Ketika Cinta Mengetuk Pintu Takdir (Cerpen Islami-Remaja-Roman)

12.53.00


Masih berkutat mengenai organisasi mahasiswa yang kian hari kian indah. Harusnya perasaan berlebih ini tak tertuang dalam suatu organisasi. Entahlah, cinta tak punya mata untuk melihat atau  bahkan memposisikan diri. Perasaan yang mengatasnamakan takdir karena kemunculannya yang tiba – tiba. Inilah aku, mahasiswi yang terjebak dalam lautan emosi ditempat yang kurang tepat. Andai diijinkan, ingin rasanya aku menimpali setiap rasa yang menyapa. Tapi semua perasaan urung kuungkap kepermukaan karena suatu hal yang tak lain karena sabda ilahi.  Kenyataannya, sampai detik ini aku belum pernah menjaliin hubungan dengan pria manapun. Bukannya aku tak normal, agaknya aku tumbuh dilingkungan pesantren dimana suatu hal yang mengatasnamakan syar’i menjadi acuan. Tak mudah rasanya menutup mata dari setiap cinta yang menyapa. Sembilan belas tahun sudah aku lewati hari tanpa mengenal cinta anak Adam.

“Sabtu besok kita mau ngadain rapat buat acara menggalangan dana, bisa ikut kan?” kata Seto penuh harap

“insyaAlloh” jawabku membuat janji

Dilema mahasiswa masa kini, saat mulut menggembar – gemborkan hak rakyat pada dewan pemerintahan akan tetapi lupa pada hak orang tuanya. Dimana letak tanggung jawabmu sebagai agen perubahan? Bukankah orang tuamu juga punya hak atas dirimu dan kau punya tanggung jawab dalam hak tersebut. Jika saja kau penuhi hak orang tuamu dan melaksanakan kewajibanmu sebagai mahasiswa, tak perlulah kau saling melukai dengan aparat. 

Cukup dengan prestasi kau bisa ubah negeri ini. sebagai mahasiswa bukan berarti hanya terpatri pada perkuliahan  saja lalu acuh pada keadaan negeri, hanya saja disini mahasiswa diuji untuk dapat memposisikan diri. Memposisikan diri dalam perkuliahan juga sebagai agen perubahan. Inilah celotehku yang mungkin diangap dosa bagi mahasiswa aktiv dikampus.

Jam karet masih berlaku dinegeri ini, tak ayal jika jam yang tertera pada undangan kini merombak lebih jauh. Dalam diskusi tersebut aku hanya bagian dari perkumpulan  mahasiswa diseluruh daerah. Tak aneh jika aku masih awam mengenai wajah serta nama mereka. Wajah – wajah cerdas nampak pada setiap mereka yang mengungkapkan argumen. Pandanganku tertuju pada sosok tenang yang duduk  menyilangkan kakinya. 

Aura kewibawaan sangat bisa terasakan, cukup itu saja yang bisa kudeskripsikan mengenai sosok itu karena aku tak berani memandangnya terlampau lama. Dengan wajah tenang itu, ia mengutarakan gagasannya. Tak luput senyum sederhana sesekali tersungging diwajahnya. Saat itulah muncul perasaan aneh dalam jeda detak jantung yang kian berdegup.
Aku mengangkat  tangan keatas sembari mengkode moderator, tepatnya menimpali gagasan yang diutarakan makhluk berwajah tenang sebelumnya.

“Bagaimana jika penggalangan dana tidak hanya melibatkan mahasiswa saja, akan tetapi seluruh pelajar SMP sampai SMA sederajat, bukankah ini akan menimbulkan dampak yang lebih baik bagi kita dan acara yang akan terlaksana. Saya yakin semakin banyak personil yang kita punya maka akan semakin banyak dana yang terkumpul nantinya” kataku menimpali argumen sosok tenang itu.

Ruang rapat kini bising dengan bisik – bisik makhluk didalamnya. Setelah itu moderator berdehem guna meraih perhatian untuk membacakan hasil voting serta keputusan yang didapat. Tersirat aura sumpringah saat usulanku disetujui. Setelah salam, kami membubarkan diri menuju pelataran. Menuju masjid ditengah bangunan yang biasa kami singgahi untuk berdiskusi. Dari sekian banyak anggota rapat, hampir seluruhnya menyempatkan diri untuk menunaikan shalat. Sedang beberapa orang hanya duduk bermalasan dipelataran menungggu shalat usai.

Aku berpapasan dengan sosok tenang itu diserambi masjid. Dengan wajah sumpringah ia melempar senyum sekilas, lalu kembali menundukan pandangannya. Rasanya es menyiram relung hatiku saat itu. Degub jantung kembali tak beraturan, berdetak penuh rasa yang sulit kudeskripsikan. Agaknya aku terlalu naif dalam hal perasaan. Rasanya disetiap tindak – tanduknya membuat getaran tertentu pada segumpal darah yang bernama hati. Ais! Sosok tenang yang mencerminkan keshalehan itu agak mengusik diri.

Sosok tenang itu belum lama ini kutahui bernama Farel. Ia menambahkanku sebagai teman dalam media sosial. Setelah itu kami menjadi akrab dalam berbincang mengenai keorganisasian. Bisa dibilang aku berguru kepadanya, karena ia memang ketua organisasi masyarakat. Keakraban itu hanya terjadi didunia maya. Kami saling menjaga hati walaupun cinta kian merongrong iman.

Jangan pacaran!

Itu yang kami tanamkan pada diri kami masing – masing setelah Farel mengutarakan perasaannya.
“Rif, sebenarnya aku tertarik kepadamu sejak pertama kita bertemu,sejak mendengar gagasanmu waktu itu aku menanyakan namamu, ternyata tak sulit menemukanmu dimedia sosial. Ada rasa yang tak mampu ku deskripsikan disini , akan tetapi aku tak akan mengajakmu pacaran karena islam tak membolehkan” terangnya dalam pesan singkat difacebook.

“Jujur aku senang mendengarnya, aku senang saat kau ternyata juga memiliki rasa yang sama terhadapku, selebihnya aku senang saat kau tak mengajakku untuk pacaran. Mari menata hati, jika berjodoh siapa yang tahu?” tuturku sekenanya saja sembari menyadari kenapa tak pernah kutanyakan pada siapa ia tanyakan namaku hingga tahu akun media sosialku. Ais! Sudahlah...

Tanpa ikatan dan tanpa dosa pastinya. kami tak bisa berlaku lebih karena satir muhrim masih membatasi kami. Memang agak berat akan tetapi indahnya lebih terasa. Saat berpapasan Farel hanya berkata seperlunya dan tatapan mata yang bisa kuhitung, ia tak akan menatapku lebih dari tiga detik. Jangankan didunia nyata, dimedia sosial pun kami tak pernah  berkata mesra layaknya insan yang dimabuk asmara. Sejauh ini kami berusaha tak melebihi batas dalam koridor islam. Kami sama – sama punya mimpi, dimasa mendatang untuk pacaran setelah menikah.

Rapat hari kedua...

Aku masih termangu menunggu anggota yang lain hadir. Agaknya ini cukup meraup kesabaran, bagaimana mungkin mereka bisa terlambat satu jam dari jadwal yang diagendakan. Ada rasa sebal yang dalam dada tapi tak kuasa kuluapkan pada mereka, para pemegang jam karet. Untuk mencairkan rasa kesal, mataku berkeliling kesekitar.

 Mulai rumput yang menjalar ketepian sampai lumut yang bergelayut diatas tembok tak terawat. Kukira melihat pohon juga tak kalah mengasyikan, aku bisa merasakan banyak makhluk yang hidup disana. Mulai dari semut, ulat bahkkan burung yang mungkin hanya singgah untuk bertengger diranting. Bahkan lebih gilanya lagi aku kadang membayangkan kehidupan hewan – hewan tersebut nyata layaknya manusia. Mungkin ini efek menonton film animasi atau membaca fabel dimasa kecil. Aih! Dasar imajinasi! Umpatku dalam hati.

“Assalamu’alaikum, yang lain belum datang?”

Aku menengadah untuk melihat sosok dari suara yang terlontar itu. Wajah itu ternyata milik makhluk berwajah tenang, Farel maksudku. Masih terpatri dengan wajah yang berhias senyum tiba – tiba aku tersadar dari lamunanku. Tololnya aku bersikap demikian, mungkin inilah yang biasa disebut salting (salah tingkah). Padahal dalam pesan singkat aku tak secanggung ini padanya, kenapa sekarang aku begitu memalukan. Rasanya aku terlempar kembali kesumur yang gelap lagi dalam, saat lamunanku pecah.

“Wa’alaikumussalam, be...belum dateng” Aku agak terbata menimpalinya dan tentu saja tanpa keberanian untuk memandang wajahnya.

Sesekali aku menghembus nafas secara perlahan, tak beda dengannya. Bahkan rasanya bunyi nafas itu menyambar kesisi telingaku. Hanya keheningan yang terasa diantara himpitan bangunan yang dihembus angin. Sedang otakku tak henti – hentinya berpikir mencari kata lalu merangkainya menjadi sebuah bahan pembicaraan, mungkin itu yang kami butuhkan sekarang. Tanganku meraih handphone untuk menetralisir kecanggungan. 

Aku duduk berjarak empat kotak keramik yang berjejer rapi darinya. Tak ada bayangan atau kelebat gerak – geriknya karena kami duduk berseberangan. Aku memang senang bertemu secara langsung dengannya, tapi tak kusangka akan  jadi secanggung ini. Kalau boleh tak tak menghujat nurani, ingin rasanya aku berlari sejauh dan sekencang mungkin darinya agar tak kaku begini. Tapi, bukankah itu akan jadi topik tolol kedepannya.

“Dari rumah jam berapa mas?” berusaha mengeluarkan jutsu pencairan suasana

“Jam satu siang, kamu udah lama duduk disini tadi?” katanya dengan jurus klasik dan terkesan basa – basi.

“Ciyeeee..... eheem ” tiba – tiba suara riuh datang dari makhluk yang tak ku ketahui kapan muncul dari permukaan bumi. Mereka memergoki kami hanya berdua dan itu dijadikan bahan lelucon mereka
“ciyeeh.. yang berenang sambil minum air?” ledek Syifa sembari melirik penuh makna tersirat, sedang aku hanya mengangkat bahu tanda tak faham maksud dari ucapannya.

“Maksudku kalian yang rapat sambil ketemuan, gituh” katanya mempertegas
Sedang aku hanya melotot kearah makhluk – makhluk penggoda itu, tepatnya para penyorak. 

Aku melepaskan jaket yang kukenakan sedari tadi, seisi ruangan pun tak ingin kalah dariku untuk melepas kain tebal itu. Dan sekali lagi aku menjadi bahan ledekan mereka, warna bajuku ternyata sama dengan pakaian yang Farel kenakan. Duh Gusti.. kenapa kecanggungan demi kecanggungan semakin merajalela saja. Meledaklah kata ciyeh yang sebelumnya sudah terlontar.

Agenda hari ini sangatlah menyita waktu. Sesekali kumelirik jam tangan dengan sembunyi – sembunyi, takut ada sepasang mata yang menyadari kalau aku sudah sangatlah gelisah ingin pulang. Disini aku terjebak dengan rasa tak enak hati, karena aku menjabat sebagai seksi acara rasanya tak adil jika kumeninggalkan partner ditengah kesibukan yang amat sangat.

22.30 PM
Kali ini aku memang harus tebal muka meminta ijin pulang. Bagaimana tidak? Orang rumah pasti sudah menunggu kepulanganku dan sidang akan terlaksana secepatnya. Beberapa menit lagi aku akan menjadi terdakwa dirumahku sendiri dan dikepung oleh penggugat yang notabenenya keluarga ku sendiri. Ku bergegas menarik lengan Syifa untuk mengantarkanku pulang, dengan wajah agak lesu ia pun mengambil helm untuknya dan untukku juga. Disetiap jalan yang terlewat aku melamunkan kejadian yang pasti membuatku sulit untuk tertidur malam ini.

Syifa hanya memberi kode kalau ia langsung pergi lagi. Akupun rasanya juga ingin pergi setelah melihat pelataran rumahku. Agak mengendap aku melangkah, rasa tenang agak bergelayut dihati ini saat ku tak lagi menemui lampu yang menyala. “Alhamdulilah, sudah pada tidur” kataku lirih
Ceklek! (bunyi saklar yang dinyalakan dengan keras)

“organisasi yang mengajarkan wanita untuk pulang selarut ini?” suara abah menggelegar keseisi rumah, sedang aku hanya menunduk penuh rasa bersalah.

“sudah ketiga kalinya kamu pulang larut malam dan semua alasanmu ada pada satu hal yaitu organisasi. Apa kata orang nanti jika anak kyai pergaulannya sama saja dengan anak berandalan” gertak abah sembari memukul  meja dengan telapak tangannya.

Faktanya, aku lahir dan dibesarkan sebagai ning, dimana semua orang akan melihat bahkan memerhatikan gerakan jari yang kubuat. Aku hanya ingin melihat dan merasakan apa yang anak – anak lain alami diluar sana. Toh aku tak melakukan hal yang dianggap dosa oleh agamaku. Apa karena aku anak kyai maka harus tertutup tembok ndalem dan pesantren? Aku juga ingin mempelajari ilmu umum serta bersosialisasi dengan manusia diluar sana, toh aku bisa menjaga diri.

“Kalau begini terus, kamu harus dimahromkan agar abah tenang. Terserah kamu akan melanjutkan kuliahmu atau tidak, dan mengikuti kegiatan diluar sana itu akan menjadi kewenangan suamimu nanti” abah menegaskan.

“Jika itu memang kemauan abah, Rifa akan menerimanya asalkan Rifa sendiri yang berhak menentukan siapa yang akan menjadi suami Rifa nantinya. Asalkan pemuda itu baik agama serta akhlaknya bukankah abah merestuinya?” tuturku dengan keberanian yang entah datangnya dari mana dan tanpa sadar akan dampak ucapanku.

Abah beranjak meninggalkan kursi yang sedari tadi disandarinya, tanpa jawaban dari lisannya sudah kuketahui kalau abah hanya menggertak dan pasti akan berpikir seribu kali jika aku harus menikah, toh mas ku saja belum diperbolehkan untuk ta’aruf pikirku. Dan aku yakin kalau ini adalah kesempatan terakhirku, jika sekali lagi beliau memergokiku pulang larut maka dengan cara apapun aku akan dibuat tak berkutik untuk keluar dari tembok ini.

Malam telah kutinggalkan tanpa bermimpi. Dengan lesu ku menuju ruang makan dan hal yang paling mengagetkan ketika umi menepuk pundakku.

“Nduk kami benar – benar serius untuk memahromkanmu, abah punya kenalan dari pondok Jatim yang memang berniat ta’aruf” tutur umi diiringi desah nafas.

Deg!
Aku kaget bukan main mendengarnya, ternyata abah tak menggertak. Sialnya lagi umi membicarakan hal tersebut disaat semua keluarga berkumpul diruang tamu. Dan ini berarti bukan penawaran melainkan keputusan.

“maaf  abah, umi dan mas Ridwan, bukannya Rifa menolak saran yang umi katakan tadi, tapi selama ini Rifa sudah punya pandangan mengenai calon, ia sosok yang abah dambakan. Dan ketahuilah selama ini kami punya rasa satu sama lain, antara Rifa dan ia tak pernah mengenal apa itu pacaran. Namanya Farel, nanti Rifa akan sampaikan hal ini padanya, pasti ia akan datang bersama keluarga secepatnya” kataku menatap penuh harap pada setiap mata diruang itu.

“Abah tunggu secepatnya, semoga tak mengecewakan keluargamu ini Rifa” ungkap abah tanpa melihat kearahku.

Entah jawaban abah itu mengandung ridha atau laknat didalam batinnya. Kini yang utama aku harus memberitahu Farel secepatnya. Aku melangkah dengan tergesa sampai kerikil tak luput menjadi sandungan. Rasanya jarak kekampus hari ini begitu jauh dan terasa berat dalam langkah. Mataku dengan telaten memeriksa setiap sudut bangunan kampus, sosok Farel harus ku temui hari ini juga, sebelum terlambat. Agaknya terlampau rumit jika harus menjabarkan hal ini di pesan seperti biasanya.

Ini sudah ku kelilingi setiap sudut ruang, mataku tak henti – hentinya menerawang sosok yang berlalu lalang digedung itu. Hampir setengah jam tak ku temui sosok Farel. Tak berangkatkah ia hari ini? tapi kenapa? Hatiku mulai berusaha  menebak.kuputuskan membuka laptop karena biasanya ia online dipagi hari.perasaanku kalut, aku khawatir akan badai.

Benar saja,Badai agaknya menyambangi komitmen yang kami gadang – gadangkan. Kini,ku ketahui Sosok wanita paruh baya membayang dalam pikiran Farel. Sudah semestinya jika ucapan wanita itu adalah perintah bagi Farel karena beliau ibunya. Entah siapa yang salah disini, Ibunya dengan mantap ingin agar anak lelakinya itu menjalin ta’aruf dengan anak teman lamanya. Sementara Farel tak kuasa menolak hasrat wanita paruh baya itu, agaknya ia tak mampu menoreh kekecewaan pada wanita itu.
“Apa kau pernah berbicara kepada ibumu mengenai aku sebelumnya?” tanyaku berusaha setegar mungkin dalam huruf yang terketik amat kaku.

“Maafkan aku Rifa, inilah kesalahanku. Mengapa aku tak pernah menceritakan mengenai kita kepada ibuku sejak dulu. Sedangkan kini aku tak ada daya untuk menolak keinginan beliau. Aku tak sampai hati mengecewakannya”

Kita?
Kau sebut kata itu sebagai ganti antara aku dan kamu, tapi kenapa memilih mengecewakanku untuk melegakan ibumu. Ada rasa sakit yang amat sangat, rasanya dadaku sesak hingga detak jantungku melemah. Rasanya umpatan didalam hati merongrong ingin tertumpahkan, tapi aku masih sanggup menjaga akhlakku. Kuurungkan untuk mengatakan padanya bahwa aku akan menjalani ta’aruf dengan pria Jatim jika ia tak secepatnya menemui abah. Tapi apa gunanya, toh ia menaati setiap sabda ibunya, bukan celotehku.

“Ini berarti aku harus memenuhi kehendak abah mengenai ta’aruf” kataku pada segumpal darah yang bernama hati.

28 Juni 2014...      
Tepatnya besok pria Jatim itu akan menyambangi rumahku, lebih tepatnya rumah abah. Dalam bayanganku aku menghayal jika saja takdirku berjalan layaknya konflik  novel  dimana aku  ternyata dijodohkan dengan sosok yang selama ini aku  sukai, dan semua berakhir bahagia. Tapi bukan seperti itu narasinya.

Aku mencoba menata segalanya kembali seperti sediakala sebelum kulihat wajah tenang itu. Berat rasanya merobohkan bangunan harapan yang kubangun  serpih demi  serpih untuknya. Aku mulai menyibukkan diri dengan aktivitas baru, dakwah kampus menjadi solusi yang tepat untuk menghalau rasa yang kian berhambur ini.

Siang ini agaknya aku harus menunaikan kewajibanku dimasjid kota. Setelah berwudhu dan sesekali bergurau dengan para akhwat aku merapikan sof  kami. Bacaan surah demi surah dari sang imam terdengar begitu menentramkan hati. Dalam sujud terakhirku entah kenapa bayangan wajah tenang itu berkelebat. Dalam doaku aku memohon keikhlasan hati serta kekuatan dalam menapaki jalan kebaikan. Aku melangkah keluar melewati serambi masjid. 

Entah apa yang mendorongku untuk menengok kearah kiri hingga saling menatap dengan sosok itu,Farel. Kecanggungan tak teredakan lagi, dengan wajah tanpa ekspresi yang  jelas hingga sosok itu melukis senyum diwajahnya, akupun berlaku demikian. Ternyata kami shalat ditempat dan waktu yang sama dalam bacaan syahdu satu imam. Dan semua ini justru membuatku bimbang mengenainya, keputusanku dan keputusannya. Ia dan titah ibunya sedang aku dan titah abahku.

Hari ini pertemuan yang pertama bagiku dengan pria Jatim, rupanya ia seorang Gus. Mudah ditebak jika kronologinya seperti itu. Sesuai narasi, aku keluar membawa minuman sebagai media untuk melihat, tepatnya memperlihatkan diri.

“Subhanalloh, kamu ini Rifa kan?” sosok itu bersuara hingga memancing setiap  pasang mata saling tatap.

Aku menengadah sembari meletakkan cangkir kepadanya. Rasanya tegangan listrik menyambar ragaku, benarkah pria Jatim itu Rouf teman masa kecilku dulu. Aku kenal betul siapa dia, sosok Gus yang selalu menundukan pandangannya serta sosok yang dekat denganku semasa kecil. Setiap hari aku mengaji dipondok keluarganya, jelas jika kedua keluarga kami sangatlah dekat, sedekat aku dan dia. Rupanya selama ini keluarganya pindah ke Jatim karena suatu hal, jadi tak ada hak lagi aku memanggilnya pria Jatim, celotehku dalam hati.

Jujur saja, ia adalah sosok yang pertama kali membuatku mengenal dan merasakan apa itu rasa kagum pada lawan jenis. Tapi semua itu kupendam karena aku dan dia rasanya sudah terpatri sebagai sahabat masa kecil. Dan semua itu kini menjadi nyata karena ia pria yang abah kehendaki. Aku tak mampu mendeskripsikan betapa bahagia singgah dihatiku saat itu, ternyata seberapa kerasnya aku berusaha mengetuk pintu yang Alloh takdirkan, akan tetapi pintu itu justru membukakan dirinya lebih dulu. Seberapa kerasnya aku menerka sosok imam masa depanku, nyatanya ia justru mendekat dari jarak yang memang dulunya sangat dekat. 

Dan semua itu berawal dari rasa kagum dimasa kecil. Sampai sosok Farel membuatku memalingkan rasa kagum kepadanya. Tapi rasa kagum pada sosok tenang itu hanya singgah untuk kembali pada rasa kagum dimasa kecil, menuju masa depan antara aku dan Rouf. Dan nyatanya, pertemuanku dengan makhluk berwajah tenang itu hanyalah cara Tuhan membumbui rasa hatiku. Semua itu tak lain adalah cara cinta melabuhkan rasaku pada Gus Rouf melalui pintu takdir yang sebelumnya berusaha kuketuk.
Subhanalloh, betapa sempurna teka – teki dalam setiap narasi yang Engkau gariskan. Biar ku mainkan narasi itu menjadi drama yang terjalani dengan rasa syukur.

You Might Also Like

0 komentar





"Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak percaya itu"

_Ali bin Abi Thalib_

Like me on Facebook