Pinanglah aku di taman surgaNya
07.53.00
Bunyi ponsel itu seolah memanggil nyawaku beranjak dari dunia mimpi yang begitu ku resapi. Dari mimpi yang selalu ku harapkan jadi kenyataan, walaupun rasanya 10 persen dari seribu persen kemungkinan akan terjadi.
“hallo, assalamu’alaikum dengan kediaman keluarga samanta, ada yang bisa dibantu?”
“ya wa’alaikumussalam, saya dafa yang kemarin mengajar di rumah, maaf kemarin handphone saya ketinggalan , bisakah nanti mba rifa membawakannya saat kuliah ?”
“oke”.
Hanya tiga huruf aku menyahut permintaan dafa, setelah itu layaknya umat muslim yang lain kami saling melempar salam. Kadang aku keheranan dengan sosok dafa teman kuliahku sekaligus seorang pengajar agama islam di keluargaku atau istilah yang lebih sering di kenal ia adalah seorang ustadz, dia sosok yang begitu sederhana bahkan bagitu kederhanaanya itu lebih condong pada kekurangan. Bagaimanapun aku iba padanya tapi di lain sisi dia pantas ku cemburui karna segala kelebihan yang dia punya. Dikampus ia sangat disukai dosen, teman kelas bahkan mahasiswa lain fakultas. Pantas saja dia diperlakukan seperti itu, dia bisa melanjutkan pendidikannya karna murni usahanya sendiri.
Hampir satu tahun ibuku pindah ke indonesia untuk mengikuti ayah. Dan kabar gembiranya ibu memutuskan untuk menjadi seorang muallaf dan meninggalkan segala kehidupan di USA. Begitupun diriku, rasanya aku tak menemukan hal yang bisa masuk dalam logika serta perasaanku di agama lamaku. Walaupun baru satahun aku resmi menjadi warga negara indonesia, tapi akuu sudah cukup paham dengan bahasa dan budaya negri ini. Bagaimana tidak dalam percakapan sehari hari ayahku selalu mentranslit ucapannya ke dalam bahasa indonesia apalagi ku mengambil jurusan sastra indonesia di salah satu perguruan tinggi ternama di ibu kota. Kata ayah bagaimanapun juga aku ini tetap berdarah indonesia dimanapun dan siapapun ibuku. Tentu saja ibuku tak mempermasalahkan itu, di amerika demokrasi bukan hal baru.
Jam sudah menunjukan pukul 13.00 WIB saatnya aku pergi ke kampus sesegera mungkin. Bukankah hari ini adalah hari rabu dimana dosen pengampu paling killer yang akan masuk kelas. Terlambat satu menit saja aku bisa didepak dari kelas dan tentu saja si dosen akan mengurangi poinku. Aku tak mau mengulangi kesalahanku disemester lalu, dimana aku harus menanggung malu dan kekecewaan karna aku harus mengulang kelas beliau untuk pertama kalinya dan terakhir kalinya.
“mom, I must go to campus right now”
“ok, honey, be carefull when you driving because I see on tv that today is traffic jam ”
Hanya anggukan sebagai pengganti pita suaraku. Benar saja ditengah jalan terjadi macet panjang, benar- benar membuatku muak bermukim di ibu kota. Banyak sekali sampah yang berserakan, sungai tercemar dan tentunya tikus – tikus berdasi yang menggerogoti sari kehidupan rakyat di lorong – lorong pemerintahan. Itulah berita yang selalu ku dengar di setiap kali ku menyalakan televisi dikamarku. Aku saja yang bukan murni anak bangsa merasa begitu nyiris. Tak terbayang olehku perasaan anak negri ini.
“tiiiiiiiiiiinn.....tiiiiiiinn”
“heh! Punya mata gak loe, cepet jalan dong. Nyusahin orang aja”
Suara teriakan itu menyadarkan lamunan nasionalisku dan menyadarkanku ternyata banyak antrian mobil di belakang mobilku sadangkan mobil di depanku sudah melaju setengah menit yang lalu. Pantas saja orang tua tadi terlihat begitu naik darah. Tanpa ku jawab langsung saja ku jalankan mobil ke arah kampus. Didepan kampus sudah ramai sekali dengan kegiatan aktivis yang menuntut keadilan untuk bangsa. Tanpa begitu ku hiraukan aku turun dari mobil dan menuju fakultas sastra. Aku mengambil jurusan sastra indonesia karna dorongan ibu dan ayahku. Dan ku rasa cukup bermanfaat untuk masa adaptasiku di sini.
“rifa, sebentar”
Suara tadi menyeruku untuk berbalik badan dan menengok siapa kiranya empu dari suara tadi.
“oh dafa, ini saya bawakan handphonenya”
“terima kasih” jawabnya simple, dan seperti biasa dia menundukan pandangannnya setiap berhadapan dengan seoarang wanita. Pernah aku bertanya apakah ia juga bersikap sama dengan ibunnya. Bukan jawaban yang ku dapat tapi gelak tawa seolah aku seorang badut yang memberinya ekspresi lucu.
“what wrong? Am I so stupid with my question?” jawabku tak terima di tertawakan olehnya waktu itu.
“maaf mba rifa, saya menundukan pandangan pada wanita yang bukan muhrim , dan bagaimana perilaku saya ke ibu saya tak jauh beda dari perilaku mba rifa sendiri ke ibu mba rifa ataupun anak – anak lain. Seperti itu kiranya mba rifa, mohon maaf jika tawa saya justru membuat mba rifa tersinggung”
“ok, masuk akal juga lagian kamu kan belum mengajari hal banyak tentang islam padaku, jadi bukan salahku juga dong kalau aku gak tahu”
“begini mba rifa , saya sengaja memberi tahu tentang islam sedikit demi sedikit supaya mba rifa bisa langsung mengimplementasikan, apa yang saya sampaikan juga, bahkan dalam iklan tv pun ada semboyan talk less do more kan mba rifa?” jawabnya dengan tenang dan senyum berbumbu candaan yang sekedarnya seperti biasa. Entah kenapa selama di dekat orang ini aku serasa tak bisa meluapkan emosiku, setiap kata- kata yang santun dan tundukan itu membuatku merasa serba tak tahu perasaan yanng ada pada diriku.
“ya udah deh, lets go ustadz” kataku setengah meledeknya, benar saja seketika ekspresinya berubah , dia memang begitu rendah hati tak mau terlalu di ekspos siapa dirinya sebenarnya.
Hari – hari berlalu begitu cepatnya, bulan ini sidang skripsi sudah ku persiapkan matang – matang. Seperti biasa aku masih membutuhkan bantuan dafa hingga sidang akhirku. Dia memang makhluk baik hati yang selama ini ku kenal.
Hingga waktu wisuda pun tiba, aku masih belum bisa terlepas dari sagala bantuan dafa ,bagaimanapun aku juga menghormatinya sebagai guru spiritualku tapi akhir – akhir ini ada rasa yang kian berbeda.benar saja pasca wisuda bisa dibilang aku lepas kontak dengan dafa.entah kenapa aku merasa ada suatu hal yang hilang di hati ini.tapi aku masih terlalu naif untuk mengakui jika hatiku telah terpaut oleh pemilih senyum manis itu.pandangan yang tertunduk, perkataannya yang santun dan segala pemikirannya yang begitu logis untuk diterima olehku.
Kini ku bekerja diperusahaan ayahku sendiri di dalam negeri, sedangkan dafa di terima bekerja di Amerika tepatnya di Las Vegas. itupun bukan dia yang menyampaikan sendiri kepadaku, entah apa yang membuatnya menjauh pasca wisuda. Ingin rasanya aku menghampirinya dan meminta penjelasan darinya tentang sikapnya itu.tapi gengsiku terlalu tinggi untuk memenuhi hasratku.
Satu tahun ku lewati tanpa senyum manis sang pemiliknya. Hingga suatu pagi ku lihat sosok itu menghampiriku di teras depan dengan wajah sumpringahnya.
“dafa? Kaukah itu?” tanyaku dengan kagetnya
“betul mba rifa, ini saya dafa, bagaimana kabar mba rifa?”
“kamu itu kenapa sih! Semenjak wisuda kau ini selalu menghindariku, apa aku pumya kesalahan yang besar kepadamu ataukah ucapanku ada yang melukai perasaanmu?” tanyaku tanpa memperdulikan pertanyaan yang ia lempar kepadaku, tetap saja ia hanya memandang sekilas ke arahku dengan wajah ramah itu
“begini mba rifa, sebenarnya saya ini menghindari mba rifa bukan karna mba rifa ada salah dengan saya, justru saya yang merasa bersalah pada mba rifa, karna setelah sekian lama saya merasakan kebersamaan dalam ikatan persahabatan entah kenapa hati saya justru terpaut oleh pesona mba rifa, dan saya sadar jika saya masih mempunyai tanggung jawab pada diri saya dan keluarga, karna itu salah menghindari mba rifa agar tak terlampau banyak zina hati yang saya lakukan, setalah saya siap lahir dan batin saya baru berani mengungkapkan isi hati saya, dan inilah waktunya”
Jantungku seolah berhenti berdetak mendengar pernyataannya, bahagia, terharu , semuanya bercampur jadi satu. Untuk pertama kalinya bibirku dibuat bergetar oleh ucapan lelaki , dialah dafa. Aku hanya mampu menjawab permintaannya dengan senyum yang tersirat.
Singkatnya, keluargaku menerima pinangan dafa, bulan depan kami akan melangsungkan pernikahan dikampung halamannya. Aku sungguh merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Bagimana mungkin rasa cinta yang tertutup rasa gengsi akhirnya berujung pada maghligai pernikahan. Tak sabar rasanya ku menghitung hari, hingga suatu ketika aku merasakan pusing yang amat sangat, aku terjatuh dan tak sadarkan diri.
Ku buka kelopak mataku, orang tua beserta dafa beradadi sisiku. Tak seperti biasaya wajah mereka menahan rasa sedih yang beerusah mereka sembunyikan pada senyuman.
“ayah, kata dokter ku kenapa?”
“kamu hanya kecapean saja, istirahatlah”
Sepulang dari rumah sakit hatiku tetap di landa rasa kecurigaan atas sikap mereka, benar saja saat ku temukan sebuah amplop putih tergeletak di sofa mobil yang menyatakan jika aku mengidap kanker otak stadium tiga , dan umurku hanya tinggal menghitung bulan. Bagimana mungkin sisa hidupku justru berbarengan dengan rencana indah pernikahan kami. Adakah lelaki yang sudi menikahi wanita yang sekarat. Perasaanku berkecamuk, tanganku gemetar dan tanpa sengaj aku menemukan pisau kecil di dekat jok mobil, perasaanku terlanjur kalut, hingga ku mencoba mengakhiri hidupku sebelum aku menjadi beban bagi orang - orang yang ku sayang.
Ku tersadar dengan rasa nyeri yang amat sangat di pergelangan tangan, rupanya tuhan masih menghendaki aku untuk hidup. Aku hanya bisa menunduk penuh rasa putus asa ketika orang tuaku beserta dafa mencoba menenangkanku.
“kau boleh membatalkan niatmu menikahiku dan kau boleh meminang gadis lain yang lebih layak dari ku yang sekarat. insyaAlloh aku ikhlas. ”
“kau jangan berkata seperti itu, aku akan tetap menikahimu seperti niatku, kau harus kuat melewati ini semua, yakinlah hanya Tuhan yang mampu menentukan umur hambaNya.”
Aku tak kuasa menjawabnya, hatiku terlalu sakit mendengar kesetiaannya, di lain sisi aku tak mungkin mengorbankan kebahagiaannya demi rasa cintaku padanya.minggu pagi kami bergagas terbang ke sinngapura untuk perawatan medis, sepanjang perjalanan hidungku tak pernah berhenti bercucuran darah. Aku hanya bisa memandang wajah mereka yang tampak meneteskan air mata melihat kondisiku.
Pukul 06:00 aku tersadar jika aku sudah di ruang operasi setelah seharian penuh ku bergelut dengan koma yang menyita jiwaku. Nafasku tersengal di barengi rasa yang amat sakit , tubuhku seolah mati rasa karna menahan sakit yang teramat sangat. Ku berusah meraih tangan orang tuaku karena aku merasa malaikat kematian telah dekat, ku ucapkan salam perpisahan pada dua insan yang telah membesarkanku. Ku tatap dafa dengan tenang, dia meneteskan air mata untuk pertama kalinya di depanku.
“kau harus kuat , demi kita. Yakinlah Alloh akan menolongmu” katanya sambil menatap sendu kepadaku.
“tidak , aku sudah cukup kuat menghadapi kanker ini, tapi Tuhan menginginkan aku menghuni taman surgaNya sekarang, maka ikhlaskan aku pergi. Aku akan menunggumu di taman surga sebaigaimana aku menunggumu di teras depan rumahku saat kau meminangku”
Aku menghembuskan nafas terakhirku di sisi orang – orang yang amat ku sayangi, hidupku layaknya pelangi dengan tiga warna yang melengkapi. Aku tak menghujat takdir yang memisahkanku dengannya di dunia. Tapi aku bersyukur Tuhan memberiku pilihan yang lebih untuk di pinang sang pemilik senyum itu di taman surga dengan segala nikmatNya. Inilah kisahku yang ku tulis dalam memori hatinya. Dalam ketenangan jiwa menuju sang Khalik ku lepaskan cinta kami untuk bersatu kembali di peraduan surgaNya. Di taman surga ia akan meminangku kembali untuk kedua kalinya dalam kehidupan yang kekal dan rasa cinta yang kekal bagi kami.
0 komentar