13 November 2015
karena ada kepentingan organisasi ke kota luar kota, hari kamis yakni tanggal 13 November saya dan rekanita Uswatun Khasanah selaku ketua IPPNU Banjarnegara berangkat menuju ponpes Al Muayyad, Surakarta. kami berangkat menggunakan mobil avanza yang memang sengaja dirental khusus untuk kepergian kami dengan ketua dan sekrestaris PC dari kota Banyumas, Purbalingga, dan Cilacap.
pukul 13:30 sore hari kami beranjak meninggalkan banjarnegara, berat rasanya meninggalkan asrama SMPIP. ya bukan apa - apa, hanya merasa satu kewajiban harus ditinggal. sebelum berangkat tak lupa, ku tinggalkan catatan kecil yang kutulis ditisu lalu ku letakan diatas buku mereka. selama sehari aku harus meninggalkan beberapa uang saku dan uang makan untuk mereka. untung saja masih ada rusumu yang mengawasi mereka.
oya lets go to the main point of this post!
aku cuma mau cerita gimana gaje nya aku yang kegirangan karena pertama kalinya praktek conversation sam turist secara langsung. mau nyoba aja sih, seberapa faham sih mereka dengan aksen bahasa inggrisku.
oke, pagi hari setelah semalam suntuk tanpa istirahat dalam rangka RAPIMWIL (Rapat Pimpinan Wilayah) langsung deh kita bergegas bersih - bersih diri lalu berangkat menuju kota asal masing - masing. kebetulan ditengah perjalan, kami sepakat untuk mampir ke tempat wisata di kota jogja, kalian pasti tahu candi Prambanan kan!
gimana tahu kan?
itu lho yang dalam kisah tanah Jawa diceritakan satu tokoh menarik didalamnya yakni Ratu Boko.
oke, singkatnya setelah masuk ke area candi, aku menemui beberapa turist dari negara India, Jepang, Korea, Prancis dan beberapa gadis seksi asal Scotlandia.
praktek "CONVERSATION" agak tidak terlalu berhasil dengan turis cewek asal Scotlandia itu. ia terlalu cuek ketika diajak bicara. cuma sekedar "Yeah" atau "Aha" dengan aksen barat.
hmm kita coba turis pria yok.
Me : " I'am Sorry Mr, Can I take picture with you?" begitu lontaran kata yang ku bumbui dengan senyum lebar.
Turist : " Mmm No" jawabnya dengan tatapan yang agak aneh dan tentunya meruntuhkan rasa percaya diriku. pertama kalinya ada turist yang nolak foto bareng sama mimin lho gan!
Me : " No? Why?" aku mencoba mencari jawaban
Turist :" Hahah Yes, Lets take the camera" dengan wajah riang turis itu tertawa karena jawaban NO darinya berhasil membat wajahnya tertekuk layu.
Me : "Ugh.. Thanks, I think you are seriously" responku riang
setelah bercanda demikian, turist tersebut malah mendekat ke arahku untuk berfoto. nah loh, kurang baik apa coba, kamu yang butuh eh kamu yang disamperin
Me : " Excuse me, are you know abaout selfie, can you selfie with me now, emm just with me?"
Turist " Yeah, I know" lalu ia mengarahkan wajahnya mendekati camera. gestur tubuhnya agak menjauh dariku, mungkin takut terlalu dekat karena aku juga agak menjauhkan badan ketika berfoto dengannya.
Me : " Thanks you"
Turist " Sama - sama" jawabnya dengan senyum lebar penuh arti
dengan ekspresi kaget aku berseru kepadanya.
Me : "Hah, Mr bisa bahasa Indonesia"
Turist : " Yah sedikit - sedikit " jawabnnya dengan akses bicara yang terdengar aneh layaknya bahasa indonesia yang kebarat - baratan.
Me : " Can you speak with java language"
Turist : " Emm.. maturnuwun"
Me : " Owh.... that great! really" aku tanpa sadar menatapnya.
disela - sela itu, aku bersama teman - teman berfoto bareng dengannya. yah sayangnya mereka justru menutupi wajahku ketika difoto. tapi tak apa, kan aku sudah foto perdana (selfie) dengannya. Uhuk! pamer dikit ye. ada celetukan teman yang menanyakan nama bule tersebut. dan lagi - lagi aku dibuat kaget karena ia berucap namanya adalah " Syaifulloh"
Me : " Hah, Syaifulloh? Sorry, Are you muslim?" tanyaku histeris
Turist : " Yes, I am"
Me : "Owh So sweet, Subhanalloh, where are you from"
Turish " Aha, I'm from French, Prancis" ia mengulangi nama negaranya lagi, mungkin khawatir jika tidak diucapkan dalam bahasa indonesia, kami tak akan faham.
Sudahlah, segini saja pengalaman praktek conversation lost in Prambanan. tanpa didampini guru ternyata ngobrol sama turist itu menyenangkan! beneran! agak dag dig dug der aja sih kalo dia ngomong panjang lebar yang kita pas belum tau maksudnya. soalnya bahasa inggris kan aksen nya beda antar negara ya gan!
rasanya pengin hunting turist lagi deh, yuk kalo agan - agan mau hunting turist bareng mimin :)
praktek ngomong bahasa inggris itu nyenengin banget!
rasanya pengin belajar lebih dalam lagi tentang bahasa inggris, terus kuliah di bidang pariwisata aja. entar kerja dibawah naungan DinBudPar. tiap hari cap cip cup ngomong inggris sama turist pamer betapa indahnya negriku, Indonesia!!!!!
BUT..
Hallo nurus, ente kan mahasiswi komputer dan sedang berada di semester V. masih ngarep kuliah dengan prodi lain juga ye. haha
udahlah tekunin yang sekarang -> kuliah, organisasi, nge- blog, kerja dengan bener dulu.
pengin bertahan hidup dengan uang saku sendiri kek gini terus kan?
iyalah, semester ini, alhamdulilah ane uda gak minta uang saku sama orang tua. biaya hidup selain perkuliahan bisa ditutup dengan penghasilan dari beragam hobi.
Syukuri dulu yang sekarang, nanti ditambah nikmat lagi sama Alloh. oke - oke!
kali aja nantinya, bisa nerusin S2 jurusan hubungan internasional atau sastra inggris lagh minimal.
See you on the top!
Celoteh
Contoh Format Surat Tagihan Tanggungan Siswa atau Santri (SMPIP Bilingual School Tunas Bangsa Banjarnegara)
15.45.00
ASRAMA SMPIP BS TUNAS BANGSA
BANJARNEGARA
Alamat : Jalan Kalisemi Indah No.9-11 Telp.(0286) 5986050
Nomor : 01.11/SDIP-TB/XI/2015 Banjarnegara,
11 November
2015
Lampiran : -
Perihal : Pemberitahuan
Kepada
:
Yth.
Bapak/ Ibu/Wali Santri Asrama
Ananda Annisa Syahrani Noverlis
Di
- Tempat
Assalaamu’alaikum
Wr. Wb.
Salam silaturami kami sampaikan semoga
Bapak/Ibu senantiasa dalam lindungan Allah SWT sehingga dapat menjalankan tugas
dengan baik. Amin. Sebagai
rasa tanggung jawab kami guna membina masa depan putra/putri Bapak/Ibu pelu kami
sampaikan sebagai berikut.
Dengan permohonan maaf perlu kami
haturkan, Bapak/Ibu masih memiliki tanggungan kewajiban keuangan asrama. Bagi santri yang membawa barang elektronik ada
biaya tambahan sebesar Rp. 5000 (HP) dan Rp 10.000 (Laptop). Adapun kekurangan
biaya ananda adalah sbb :
Bulan
|
Laptop
|
Handphone
|
Jumlah
|
Agustus
|
10.000
|
5000
|
15.000
|
September
|
10.000
|
5000
|
15.000
|
Oktober
|
10.000
|
5000
|
15.000
|
November
|
10.000
|
5000
|
15.000
|
Total
|
|
|
Rp.
60.000
|
Akhirulkalam semoga uluran tangan baik
ini bisa diterima dengan ketulusan dan kelapangan dada Bapak/Ibu. Kami berdo’a agar
Allah swt memberikan Bapak/Ibu kelapangan dan kemudahan dalam mencari rizqi.
Amin ya robbal ‘alamin.
Wallaahu
muwafiq ila aqwamithoriq
Wassalaamu’alaikum
Wr.Wb.
Mengetahui
Pengelola Asrama
Bag. Administrasi
Elvianan Zulfida Nurus Syarifatul N
CONTOH 1 : CONTOH SURAT IJIN PERGANTIAN JAM UJIAN
Banjarnegara, 25 Oktober 2015
Kepada Yth.
Panitia UTS
STIMIK Tunas Bangsa Banjarnegara
Di
Tempat.
Dengan Hormat,
Saya
yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Nurus Syarifatul Ngaeni
NIM : S1SI130118
Prodi : SI (Sistem Informasi)
Ingin
memohon kepada Panitia
Ujian Tengah Semester STIMIK Tunas Bangsa Banjarmegara untuk
diberikan ijin mengikuti ujian pada jam ujian kelas TI pada sore hari. Sehubungan pada saat ujian berlangsung saya tidak dapat mengikuti karena harus
mengikuti pelaksanaan training di SMK HKTI pada waktu terkait.
Adapun
mata kuliah yang ingin saya ikuti ujiannya adalah:
No
|
Mata Kuliah
|
Dosen Pengampu
|
|
1.
|
Teknik Riset Operasional
|
Edi, S.Pd
|
|
2.
|
Sistem Terintegrasi
|
Bambang Setiadi,S.T
|
|
3.
|
Komunikasi Data
|
Khalimatur Rofi’ah S,Kom
|
|
4.
|
MRTI
|
Kuntoro Triatmoko,S.Kom
|
|
Atas perhatian
dan ijin yang diberikan, saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya.
Banjarnegara, 25 Oktober 2015
Kepada Yth.
Panitia UTS
STIMIK Tunas Bangsa Banjarnegara
Di
Tempat.
Dengan Hormat,
Saya
yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Rusumu Siami Mahmatina
NIM :
Prodi : TI (Teknik Informatika)
Ingin
memohon kepada Panitia
Ujian Tengah Semester STIMIK Tunas Bangsa Banjarmegara untuk
diberikan ijin mengikuti ujian susulan. Sehubungan
pada saat ujian berlangsung saya tidak dapat mengikuti karena harus mengikuti pelaksanaan training
di SMK HKTI pada waktu terkait.
Adapun
mata kuliah yang ingin saya ikuti ujiannya adalah:
No
|
Mata Kuliah
|
Dosen Pengampu
|
1
|
Kecerdasan Buatan |
Purwanto
S,Kom
|
Atas
perhatian dan ijin yang diberikan, saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya.
Rusumu Siami Rahmatina
Demi
jiwa yang ada dalam raga ini, sungguh rasanya aku ingin berontak menghalau
segala yang mengganggu kenyamanan hidupku tapi itu sama sekali tidak mungkin.
Ada satu rasa yang membuatku pasrah pada
keadaan ini, satu rasa yang mungkin telah banyak muncul dibenak setiap anak
pada orang tuanya. Aku sungguh nyiris pada setiap hal yang kulalui.
Bagaimana bisa aku tertawa untuk sekedar menutupi airmata yang menetes deras dalam hati. Aku munafik! Memang benar, demi membohongi diri dan sekitar aku menampakkan hal berbeda antara tindakan dan hati, kukira kebohongan ini mampu membuaiku hingga lupa perasaanku. Semua ini bermula saat aku harus merelakan mimpiku dan usahaku demi sebuah rasa pada wanita paruh baya yang kupanggil ibu. Mati –matian aku membangun setiap inci mimpi itu hingga bangunan itu harus roboh seketika. Nafasku terasa berat sedang hatiku begitu sesak saat mengingat mimpi itu.
Sialnya lagi ingatan itu selalu muncul dalam hitungan detik. Aku tersiksa atau malah menyiksa diriku sendiri? Kelak aku besar nanti aku ingin kuliah dibangunan megah bernama universitas dengan ribuan mahasiswa. Aku bahkan terlihat seperti psikopat yang berburu mimpi kecilnya. Ruang kamarku penuh dengan deretan list yang kupersiapkan untuk tes masuk universitas nantinya, bukan persiapan menunggu bulan tapi semua itu kupersiapkan semenjak duduk dibangku sekolah menengah pertama. Tiap pagi hari ketika kelopak mataku membuka, hal pertama yang kulakukan adalah mengelupas tempelan kertas berisi hitungan waktu yang tersisa untuk masuk unviersitas.
Seringkali wanita baruh baya itu menegur karena cat tembok ikut terbawa lem kertas yang kutempel. Kuanggap potongan – potongan kertas itu sebagai waktu yang tersisa dimasa mendatang. Kuartikan bahwa nyawaku juga berkurang setiap kali kukelupas tempelan kertas itu dari tembok. Tak terbayangkan betapa banyak potongan kertas itu bukan? Hitung saja bila dalam satu tahun terdapat dua belas bulan dan masa untuk masuk universitas masih sekitar enam tahun kedepan. Bisa diartikan dua belas bulan dikali enam, kalian hitunglah sendiri. Tiap jarum jam berlari kearahnya, aku juga ingin berlari kearahku. Itu semua feedback dari apa yang kulakukan tiga tahun yang lalu. Sekarang ini aku sedang menempuh kuliah semester tiga disalah satu sekolah tinggi komputer dikota kelahiran.
Semua ini tak berjalan begitu saja, perlu perjuangan dan pengorbanan yang cukup menguras pikiran. Awal langkahku saat menempuh masa – masa akhir sekolah menengah atas. Orang bilang, masa putih abu – abu adalah masa terindah dalam fase hidup. Tapi teori itu tak berlaku padaku, masa abu – abu putih adalah masa penuh peluh dan darah.Tahun pertama masuk aku harus terpisah dari orang yang kusebut keluarga, diruang kotak sesak itu mencoba mencocokkan diri dengan kaum hawa yang asing. Sesekali aku melihat kelebatan raut jemu dari mereka, tapi aku mencoba diam.
Dalam diam aku membohongi diriku akan realita. Bagaimana atau apapun yang terjadi disini aku harus membohongi diriku bahwa aku akan baik – baik saja. Waktu untuk mandi bertambah menjadi dua kali lipat dari biasanya, separuh waktu itu kugunakan untuk meredam isak tangis. Sungguh aku tak ingin menjadi beban pikiran bagi wanita paruh baya yang dalam diam amat kusayangi, Ibu.
Bagaimana bisa aku tertawa untuk sekedar menutupi airmata yang menetes deras dalam hati. Aku munafik! Memang benar, demi membohongi diri dan sekitar aku menampakkan hal berbeda antara tindakan dan hati, kukira kebohongan ini mampu membuaiku hingga lupa perasaanku. Semua ini bermula saat aku harus merelakan mimpiku dan usahaku demi sebuah rasa pada wanita paruh baya yang kupanggil ibu. Mati –matian aku membangun setiap inci mimpi itu hingga bangunan itu harus roboh seketika. Nafasku terasa berat sedang hatiku begitu sesak saat mengingat mimpi itu.
Sialnya lagi ingatan itu selalu muncul dalam hitungan detik. Aku tersiksa atau malah menyiksa diriku sendiri? Kelak aku besar nanti aku ingin kuliah dibangunan megah bernama universitas dengan ribuan mahasiswa. Aku bahkan terlihat seperti psikopat yang berburu mimpi kecilnya. Ruang kamarku penuh dengan deretan list yang kupersiapkan untuk tes masuk universitas nantinya, bukan persiapan menunggu bulan tapi semua itu kupersiapkan semenjak duduk dibangku sekolah menengah pertama. Tiap pagi hari ketika kelopak mataku membuka, hal pertama yang kulakukan adalah mengelupas tempelan kertas berisi hitungan waktu yang tersisa untuk masuk unviersitas.
Seringkali wanita baruh baya itu menegur karena cat tembok ikut terbawa lem kertas yang kutempel. Kuanggap potongan – potongan kertas itu sebagai waktu yang tersisa dimasa mendatang. Kuartikan bahwa nyawaku juga berkurang setiap kali kukelupas tempelan kertas itu dari tembok. Tak terbayangkan betapa banyak potongan kertas itu bukan? Hitung saja bila dalam satu tahun terdapat dua belas bulan dan masa untuk masuk universitas masih sekitar enam tahun kedepan. Bisa diartikan dua belas bulan dikali enam, kalian hitunglah sendiri. Tiap jarum jam berlari kearahnya, aku juga ingin berlari kearahku. Itu semua feedback dari apa yang kulakukan tiga tahun yang lalu. Sekarang ini aku sedang menempuh kuliah semester tiga disalah satu sekolah tinggi komputer dikota kelahiran.
Semua ini tak berjalan begitu saja, perlu perjuangan dan pengorbanan yang cukup menguras pikiran. Awal langkahku saat menempuh masa – masa akhir sekolah menengah atas. Orang bilang, masa putih abu – abu adalah masa terindah dalam fase hidup. Tapi teori itu tak berlaku padaku, masa abu – abu putih adalah masa penuh peluh dan darah.Tahun pertama masuk aku harus terpisah dari orang yang kusebut keluarga, diruang kotak sesak itu mencoba mencocokkan diri dengan kaum hawa yang asing. Sesekali aku melihat kelebatan raut jemu dari mereka, tapi aku mencoba diam.
Dalam diam aku membohongi diriku akan realita. Bagaimana atau apapun yang terjadi disini aku harus membohongi diriku bahwa aku akan baik – baik saja. Waktu untuk mandi bertambah menjadi dua kali lipat dari biasanya, separuh waktu itu kugunakan untuk meredam isak tangis. Sungguh aku tak ingin menjadi beban pikiran bagi wanita paruh baya yang dalam diam amat kusayangi, Ibu.
Tak
terasa waktu mengantarkanku kebangku akhir SMA, di tempat ini aku harus
menyesuaikan waktu menjadi dua bagian, satu untuk pembelajaran formal ilmu
agama dipesantren. Dan karena inilah persiapan untuk menghadapi Ujian Nasional
dipercepat, empat bulan lebih awal dari sekolah formal lainnya. Tuhan
mendengarku, disaat seperti itulah seorang alumni pesantren membawa info
beasiswa kuliah dari diknas.
Aku girang bukan main, setiap harinya aku menyempatkan diri menerobos ruang guru untuk menanyakan info lebih lanjut, kuharap ada guru yang berkenan membantuku. Hasilnya tetap saja nihil, para guru rasanya tak punya waktu lebih untuk sekedar melihat usahaku. Nafasku sesak menahan kecewa setiap kali menginjakkan kaki dilantai sekolah. Perasaan demi perasaan muncul disela himpitan ujian nasional yang menghadang. Bukannya mendukung, kebanyakan makhluk justru tertawa sinis melihat usahaku meraih beasiswa tersebut. Bahkan satu kalimat yang sangat membuatku amat terpukul, “mau ujiannya gak lulus apa, kok ngotot banget pengin kuliah”.
Aku girang bukan main, setiap harinya aku menyempatkan diri menerobos ruang guru untuk menanyakan info lebih lanjut, kuharap ada guru yang berkenan membantuku. Hasilnya tetap saja nihil, para guru rasanya tak punya waktu lebih untuk sekedar melihat usahaku. Nafasku sesak menahan kecewa setiap kali menginjakkan kaki dilantai sekolah. Perasaan demi perasaan muncul disela himpitan ujian nasional yang menghadang. Bukannya mendukung, kebanyakan makhluk justru tertawa sinis melihat usahaku meraih beasiswa tersebut. Bahkan satu kalimat yang sangat membuatku amat terpukul, “mau ujiannya gak lulus apa, kok ngotot banget pengin kuliah”.
Kali
ini aku tak mau merasakan sakit hati lagi, aku akan menunjukan bahwa diri yang
mereka sepelekan ini akan jadi subyek yang selalu disebut dimana tempat. Itu
janjiku, dan sebagai langkah awal menepatinya kukerok habis tabungan untuk
mendaftar ujian masuk perguruan tinggi, sisanya kugunakan untuk browsing materi ujian masuk perguruan
tinggi tahun sebelumnya. Bukan hal mudah memang membagi waktu untuk beberapa
urusan.
Jika sebelumnya waktuku mempunyai dua bagian, kini waktu harus kupecah lagi menjadi tiga bagian, antara sekolah formal (persiapan ujian nasional), aktivitas pesantren, dan ujian masuk perguruan tinggi. Dulu bukan hal mudah untuk mendapat ube rampe ujian masuk perguruan tinggi, disisi lain aku sangatlah gaptek (gagap teknologi). Aku mencatat secara manual dibuku tulis setiap soal yang kutemukan diinternet, bila kuhitung ada tiga buku yang berisi soal – soal latihan ujian masuk pergiruan tinggi, isi dari tiap buku ada 58 lembar, jadi 58 lembar dikali tiga hasilnya 174 lembar. Jika mengingat hal ini aku tersenyum kecut, entah terkesan lucu atau bodoh.Setelah ujian nasional berlalu, aku punya banyak sekali waktu dirumah, istilah kerennya mudik. Lebih gilanya lagi, tak terbesit sedikitpun kekhawatiran akan hasil ujian nasional nanti. Entah kenapa aku terlampau percaya diri bisa lulus.
Firasatku memang benar, bahkan diacara wisuda namaku disebut sebagai siswi dengan nilai ujian bahasa inggris terbaik. Rasanya beribu bunga mekar didadaku sedang udara sejuk Himalaya menyambar wajahku. Selang beberapa hari aku membuka website pengumuman hasil ujian masuk perguruan tinggi, ada ucapan selamat anda lulus di pilihan pertama. Tulisan itu tertera jelas dengan header besar berfont tebal, rupanya aku diterima disalah satu universitas negeri yang cukup tersohor diJogjakarta. Setelah pertimbangan dari keluarga, aku dan wanita paruh baya, Ibu, datang ke universitas tersebut untuk cek kesehatan serta mengurus administrasi. Ada rasa bahwa pembuktian ini bisa kujadikan cambukan bagi mereka yang dulu menertawakan mimpiku.
Bukankah jelas dalam firmanNya, bahwa Alloh tak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang merubahnya. Dan kini sudah kuubah nasibku dengan usahaku. Tak lagi terpikirkan seberapa sakit dan terpukulnya aku saat ditertawakan dulu, kini ku tuai hasil keringatku. Berita bahagia bertubi - tubi datang menghampiri, dan terakhir tawaran beasiswa full datang dari yayasan yang tak berdiri tak jauh dari pesantren dan sekolahku dulu. Melalui bebarapa pertimbangan, pada akhirnya ku lepaskan tiket masuk universitas di Jogja dan menukarnya dengan tiket beasiswa dikota sendiri. Setiap kali jam perkuliahan usai, dengan mantab ku lewati bangunan yang dulu menertawakanku. Sekilas kulihat disana para makhluk menunduk pelan kearahku.
Jika sebelumnya waktuku mempunyai dua bagian, kini waktu harus kupecah lagi menjadi tiga bagian, antara sekolah formal (persiapan ujian nasional), aktivitas pesantren, dan ujian masuk perguruan tinggi. Dulu bukan hal mudah untuk mendapat ube rampe ujian masuk perguruan tinggi, disisi lain aku sangatlah gaptek (gagap teknologi). Aku mencatat secara manual dibuku tulis setiap soal yang kutemukan diinternet, bila kuhitung ada tiga buku yang berisi soal – soal latihan ujian masuk pergiruan tinggi, isi dari tiap buku ada 58 lembar, jadi 58 lembar dikali tiga hasilnya 174 lembar. Jika mengingat hal ini aku tersenyum kecut, entah terkesan lucu atau bodoh.Setelah ujian nasional berlalu, aku punya banyak sekali waktu dirumah, istilah kerennya mudik. Lebih gilanya lagi, tak terbesit sedikitpun kekhawatiran akan hasil ujian nasional nanti. Entah kenapa aku terlampau percaya diri bisa lulus.
Firasatku memang benar, bahkan diacara wisuda namaku disebut sebagai siswi dengan nilai ujian bahasa inggris terbaik. Rasanya beribu bunga mekar didadaku sedang udara sejuk Himalaya menyambar wajahku. Selang beberapa hari aku membuka website pengumuman hasil ujian masuk perguruan tinggi, ada ucapan selamat anda lulus di pilihan pertama. Tulisan itu tertera jelas dengan header besar berfont tebal, rupanya aku diterima disalah satu universitas negeri yang cukup tersohor diJogjakarta. Setelah pertimbangan dari keluarga, aku dan wanita paruh baya, Ibu, datang ke universitas tersebut untuk cek kesehatan serta mengurus administrasi. Ada rasa bahwa pembuktian ini bisa kujadikan cambukan bagi mereka yang dulu menertawakan mimpiku.
Bukankah jelas dalam firmanNya, bahwa Alloh tak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang merubahnya. Dan kini sudah kuubah nasibku dengan usahaku. Tak lagi terpikirkan seberapa sakit dan terpukulnya aku saat ditertawakan dulu, kini ku tuai hasil keringatku. Berita bahagia bertubi - tubi datang menghampiri, dan terakhir tawaran beasiswa full datang dari yayasan yang tak berdiri tak jauh dari pesantren dan sekolahku dulu. Melalui bebarapa pertimbangan, pada akhirnya ku lepaskan tiket masuk universitas di Jogja dan menukarnya dengan tiket beasiswa dikota sendiri. Setiap kali jam perkuliahan usai, dengan mantab ku lewati bangunan yang dulu menertawakanku. Sekilas kulihat disana para makhluk menunduk pelan kearahku.