Apa yang Lebih Menyakitkan dari Sebuah Kematian?
14.31.00
Meski waktu telah memasuki penghujung malam, suara
tarian jemari diatas keyboard masih
syahdu terdengar. Bangunan rumah tua peninggalan orang tuanya yang mulai
menampakkan retak rambut pada tembok disetiap sudut ruang semakin menambah
kesan sunyi, mungkin ini merupakan saksi sejarah dimana sebuah luka masa lampau
terkubur begitu dalam. Tidak ada yang benar – benar tahu bagaimana bisa seorang
gadis berdarah Tinghoa mengiringi pemakaman kedua orang tuanya dengan sebuah
senyuman. Tidak ada satu butirpun air mata yang jatuh, bahkan bendungan air
mata saja tak terlihat pada kelopak matanya.
Apakah hatinya tidak terluka dengan hilangnya orang
tersayang dari hidupnya? Atau memang gadis manis berwajah ceria ini membungkusnya
dengan sangat rapi didalam jiwanya. Tidak pernah ada yang melihat wajah gadis
manis ini muram, tatapan dipenuhi binar mata yang sangat bersahabat serta dua
lesung pipi yang akan membuat siapapun rela tertawan tatapan matanya. Apa benar
jika gadis manis ini terlahir tanpa bisa merasakan tumbuhnya rasa duka dalam
dada?
Sepulang ayahnya berkerja sedangkan ibunya sibuk
menyiapkan makan malam. Seorang gadis berusia lima tahun bergelayut manja pada
ayahnya. Gadis yang sedang manis – manisnya dalam bersikap, mulai bercerita apa
yang dialami ketika hari pertama masuk sekolah. Mulai dari beragam teman yang
baru ia kenal hingga Ibu Guru Mey yang mampu meluluhkan sikap acuhnya pada
orang asing. Ibu guru bertubuh semampai dengan rambut yang selalu diikat rapi itu
juga punya senyuman maut dengan dua lesung pipi sepertinya. Selain rasa welas
asih seorang guru, mungkin kesamaan inilah yang membuatnya merasa nyaman.
Ketika ayahnya sedang tersenyum meng-iyakan setiap
pernyataan putrinya, tiba – tiba terdengar kerusuhan didepan rumah. Alih – alih
mengamankan diri dan keluarga kecilnya, sebagai seorang ayah, beliau berjalan
menuju teras rumah sedangkan aku menggenggam celana panjangnya dari belakang,
mengikutinya dengan perasaan was – was berbalut ketakutan.
“Berhenti, mari kita melarikan diri melalui pintu
belakang, cepat bergegas suamiku, mara bahaya besar sedang menghampiri kita”
ibu meraih si gadis ke dalam gendongannya, seakan tak peduli perutnya yang
membuncit besar terasa sakit.
“Tidak, Ma, jangan terlalu tergesa memutuskan hal
besar, kita sudah membangun impian ini sejak lama, bahkan kita rela
meninggalkan tanah kelahiran kita sendiri, jangan perkecoh dengan huru – hara negeri ini, tidak bukan
bagian didalamnya”
Tak lama setelah perdebatan suami istri Tionghoa itu
berlangsung, segerombolan pemuda dengan bringas memasuki ruang tamu. Tanpa
ampun pria Tionghoa ini menjadi bahan amukan massa dihadapan putri kecilnya
sendiri. Seorang pria tumbang bersimbah darah tanpa tahu kesalahannya. Salah
satu alasan yang ia ketahui yakni karena ia manusia berkulit putih dengan mata
sipit, bukan bagian murni bangsa ini. Kesalahannya sendiri hijrah ditanah yang
tak seharusnya ia pijak. Jerit tangis kedua wanita yang hanya bisa meringkuk
berpelukan menanti giliran tercabut nyawanya. Posisinya sebagai warga negara
yang sah secara hukum kini bias akan bau anyir darah. Mereka merupakan bagian
dari perburuan tumbal revormasi. Bulan Mei, menjadi saksi bisu jerit tangis
akibat propaganda politik. Satu – dua orang disinggana bermain, maka satu – dua
ratus orang dijalanan terenggut nyawanya.
Prangggggg…
Bunyi piring melenyapkan bayangan dari masa lampau.
Dengan senyum sinis ia menyapu air matanya yang meleleh tanpa ia sadari. Ia
merengkuh kucing hitam yang menatapnya nanar. Wajah ceria itu sirna dengan satu
sapuan senyum sinis penuh arti. Siapapun tak akan pernah melihat ekspresi
wajahnya saat ini. Kesunyian merayapi dinding bangunan yang sekilas terlihat
menyeramkan. Gadis ini melanjutkan kembali tarian jemarinya sembari memangku
kucing hitam kesayangannya.
Fajar menyingsing menandakan hari benar – benar telah
berganti. Gadis ini menuju ranjang untuk merebahkan diri. Menyelimuti diri dari
kilaunya fajar yang menyingsing pagi hari. Gadis manis ceria ini sudah dua
bulan menjadi manusia kelelawar. Melenyapkan diri dari hiruk pikuk kehidupan
manusia pada umumnya. Jiwanya entah kemana ketika jasadnya tak sengaja
terselamatkan.
Pagi ini adalah hari pertama bulan Mei, juga hari
kehilangan dimana ayah, mama, dan bu guru Mey menjadi tumbal revolusi. Mereka
semua pergi bersimbah darah, meninggalkan jejak ingatan pahit. Gadis kecil yang
kebingungan ketika menemukan diriya berada diantara kerumunan manusia berbaju
putih. Satu pasang mata menatapnya bahagia, memposisikan diri sebagai pahlawan
yang menyelamatkan jiwanya. Para manusia berbaju putih ini justru membuatnya
hidup dineraka, sendiri tanpa keluarganya.
Sejak itu, ia telah bersumpah untuk melupakan air mata
dan kemurungan dihadapan orang lain. Hidupnya hanya akan berarti ketika
kematian ayah, mama dan bu guru Mey terbalaskan. Pada kehidupan kedua ini ia
harus kuat dan semakin kuat. Sebuah kebencian yang terkubur begitu dalam tanpa
siapapun menyadarinya. Kuburan dendam yang siap terbongkar kapanpun dimasa
depan. Kuburan dendam itu layaknya bongkahan es dalam lautan, siap mengaramkan
kapal apapun yang melewatinya.
Persediaan makanan telah habis, pagi ini tidak ada
jatah memejamkan mata karena ia harus menuju pusat kerumunan manusia. Kaca mata
hitam membantunya melepaskan rasa tidak nyaman karena terik matahari. Sebulan
yang lalu, terakhir kali matanya melihat cahaya fajar.
“Belanjanya banyak sekali neng, ada berapa orang
dirumah?”
Pertanyaan seorang pria berlogat betawi itu tiba –
tiba berubah menjadi seonggok tombak yang menghujam jantungnya. Darah dalam
tubuhnya terasa menghangat, berdesir bercampur dendam. Dalam lubuk hatinya,
timbul kerinduan pada mereka yang jiwanya terenggut paksa. Tarikan nafas yang
dalam nyatanya ampuh menurunkan emosinya, mengontrol tindakannya, sehingga
kerumunan manusia itu hanya menyaksikan senyuman wanita berlesung pipi yang
menawan mata siapapun. Tak akan ada yang tahu seberapa murka wanita itu, karena
wajahnya lihai menipu penglihatan siapapun.
Jakarta, pusat kota yang bergelimang kesenangan, huru
– hara manusia robot yang mudah di sulut untuk kepentingan politik ini sungguh
memuakkan. Rasanya, kembali ke negeri sendiri lebih menenangkan, tapi dendamnya
belum terbayar pada bangsa ini. Ia akan tetap singgah sembari menyusun rencana
pembalasan yang lebih menyakitkan dari pedihnya sebuah kematian. Bangsa ini
harus tahu arti kehilangan. Jika kematian adalah jalan satu – satunya bagi
manusia untuk merasa kehilangan, maka itu bukan pilihan yang sulit.
Tidak akan ada yang menyadari kematian beruntun tanpa
jejak dari keluarga demonstran tahun 1998. Polisi kelimpungan mencari mayat
para korban. Pada era ini, pembantaian yang amat rapi telah terjadi tanpa
meninggalkan jejak. Entah siapa yang mendalangi, atau apa motifnya, tidak ada
yang benar – benar tahu. Polisi tutup mulut, toh para korban bukanlah manusia
berdarah biru yang diburu media pemberitaan. Negara tidak sempat memikirkan
kematian puluhan orang karena jutaan manusia sedang terbakar api politik. Di
negara ini benar – benar tidak ada yang sempat peduli!
Dalam diam,
gadis manis berwajah ceria ini tumbuh menjadi wanita cantik yang amat cerdas
bersiasat. Dalam kurun waktu dua puluh tahun ia benar – benar tumbuh menjadi
wanita yang hebat. Seluruh bagian negeri ini mengenalnya, memujinya. Para
penguasa saling berebut menawarkan hidupnya demi bersanding dengan wanita ini.
Bersanding dengan wanita nomor satu dimata umat adalah sebuah kemenangan besar
dalam dunia politik. Negeri ini begitu haus akan sebuah pencitraan. Bukan hal
baru jika setiap partai berlomba mengusungnya menaiki tahta, menyandingkannya
dengan para pengampu kuasa dinegeri ini.
Wanita berkulit putih dengan mata sipit yang dulunya
menjadi korban buruan, kini berjubah kekuasaan. Aksinya dalam program kemanusiaan
begitu menyentuh hati jutaan umat. Wajahnya yang selalu sumpringah dengan
tatapan tulus itulah pelengkap perisai perangnya. Kini ia siap melakukan
perburuan era modern. Menggali kuburan dendam dalam dirinya, membebaskan luka
masa lalunya. Kematian bukan lagi tujuan dalam menyalurkan dendam. Negeri ini
terlalu bodoh merasakan kehilangan karena kematian. Pasti ada yang lebih
menyakitkan dari sebuah kematian. Lalu, apa yang lebih menyakitkan dari sebuah
kematian?
0 komentar