Lingkaran mimpi si gadis kecil
08.15.00
Ketika malam berselimutkan kesunyian dalam lorong – lorong
kegelapan. Fatamorgana yang menyilaukan mulai terlelap oleh nyanyian sendu. Si
gadis kecil yang terobsesi dalam alam mimpinya. Dalam obsesi yang
tercampurdedam kesumat akan celotehan manusia – manusia malam.
Manusia – manusia malam yang haus akan pujian dan nama baik
tapi apatis terhadap gadis kecil penuh mimpi yang terjebak dilingkaran mereka.
Gadis itu teracuhkan dengan segudang celaan dan hinaan untuk mimpinya.
Bagaimana mungkin gadis kecil itu bisa bangkit dari keterpurukan dan kelabunya
sebuah kenyataan. Jika untuk sekedar kepura – puraan yang menenangkan saja tak
pernah ia nikmati.
Betapa malang si gadis kecil itu!
Terombang – ambing dalam hitamnya fatamorgana yang ia
banggakan. Langkahnya seolah terpatri oleh tatapan manusia – manusia malam.
Tatapan penuh kesangsian dan kerendahan untuk mimpi si gadis kecil. Tak bisakah
sekedar berikan topeng antusias untuk sekedar menghilangkan kesedihan atau
setidaknya mampu mengobati kerisauan seorang gadis kecil dengan sejuta
ketulusan mimpi.
Salahkah sang gadis menanam mimpi yang ia anggap pantas
untuknya, hidupnya, serta teruntuk manusia – manusia yang sangat ia kasihi?
Salahkah walau harta, tahta serta akalnya tak sebanding dengan apa yang manusia
– manusia malam miliki. Dalam lingkaran hitam itu si gadis hanya berbekal tekad
dan senyuman sang mentari disela usahanya meraih bintang di langit ke tujuh.
Sedang sang bulan dengan tekun menyambut sang gadis dengan sunggingan senyum
simpul di sela malam yang melelahkan.
Derik jangkrik seolah meneriaki si gadis kecil untuk menutup
mata dan telinganya dari semua bisikan – bisikan iblis yang membujuk
pengorbanan akan nurani dan logika yang ia lihat. Serangga – serangga dalam
aroma kesunyian malam menghembuskan perintah pada si gadis kecil untuk bangkit
dalam pembuktian yang membuat para manusia – manusia malam terperanjat dalam
kemunafikan hati mereka hingga terjerembab dalam lubang apatisme yang mereka gali sendiri.
Betapa aku sadar akan hadir dan kerasnya tekad si gadis
kecil itu. Ku bisa melihat harapan akan mimpi yang selama ini ia pendam. Ku
bisa lihat kekecewaan dari sorot matanya.Hatiku nanar memandang tatapan bola
mata yang sayu itu. Mungkin mataku tak
mampu melihat luka dalam senyum serta polosnya tatapan si gadis gadis kecil
itu.
Tapi hatiku Tuhan!
Betapa hatiku pilu merasakan segala kepedihan dari goresan
pedang yang berlumur darah apatisme dan nanah ketakaburan para manusia –
manusia malam. Hatiku tak kuasa menahan amarah, rasa benci serta kekecewaan pada
mereka. Para manusia malam yang bertopeng pada pencitraaan diri dalam
kesempurnaan akhlak. Tapi logikaku masih memandang siapa dan asal mereka.
Ah! Sial benar hidup si gadis kecil.
Malang nian dia hidup di belahan bumi yang tertutup kabut
kemunafikan. Belahan bumi yang gersang tanpa air surga dalam tegukan malaikat –
malaikat malam. Ladang yang terpenuhi oleh bayangan – bayangan hitam para hantu
malam. Belahan bumi itu bising karena jeritan serta rintihan para iblis malam
yang terrantai dalam pasungan tiada akhir.
Gadis itu tetap terabaikan dalam kerumunan yang penuh tipu
muslihat. Sedangkan aku hanya bisa menatap tanpa daya untuk membela atau bahkan
sekedar membenarkan si gadis kecil. Andaikan ku mampu temui Jibril di sela
mimpiku akan ku ceritakan si gadis kecil kepadanya agar ia sampaikan pada Tuhan
untuk merubah takdir si gadis kecil. Tapi bagaimana mungkin jika pada
kenyataannya aku hanya sekelumit bayangan semu di antara kilatan cahaya para
manusia – manusia malam.
Kini akau sadar betapa besarnya kuasa para manusia – manusia
malam itu. Sedangkan aku hanya sebesar
biji zarrah di antara tingginya langit dan datarnya bumi. Kekuasaan tanpa mosi tidak percaya dari penyangga jabatannya.
Di dalam kekuasaan yang terselubung dalam gelapnya kabut senja di bawah taburan
kembang mawar beraroma bunga raflesia. Ku tampar wajahku untuk sadar
betapa tidak adilnya takdir ini. Lalu ku
tersenyum dalam pilunya kenyataan. Ku terbahak – bahak akan lelucon takdir yang
bergelut dengan kabut kemunafikan. Lalu raut wajahku berubah tersenyum kecut
sebagaimana raut wajah si gadis kecil yang ku temui dalam imajinasiku sendiri.
0 komentar