang akan kulontarkan padanya. Nampaknya ia tahu niatanku, hingga dengan gerak cepat ia membalikkan badan dan keluar dari UKS. Dasar pengecut! Umpatku dalam hati. Entah apa juga yang membuat teman – temanku terpana dengan kedatangannya hingga berekspresi berlebihan seperti melihat artis bertaraf internasional.
“Aku minta maaf ya Rifa, tadi aku benar – benar gak sengaja benturin bola ketembok. Kamu gak papa kan?” katanya dengan wajah tulus dan kehadiran kedua yang mengagetkan. Tangannya mengulurkan sebuah bingkisan persegi panjang berwarna keemasan. Spontan aku menerima pemberiannya tanpa ucapan terima kasih dan juga tanpa umpatan yang sebelumnya telah kusiapkan. Kudengar bisik – bisik dan deheman kecil para makhluk di UKS. Cukup lama aku dan dia berpandangan mata, aku rasanya tersihir oleh pesona makhluk itu. Benarkah? Senyuman kecil nan manis juga tersungging diwajahnya hingga membuatku tak berkutik mengumpat ataupun marah terhadapnya. Darahku berdesir saat matanya menatapku, perasaan macam apa ini. dengan bahasa tubuh, ia mengisyaratkan bahwa ia pamit keluar, dan kedua kalinya aku mengagguk pasrah.
“Ciyee.. katanya tadi dia itu bego terus mau kamu omelin habis – habisan. Eh gak taunya malah pandang – pandangan gitu, kayaknya ada yang  falling in love at the first sign nih” makhluk berpita ping itu menggoda dengan mencubit lengan dan diiringi tawa tertahan seisi makhluk di UKS. Dan untuk ketiga kalinya, makhluk bernama Dino itu kembali ada dihadapanku secara tiba – tiba. Dengan agak tersipu malu, ia mengulurkan tangannya untuk meminta maaf. Rupanya ia kembali ke ruang ini hanya karena tadi ia lupa tak bersalaman tangan denganku. Akupun tak luput dari wajah memerah bak tomat di dapur rumah.
Dino, sosok itu entah kenapa tiba – tiba sering berkelebat dianganku. Guratan senyum dan ekspresi yang khas itu sungguh mengisi ruang yang kosong. Semenjak tragedi pelemparan bola basket itu, aku dan Dino sering berpapasan ditangga atau sekedar melihat dari jarak tak begitu jauh. Inikah yang orang katakan cinta pada pandangan pertama? Mungkinkah? Anak yang membuatku cidera justru membuatku membuka rasa pertama kalinya. Senyum lebar itu tak pernah luput ia berikan jika bertemu denganku. Tak terhitung bulan, kami menjadi begitu dekat. Bukan hal yang aneh jika ini menjadi alasan mengapa aku diasingkan dan dihujani tatapan sinis senior dan beberapa teman satu kelas. Si pita pink yang dulu duduk bersebelahan denganku, kini ia hijrah kebangku depan. Aku memang tahu, dari caranya menatap atau bahkan bahasa tubuh yang ia berikan adalah tanda bahwa ia menyimpan rasa pada Dino. Tapi apakah ini kesalahanku jika kini Dino lebih dekat denganku daripada dengannya? Benar jika awalnya aku sama sekali tak tertarik untuk mengenal sosok Dino, apalagi ia adalah pelaku utama dari cidera yang kualami. Dan kedekatan kami mengalir perlahan hingga membuat aku dan ia begitu dekat sekarang. Setiap satu minggu sekali kami saling berkunjung kerumah, sekedar mengulang pelajaran. Rumahnya terbilang sangatlah unik, agak beda darai rumah – rumah dikomplek perumahan. Dengan khas Jawa yang kental dengan ukiran – ukiran klasik dari kayu jati. Sekilas aku  bisa menerawang jika penghuninya pasti budayawan dari Jawa. Saat memasuki gerbang setinggi pundak orang dewasa, aku juga disambut dengan bangunan khas Jawa bernama Joglo, kudapati ada patung Yesus disana. Apakah keluarga Dino itu non muslim? Sebersit tanya kembali menyeruak didalam hati. Kupikir ibuku pasti tak suka jika aku bergaul dengan kalangan yang berbeda keyakinan. Kata ibu, itu akan seperti membuka luka yang sudah lama tertutup benang. Setiap kali ibuku mendengar mengenai umat Kristiani, entah mengapa airmatanya perlahan tercucur dari kelopak matanya. Seringkali rasa penasaran mengusikku untuk bertanya, tapi semua itu kuurungkan. Masih terekam jelas saat aku menanyakan ada apa dengan umat Kristiani, mengapa ibu terkesan menjauhkanku dari hal itu. Kebekuan menjadi jawabannya hingga aku berusia enam belas tahun, sekarang ini.
“Eh, ada tamu rupanya. Siapa ini kok cantik sekali Dino?” kata perempuan yang seumuran dengan ibuku dibalik rimbunnya tumbuhan yang sedang disiraminya.
“Kenalin bunda, ini teman baru aku namanya Mawar. Dan Mawar, kenalkan ini bundaku yang paling cantik” ucap Dino sambil terkekeh.
Usai bersalaman, tante mempersilahkan kami untuk masuk dan mengambil minum, katanya anggap saja seperti rumah sendiri. Gerak – gerik wanita itu tak jauh berbeda dari wanita paruh  baya lainnya, terutama ibuku.
“Mawar, aku keatas dulu, kamu tunggu disini sambil baca koleksi buku dilemari yang berwarna coklat aja” katanya mempersilahkan, sedang aku hanya mengangguk pelan.
Ruang tamunya lebih mirip ruang baca diperpustakaan daerah yang biasa aku singgahi. Ada tiga lemari disana, ketiganya berbeda warna dari warna coklat, merah tua, dan hitam. Mataku menjelajah kearah lemari berwarna coklat, disana ada foto Dino bersama bundanya yang menggendong bayi, disamping wanita itu juga ada sosok pria gagah yang tersenyum lebar. Sekilas rasanya aku tak asing dengan wajah pria itu, ingatanku memutar berusaha mencari – cari siapa sosok itu.
“Pak Radit” kataku perlahan, jadi benarkah jika pria difoto keluarga itu adalah guru olahraga disekolah kami. Apakah ini berarti jika Dino adalah anak pak Radit?
“Itu ayah, oh iya aku belum pernah cerita kekamu kalau pak Radit ayah aku ya” ungkapnya mengagetkanku.
“Eh, iya aku juga gak pernah nanya kok” berusaha tersenyum simpul menyingkapinya.
Aku menyiapkan buku untuk bahan belajar kami. Sesekali aku melihat wajah Dino yang amat serius mengajariku matematika. Aku rasa ia sadar kuperhatikan, hanya saja ia berusaha tak tampil canggung.
“Dino, maaf ya aku mau nanya, keluarga kamu kristian?” tanyaku disela keheningan dengan agak takut menyinggung perasaannya.
“Emm.. iya mawar, kenapa? Apa kamu antipati dengan non muslim?” tanyanya kembali dengan raut tenang. Sedang aku hanya menggeleng perlahan berbumbu senyum.
Tak terasa sudah dua jam aku singgah dirumahnya. Dan kini aku bingung bagaimana aku bisa pulang karena angkutan kota sudah tidak beroperasi lagi sesore ini. Agaknya Dino dan bundanya memahami apa yang ada dipikiranku. Wanita  menyuruhku menunggu sekitar satu jam lagi saja, agar ayah Dino bisa mengantarku pulang. Aku tak punya pilihan lain, secepat mungkin kukabari ibu dirumah. Entah keajaiban atau anugrah, ibu hanya mengiyakan tanpa  bertanya berlebihan seperti biasanya, mungkin karena sebelumnya Dino pernah berkunjung dirumahku, jadi ibu merasa tenang. Selama menunggu ayah Dino pulang, aku dan dan Dino duduk ditaman belakang rumah. Banyak hal kami saling bagi mengenai hidup kami.
“Eh, kemarin waktu aku main kerumahmu maaf ya aku belum sempat ketemu ayah kamu” Ucapan Dino menyentak hati, aku baru sadar jika sudah tiga belas tahun sosok ayah hilang dari keluarga kami. Aku tak ingat seperti apa wajah yang dulu sering membopongku dengan riang.
“Dino, aku mohon kamu jangan lagi membahas mengenai ayahku. Aku benci dia, kata ibu ia sudah pergi meninggalkan kami demi wanita lain yang seiman dengannya” aku tertunduk lesu. Aku bisa melihat ada raut tak enak dari wajah Dino, sedang ia tak lagi berkata – kata. Suasana menghening seketika.
“Eh... Mawar, ayo om antar pulang nanti keburu kamu dicariin ibumu lho” suara sumpringah itu melunturkan kebekuan diantara aku dan Dino.
Ditengah perjalanan aku banyak bercerita mengenai banyak hal. Begitupun ayah Dino mengatakan bahwa ia dulu juga punya anak perempuan yang seumuran dengan Dino. Aku menelisik lebih dalam keterangannya, dulu pernah punya anak seumuran Dino? Lalu dimana anak itu sekarang, bukankah difoto keluarga hanya ada bayi perempuan yang umurnya terpaut jauh dengan Dino?
Setibanya digerbang rumah, kulihat ibu sudah menunggu dengan membawa payung. Malam ini gerimis turun perlahan. Pak Radit membukakan pintu untukku dan mendekat kearah ibu.
“kamu? Apa yang kamu lakukan disini, kenapa mawar bersamamu? Tak cukupkah kau menyiksa kami dulu dengan penghianatanmu?” ibu berteriak histeris dengan mengacungkan jari telunjuknya ke wajah pak Radit. Aku bingung dengan maksud dari kalimat yang terlontar itu. Ibu menyuruhku untuk masuk kedalam.
“jadi mawar anakku? Maafkan aku Retno, dulu aku tak kuasa menolak permintaan orang tuaku untuk menikah lagi dengan wanita kristian yang notabene seiman denganku”
Aku lunglai dibalik gerbang, aku menyandarkan punggungku digerbang dalam. Payung yang sebelumnya melindungiku dari rintik air itu kini terhempas angin. Dengan tubuh basah aku bisa mendengar segala tutur kata mereka diluar gerbang. Pertemuanku dengan Dino diawal masuk sekolah justru membuka rahasia tentang sosok ayah yang kubenci. Kenangan awal masuk sekolah yang kuanggap indah kini tak lebih baik dari pisau yang mencabik jahitan luka yang lama tertutup. Karena itu, aku membenci masa dimana aku mengenal bangunan bernama sekolah.

You Might Also Like

2 komentar

  1. mba Nurul tolong di kasih Spasi dan Enternya dong ( terlalu mepet ), jadi pusing bacanya. tapi overall bagus ceritanya

    BalasHapus
  2. hehe belum di edit udah keburu diposting, tapi makasih masukannya,
    oya, nama saya nurus bukan nurul :)

    BalasHapus





"Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak percaya itu"

_Ali bin Abi Thalib_

Like me on Facebook