Ketika Cinta Mengetuk Pintu Takdir (Cerpen Islami-Remaja-Roman)
12.53.00
Masih berkutat mengenai
organisasi mahasiswa yang kian hari kian indah. Harusnya perasaan berlebih ini
tak tertuang dalam suatu organisasi. Entahlah, cinta tak punya mata untuk
melihat atau bahkan memposisikan diri.
Perasaan yang mengatasnamakan takdir karena kemunculannya yang tiba – tiba.
Inilah aku, mahasiswi yang terjebak dalam lautan emosi ditempat yang kurang
tepat. Andai diijinkan, ingin rasanya aku menimpali setiap rasa yang menyapa.
Tapi semua perasaan urung kuungkap kepermukaan karena suatu hal yang tak lain
karena sabda ilahi. Kenyataannya, sampai
detik ini aku belum pernah menjaliin hubungan dengan pria manapun. Bukannya aku
tak normal, agaknya aku tumbuh dilingkungan pesantren dimana suatu hal yang
mengatasnamakan syar’i menjadi acuan. Tak mudah rasanya menutup mata dari
setiap cinta yang menyapa. Sembilan belas tahun sudah aku lewati hari tanpa
mengenal cinta anak Adam.
“Sabtu besok kita mau
ngadain rapat buat acara menggalangan dana, bisa ikut kan?” kata Seto penuh
harap
“insyaAlloh” jawabku
membuat janji
Dilema mahasiswa masa
kini, saat mulut menggembar – gemborkan hak rakyat pada dewan pemerintahan akan
tetapi lupa pada hak orang tuanya. Dimana letak tanggung jawabmu sebagai agen
perubahan? Bukankah orang tuamu juga punya hak atas dirimu dan kau punya
tanggung jawab dalam hak tersebut. Jika saja kau penuhi hak orang tuamu dan
melaksanakan kewajibanmu sebagai mahasiswa, tak perlulah kau saling melukai
dengan aparat.
Cukup dengan prestasi kau bisa ubah negeri ini. sebagai mahasiswa bukan berarti hanya terpatri pada perkuliahan saja lalu acuh pada keadaan negeri, hanya saja disini mahasiswa diuji untuk dapat memposisikan diri. Memposisikan diri dalam perkuliahan juga sebagai agen perubahan. Inilah celotehku yang mungkin diangap dosa bagi mahasiswa aktiv dikampus.
Cukup dengan prestasi kau bisa ubah negeri ini. sebagai mahasiswa bukan berarti hanya terpatri pada perkuliahan saja lalu acuh pada keadaan negeri, hanya saja disini mahasiswa diuji untuk dapat memposisikan diri. Memposisikan diri dalam perkuliahan juga sebagai agen perubahan. Inilah celotehku yang mungkin diangap dosa bagi mahasiswa aktiv dikampus.
Jam karet masih berlaku
dinegeri ini, tak ayal jika jam yang tertera pada undangan kini merombak lebih
jauh. Dalam diskusi tersebut aku hanya bagian dari perkumpulan mahasiswa diseluruh daerah. Tak aneh jika aku
masih awam mengenai wajah serta nama mereka. Wajah – wajah cerdas nampak pada
setiap mereka yang mengungkapkan argumen. Pandanganku tertuju pada sosok tenang
yang duduk menyilangkan kakinya.
Aura kewibawaan sangat bisa terasakan, cukup itu saja yang bisa kudeskripsikan mengenai sosok itu karena aku tak berani memandangnya terlampau lama. Dengan wajah tenang itu, ia mengutarakan gagasannya. Tak luput senyum sederhana sesekali tersungging diwajahnya. Saat itulah muncul perasaan aneh dalam jeda detak jantung yang kian berdegup.
Aura kewibawaan sangat bisa terasakan, cukup itu saja yang bisa kudeskripsikan mengenai sosok itu karena aku tak berani memandangnya terlampau lama. Dengan wajah tenang itu, ia mengutarakan gagasannya. Tak luput senyum sederhana sesekali tersungging diwajahnya. Saat itulah muncul perasaan aneh dalam jeda detak jantung yang kian berdegup.
Aku mengangkat tangan keatas sembari mengkode moderator,
tepatnya menimpali gagasan yang diutarakan makhluk berwajah tenang sebelumnya.
“Bagaimana jika
penggalangan dana tidak hanya melibatkan mahasiswa saja, akan tetapi seluruh
pelajar SMP sampai SMA sederajat, bukankah ini akan menimbulkan dampak yang
lebih baik bagi kita dan acara yang akan terlaksana. Saya yakin semakin banyak
personil yang kita punya maka akan semakin banyak dana yang terkumpul nantinya”
kataku menimpali argumen sosok tenang itu.
Ruang rapat kini bising
dengan bisik – bisik makhluk didalamnya. Setelah itu moderator berdehem guna
meraih perhatian untuk membacakan hasil voting serta keputusan yang didapat.
Tersirat aura sumpringah saat usulanku disetujui. Setelah salam, kami
membubarkan diri menuju pelataran. Menuju masjid ditengah bangunan yang biasa
kami singgahi untuk berdiskusi. Dari sekian banyak anggota rapat, hampir
seluruhnya menyempatkan diri untuk menunaikan shalat. Sedang beberapa orang
hanya duduk bermalasan dipelataran menungggu shalat usai.
Aku berpapasan dengan
sosok tenang itu diserambi masjid. Dengan wajah sumpringah ia melempar senyum
sekilas, lalu kembali menundukan pandangannya. Rasanya es menyiram relung
hatiku saat itu. Degub jantung kembali tak beraturan, berdetak penuh rasa yang
sulit kudeskripsikan. Agaknya aku terlalu naif dalam hal perasaan. Rasanya
disetiap tindak – tanduknya membuat getaran tertentu pada segumpal darah yang
bernama hati. Ais! Sosok tenang yang mencerminkan keshalehan itu agak mengusik
diri.
Sosok tenang itu belum
lama ini kutahui bernama Farel. Ia menambahkanku sebagai teman dalam media
sosial. Setelah itu kami menjadi akrab dalam berbincang mengenai
keorganisasian. Bisa dibilang aku berguru kepadanya, karena ia memang ketua
organisasi masyarakat. Keakraban itu hanya terjadi didunia maya. Kami saling
menjaga hati walaupun cinta kian merongrong iman.
Jangan pacaran!
Itu yang kami tanamkan
pada diri kami masing – masing setelah Farel mengutarakan perasaannya.
“Rif, sebenarnya aku
tertarik kepadamu sejak pertama kita bertemu,sejak mendengar gagasanmu waktu
itu aku menanyakan namamu, ternyata tak sulit menemukanmu dimedia sosial. Ada
rasa yang tak mampu ku deskripsikan disini , akan tetapi aku tak akan
mengajakmu pacaran karena islam tak membolehkan” terangnya dalam pesan singkat
difacebook.
“Jujur aku senang
mendengarnya, aku senang saat kau ternyata juga memiliki rasa yang sama terhadapku,
selebihnya aku senang saat kau tak mengajakku untuk pacaran. Mari menata hati,
jika berjodoh siapa yang tahu?” tuturku sekenanya saja sembari menyadari kenapa
tak pernah kutanyakan pada siapa ia tanyakan namaku hingga tahu akun media
sosialku. Ais! Sudahlah...
Tanpa ikatan dan tanpa
dosa pastinya. kami tak bisa berlaku lebih karena satir muhrim masih membatasi
kami. Memang agak berat akan tetapi indahnya lebih terasa. Saat berpapasan
Farel hanya berkata seperlunya dan tatapan mata yang bisa kuhitung, ia tak akan
menatapku lebih dari tiga detik. Jangankan didunia nyata, dimedia sosial pun
kami tak pernah berkata mesra layaknya
insan yang dimabuk asmara. Sejauh ini kami berusaha tak melebihi batas dalam
koridor islam. Kami sama – sama punya mimpi, dimasa mendatang untuk pacaran
setelah menikah.
Rapat hari kedua...
Aku masih termangu
menunggu anggota yang lain hadir. Agaknya ini cukup meraup kesabaran, bagaimana
mungkin mereka bisa terlambat satu jam dari jadwal yang diagendakan. Ada rasa
sebal yang dalam dada tapi tak kuasa kuluapkan pada mereka, para pemegang jam
karet. Untuk mencairkan rasa kesal, mataku berkeliling kesekitar.
Mulai rumput yang menjalar ketepian sampai lumut yang bergelayut diatas tembok tak terawat. Kukira melihat pohon juga tak kalah mengasyikan, aku bisa merasakan banyak makhluk yang hidup disana. Mulai dari semut, ulat bahkkan burung yang mungkin hanya singgah untuk bertengger diranting. Bahkan lebih gilanya lagi aku kadang membayangkan kehidupan hewan – hewan tersebut nyata layaknya manusia. Mungkin ini efek menonton film animasi atau membaca fabel dimasa kecil. Aih! Dasar imajinasi! Umpatku dalam hati.
Mulai rumput yang menjalar ketepian sampai lumut yang bergelayut diatas tembok tak terawat. Kukira melihat pohon juga tak kalah mengasyikan, aku bisa merasakan banyak makhluk yang hidup disana. Mulai dari semut, ulat bahkkan burung yang mungkin hanya singgah untuk bertengger diranting. Bahkan lebih gilanya lagi aku kadang membayangkan kehidupan hewan – hewan tersebut nyata layaknya manusia. Mungkin ini efek menonton film animasi atau membaca fabel dimasa kecil. Aih! Dasar imajinasi! Umpatku dalam hati.
“Assalamu’alaikum, yang
lain belum datang?”
Aku menengadah untuk
melihat sosok dari suara yang terlontar itu. Wajah itu ternyata milik makhluk
berwajah tenang, Farel maksudku. Masih terpatri dengan wajah yang berhias
senyum tiba – tiba aku tersadar dari lamunanku. Tololnya aku bersikap demikian,
mungkin inilah yang biasa disebut salting
(salah tingkah). Padahal dalam pesan singkat aku tak secanggung ini
padanya, kenapa sekarang aku begitu memalukan. Rasanya aku terlempar kembali
kesumur yang gelap lagi dalam, saat lamunanku pecah.
“Wa’alaikumussalam,
be...belum dateng” Aku agak terbata menimpalinya dan tentu saja tanpa keberanian
untuk memandang wajahnya.
Sesekali aku menghembus
nafas secara perlahan, tak beda dengannya. Bahkan rasanya bunyi nafas itu
menyambar kesisi telingaku. Hanya keheningan yang terasa diantara himpitan
bangunan yang dihembus angin. Sedang otakku tak henti – hentinya berpikir
mencari kata lalu merangkainya menjadi sebuah bahan pembicaraan, mungkin itu
yang kami butuhkan sekarang. Tanganku meraih handphone untuk menetralisir
kecanggungan.
Aku duduk berjarak empat kotak keramik yang berjejer rapi darinya. Tak ada bayangan atau kelebat gerak – geriknya karena kami duduk berseberangan. Aku memang senang bertemu secara langsung dengannya, tapi tak kusangka akan jadi secanggung ini. Kalau boleh tak tak menghujat nurani, ingin rasanya aku berlari sejauh dan sekencang mungkin darinya agar tak kaku begini. Tapi, bukankah itu akan jadi topik tolol kedepannya.
Aku duduk berjarak empat kotak keramik yang berjejer rapi darinya. Tak ada bayangan atau kelebat gerak – geriknya karena kami duduk berseberangan. Aku memang senang bertemu secara langsung dengannya, tapi tak kusangka akan jadi secanggung ini. Kalau boleh tak tak menghujat nurani, ingin rasanya aku berlari sejauh dan sekencang mungkin darinya agar tak kaku begini. Tapi, bukankah itu akan jadi topik tolol kedepannya.
“Dari rumah jam berapa
mas?” berusaha mengeluarkan jutsu
pencairan suasana
“Jam satu siang, kamu
udah lama duduk disini tadi?” katanya dengan jurus klasik dan terkesan basa –
basi.
“Ciyeeee..... eheem ”
tiba – tiba suara riuh datang dari makhluk yang tak ku ketahui kapan muncul
dari permukaan bumi. Mereka memergoki kami hanya berdua dan itu dijadikan bahan
lelucon mereka
“ciyeeh.. yang berenang
sambil minum air?” ledek Syifa sembari melirik penuh makna tersirat, sedang aku
hanya mengangkat bahu tanda tak faham maksud dari ucapannya.
“Maksudku kalian yang
rapat sambil ketemuan, gituh” katanya mempertegas
Sedang aku hanya
melotot kearah makhluk – makhluk penggoda itu, tepatnya para penyorak.
Aku melepaskan jaket yang kukenakan sedari tadi, seisi ruangan pun tak ingin kalah dariku untuk melepas kain tebal itu. Dan sekali lagi aku menjadi bahan ledekan mereka, warna bajuku ternyata sama dengan pakaian yang Farel kenakan. Duh Gusti.. kenapa kecanggungan demi kecanggungan semakin merajalela saja. Meledaklah kata ciyeh yang sebelumnya sudah terlontar.
Aku melepaskan jaket yang kukenakan sedari tadi, seisi ruangan pun tak ingin kalah dariku untuk melepas kain tebal itu. Dan sekali lagi aku menjadi bahan ledekan mereka, warna bajuku ternyata sama dengan pakaian yang Farel kenakan. Duh Gusti.. kenapa kecanggungan demi kecanggungan semakin merajalela saja. Meledaklah kata ciyeh yang sebelumnya sudah terlontar.
Agenda hari ini
sangatlah menyita waktu. Sesekali kumelirik jam tangan dengan sembunyi –
sembunyi, takut ada sepasang mata yang menyadari kalau aku sudah sangatlah
gelisah ingin pulang. Disini aku terjebak dengan rasa tak enak hati, karena aku
menjabat sebagai seksi acara rasanya tak adil jika kumeninggalkan partner
ditengah kesibukan yang amat sangat.
22.30 PM
Kali ini aku memang
harus tebal muka meminta ijin pulang. Bagaimana tidak? Orang rumah pasti sudah
menunggu kepulanganku dan sidang akan terlaksana secepatnya. Beberapa menit
lagi aku akan menjadi terdakwa dirumahku sendiri dan dikepung oleh penggugat yang
notabenenya keluarga ku sendiri. Ku bergegas menarik lengan Syifa untuk
mengantarkanku pulang, dengan wajah agak lesu ia pun mengambil helm untuknya
dan untukku juga. Disetiap jalan yang terlewat aku melamunkan kejadian yang
pasti membuatku sulit untuk tertidur malam ini.
Syifa hanya memberi
kode kalau ia langsung pergi lagi. Akupun rasanya juga ingin pergi setelah
melihat pelataran rumahku. Agak mengendap aku melangkah, rasa tenang agak
bergelayut dihati ini saat ku tak lagi menemui lampu yang menyala. “Alhamdulilah,
sudah pada tidur” kataku lirih
Ceklek! (bunyi saklar yang dinyalakan dengan keras)
“organisasi yang
mengajarkan wanita untuk pulang selarut ini?” suara abah menggelegar keseisi
rumah, sedang aku hanya menunduk penuh rasa bersalah.
“sudah ketiga kalinya
kamu pulang larut malam dan semua alasanmu ada pada satu hal yaitu organisasi.
Apa kata orang nanti jika anak kyai pergaulannya sama saja dengan anak
berandalan” gertak abah sembari memukul
meja dengan telapak tangannya.
Faktanya, aku lahir dan
dibesarkan sebagai ning, dimana semua
orang akan melihat bahkan memerhatikan gerakan jari yang kubuat. Aku hanya
ingin melihat dan merasakan apa yang anak – anak lain alami diluar sana. Toh
aku tak melakukan hal yang dianggap dosa oleh agamaku. Apa karena aku anak kyai
maka harus tertutup tembok ndalem dan
pesantren? Aku juga ingin mempelajari ilmu umum serta bersosialisasi dengan
manusia diluar sana, toh aku bisa menjaga diri.
“Kalau begini terus,
kamu harus dimahromkan agar abah tenang. Terserah kamu akan melanjutkan
kuliahmu atau tidak, dan mengikuti kegiatan diluar sana itu akan menjadi
kewenangan suamimu nanti” abah menegaskan.
“Jika itu memang
kemauan abah, Rifa akan menerimanya asalkan Rifa sendiri yang berhak menentukan
siapa yang akan menjadi suami Rifa nantinya. Asalkan pemuda itu baik agama
serta akhlaknya bukankah abah merestuinya?” tuturku dengan keberanian yang
entah datangnya dari mana dan tanpa sadar akan dampak ucapanku.
Abah beranjak
meninggalkan kursi yang sedari tadi disandarinya, tanpa jawaban dari lisannya
sudah kuketahui kalau abah hanya menggertak dan pasti akan berpikir seribu kali
jika aku harus menikah, toh mas ku saja belum diperbolehkan untuk ta’aruf
pikirku. Dan aku yakin kalau ini adalah kesempatan terakhirku, jika sekali lagi
beliau memergokiku pulang larut maka dengan cara apapun aku akan dibuat tak
berkutik untuk keluar dari tembok ini.
Malam telah
kutinggalkan tanpa bermimpi. Dengan lesu ku menuju ruang makan dan hal yang
paling mengagetkan ketika umi menepuk pundakku.
“Nduk kami benar –
benar serius untuk memahromkanmu, abah punya kenalan dari pondok Jatim yang
memang berniat ta’aruf” tutur umi diiringi desah nafas.
Deg!
Aku kaget bukan main
mendengarnya, ternyata abah tak menggertak. Sialnya lagi umi membicarakan hal
tersebut disaat semua keluarga berkumpul diruang tamu. Dan ini berarti bukan
penawaran melainkan keputusan.
“maaf abah, umi dan mas Ridwan, bukannya Rifa
menolak saran yang umi katakan tadi, tapi selama ini Rifa sudah punya pandangan
mengenai calon, ia sosok yang abah dambakan. Dan ketahuilah selama ini kami
punya rasa satu sama lain, antara Rifa dan ia tak pernah mengenal apa itu
pacaran. Namanya Farel, nanti Rifa akan sampaikan hal ini padanya, pasti ia
akan datang bersama keluarga secepatnya” kataku menatap penuh harap pada setiap
mata diruang itu.
“Abah tunggu
secepatnya, semoga tak mengecewakan keluargamu ini Rifa” ungkap abah tanpa
melihat kearahku.
Entah jawaban abah itu
mengandung ridha atau laknat didalam batinnya. Kini yang utama aku harus
memberitahu Farel secepatnya. Aku melangkah dengan tergesa sampai kerikil tak luput
menjadi sandungan. Rasanya jarak kekampus hari ini begitu jauh dan terasa berat
dalam langkah. Mataku dengan telaten memeriksa setiap sudut bangunan kampus,
sosok Farel harus ku temui hari ini juga, sebelum terlambat. Agaknya terlampau
rumit jika harus menjabarkan hal ini di pesan seperti biasanya.
Ini sudah ku kelilingi
setiap sudut ruang, mataku tak henti – hentinya menerawang sosok yang berlalu
lalang digedung itu. Hampir setengah jam tak ku temui sosok Farel. Tak
berangkatkah ia hari ini? tapi kenapa? Hatiku mulai berusaha menebak.kuputuskan membuka laptop karena
biasanya ia online dipagi hari.perasaanku kalut, aku khawatir akan badai.
Benar saja,Badai
agaknya menyambangi komitmen yang kami gadang – gadangkan. Kini,ku ketahui Sosok
wanita paruh baya membayang dalam pikiran Farel. Sudah semestinya jika ucapan
wanita itu adalah perintah bagi Farel karena beliau ibunya. Entah siapa yang
salah disini, Ibunya dengan mantap ingin agar anak lelakinya itu menjalin
ta’aruf dengan anak teman lamanya. Sementara Farel tak kuasa menolak hasrat
wanita paruh baya itu, agaknya ia tak mampu menoreh kekecewaan pada wanita itu.
“Apa kau pernah
berbicara kepada ibumu mengenai aku sebelumnya?” tanyaku berusaha setegar
mungkin dalam huruf yang terketik amat kaku.
“Maafkan aku Rifa,
inilah kesalahanku. Mengapa aku tak pernah menceritakan mengenai kita kepada
ibuku sejak dulu. Sedangkan kini aku tak ada daya untuk menolak keinginan
beliau. Aku tak sampai hati mengecewakannya”
Kita?
Kau sebut kata itu
sebagai ganti antara aku dan kamu, tapi kenapa memilih mengecewakanku untuk melegakan
ibumu. Ada rasa sakit yang amat sangat, rasanya dadaku sesak hingga detak
jantungku melemah. Rasanya umpatan didalam hati merongrong ingin tertumpahkan,
tapi aku masih sanggup menjaga akhlakku. Kuurungkan untuk mengatakan padanya
bahwa aku akan menjalani ta’aruf dengan pria Jatim jika ia tak secepatnya
menemui abah. Tapi apa gunanya, toh ia menaati setiap sabda ibunya, bukan
celotehku.
“Ini
berarti aku harus memenuhi kehendak abah mengenai ta’aruf” kataku pada segumpal
darah yang bernama hati.
28
Juni 2014...
Tepatnya besok pria
Jatim itu akan menyambangi rumahku, lebih tepatnya rumah abah. Dalam bayanganku
aku menghayal jika saja takdirku berjalan layaknya konflik novel
dimana aku ternyata dijodohkan
dengan sosok yang selama ini aku sukai,
dan semua berakhir bahagia. Tapi bukan seperti itu narasinya.
Aku mencoba menata
segalanya kembali seperti sediakala sebelum kulihat wajah tenang itu. Berat
rasanya merobohkan bangunan harapan yang kubangun serpih demi
serpih untuknya. Aku mulai menyibukkan diri dengan aktivitas baru,
dakwah kampus menjadi solusi yang tepat untuk menghalau rasa yang kian berhambur
ini.
Siang ini agaknya aku
harus menunaikan kewajibanku dimasjid kota. Setelah berwudhu dan sesekali
bergurau dengan para akhwat aku merapikan sof kami. Bacaan surah demi surah dari sang imam
terdengar begitu menentramkan hati. Dalam sujud terakhirku entah kenapa
bayangan wajah tenang itu berkelebat. Dalam doaku aku memohon keikhlasan hati
serta kekuatan dalam menapaki jalan kebaikan. Aku melangkah keluar melewati
serambi masjid.
Entah apa yang mendorongku untuk menengok kearah kiri hingga saling menatap dengan sosok itu,Farel. Kecanggungan tak teredakan lagi, dengan wajah tanpa ekspresi yang jelas hingga sosok itu melukis senyum diwajahnya, akupun berlaku demikian. Ternyata kami shalat ditempat dan waktu yang sama dalam bacaan syahdu satu imam. Dan semua ini justru membuatku bimbang mengenainya, keputusanku dan keputusannya. Ia dan titah ibunya sedang aku dan titah abahku.
Entah apa yang mendorongku untuk menengok kearah kiri hingga saling menatap dengan sosok itu,Farel. Kecanggungan tak teredakan lagi, dengan wajah tanpa ekspresi yang jelas hingga sosok itu melukis senyum diwajahnya, akupun berlaku demikian. Ternyata kami shalat ditempat dan waktu yang sama dalam bacaan syahdu satu imam. Dan semua ini justru membuatku bimbang mengenainya, keputusanku dan keputusannya. Ia dan titah ibunya sedang aku dan titah abahku.
Hari ini pertemuan yang
pertama bagiku dengan pria Jatim, rupanya ia seorang Gus. Mudah ditebak jika
kronologinya seperti itu. Sesuai narasi, aku keluar membawa minuman sebagai
media untuk melihat, tepatnya memperlihatkan diri.
“Subhanalloh, kamu ini
Rifa kan?” sosok itu bersuara hingga memancing setiap pasang mata saling tatap.
Aku menengadah sembari
meletakkan cangkir kepadanya. Rasanya tegangan listrik menyambar ragaku,
benarkah pria Jatim itu Rouf teman masa kecilku dulu. Aku kenal betul siapa
dia, sosok Gus yang selalu menundukan pandangannya serta sosok yang dekat denganku
semasa kecil. Setiap hari aku mengaji dipondok keluarganya, jelas jika kedua
keluarga kami sangatlah dekat, sedekat aku dan dia. Rupanya selama ini
keluarganya pindah ke Jatim karena suatu hal, jadi tak ada hak lagi aku
memanggilnya pria Jatim, celotehku dalam hati.
Jujur saja, ia adalah
sosok yang pertama kali membuatku mengenal dan merasakan apa itu rasa kagum
pada lawan jenis. Tapi semua itu kupendam karena aku dan dia rasanya sudah
terpatri sebagai sahabat masa kecil. Dan semua itu kini menjadi nyata karena ia
pria yang abah kehendaki. Aku tak mampu mendeskripsikan betapa bahagia singgah
dihatiku saat itu, ternyata seberapa kerasnya aku berusaha mengetuk pintu yang
Alloh takdirkan, akan tetapi pintu itu justru membukakan dirinya lebih dulu.
Seberapa kerasnya aku menerka sosok imam masa depanku, nyatanya ia justru
mendekat dari jarak yang memang dulunya sangat dekat.
Dan semua itu berawal dari rasa kagum dimasa kecil. Sampai sosok Farel membuatku memalingkan rasa kagum kepadanya. Tapi rasa kagum pada sosok tenang itu hanya singgah untuk kembali pada rasa kagum dimasa kecil, menuju masa depan antara aku dan Rouf. Dan nyatanya, pertemuanku dengan makhluk berwajah tenang itu hanyalah cara Tuhan membumbui rasa hatiku. Semua itu tak lain adalah cara cinta melabuhkan rasaku pada Gus Rouf melalui pintu takdir yang sebelumnya berusaha kuketuk.
Dan semua itu berawal dari rasa kagum dimasa kecil. Sampai sosok Farel membuatku memalingkan rasa kagum kepadanya. Tapi rasa kagum pada sosok tenang itu hanya singgah untuk kembali pada rasa kagum dimasa kecil, menuju masa depan antara aku dan Rouf. Dan nyatanya, pertemuanku dengan makhluk berwajah tenang itu hanyalah cara Tuhan membumbui rasa hatiku. Semua itu tak lain adalah cara cinta melabuhkan rasaku pada Gus Rouf melalui pintu takdir yang sebelumnya berusaha kuketuk.
Subhanalloh, betapa
sempurna teka – teki dalam setiap narasi yang Engkau gariskan. Biar ku mainkan
narasi itu menjadi drama yang terjalani dengan rasa syukur.
0 komentar