Relakan Aku Pergi Sebagai Syuhada
11.12.00
Aku membohongi dunia. Ku katakan bahwa aku baik – baik
saja. Padahal hatiku terluka menahan
perih. Hatiku saja terasa terbebani batu dengan bobot ratusan ton. Mungkin
lebih dari itu! Ganjalan hati yang tertutupi tabir hidup. Tapi aku terlalu
lemah untuk menyingkirkan ganjalan batu itu dari hatiku.
“aku mau mati saja!”
Dalam gelap aku masih merasakan antara perih serta pegalnya
dipergelangan tanganku, goresan pisau mungkin akan merenggut nyawaku. Nadiku
mungkin putus sehingga cairan merah bernama darah menetes deras. Aku serasa
melayang dalam kesakitan jasadku kini. Tapi hatiku lebih sakit, sangatlah sakit
untuk sekedar mengambil satu nafas saja. Tuhan, untuk apa kau ciptakan aku
dalam kesakitan ruh serta jasad yang mendalam seperti ini?
Aku serasa gila karena termakan rasaku sendiri. Aku gila
akibat membohongi diri terlalu berlebih. Aku memang naif soal rasa. Aku bodoh
dalam berkata – kata. Tapi hatiku terlampau cerdas untuk dibohongi. Lalu,
kiranya harus kusalahkan siapa atau mungkin apa?
Hening. Hanya diam tanpa ucapan berarti saat ku tatap
mereka. Ayah, bunda serta bang Ridwan. Dalam hening itu, aku menyimpan rasa
takut serta rasa bersalah pada mereka. Bagaimana bisa hanya karena seorang pria
yang baru kukenal tiga tahun belakangan ini, justru aku menelantarkan kasih
serta kepedulian keluargaku sendiri.
Bukankah mereka bahkan kukenal serta tak kuragukan lagi kasih serta ketulusan mereka padaku? Kenapa aku sebodoh ini dalam bersikap. Aku marah bahkan jijik pada diriku sendiri. Aku malu pada mereka, sosok hebat yang selalu mendampingi senang sedihku. Tapi bagaimana denganku? Aku menyakiti mereka untuk kesekian kali dengan menggugurkan dawai – dawai harapan yang ada. Aku menyayat hati mereka!
Bukankah mereka bahkan kukenal serta tak kuragukan lagi kasih serta ketulusan mereka padaku? Kenapa aku sebodoh ini dalam bersikap. Aku marah bahkan jijik pada diriku sendiri. Aku malu pada mereka, sosok hebat yang selalu mendampingi senang sedihku. Tapi bagaimana denganku? Aku menyakiti mereka untuk kesekian kali dengan menggugurkan dawai – dawai harapan yang ada. Aku menyayat hati mereka!
“tak sepantasnya seorang muslim mengambil tindakan konyol
seperti ini. Alangkah murah hatinya Alloh yang masih memberimu kesempatan untuk
menata lagi hatimu”
“tapi ayah, aku tak sanggup menanggung semua ini sendirian”
aku memotong perkataan ayah
“alangkah celakanya kami, jika diakherat kelak kami dimintai
pertanggung jawaban akan amanah yang Alloh titipkan pada kami. Kamu itu amanah
Alloh yang akan kami jaga kehormatan serta perasaanmu, jangan lagi berkata jika
kamu itu sendirian Tina!” ayah terdengar sedikit keras kali ini. Bahkan, sedikit
agak membentak.
Kak Ridwan hanya diam, begitupun dengan bunda. Aku tak
begitu menangkap arti diamnya mereka. Marahkah? Tentu saja! Putri satu –
satunya yang amat mereka sayangi harus menanggup aib dari perkenalannya dengan
seorang pria alim. Sosok alim yang meninggalkannya dihari pernikahan tanpa
kabar. Ia kabur membawa berkas berharga
serta mobil ayah.
Dia sosok alim yang kupandang sebagai malaikat tak ubahnya iblis bertopeng. Memang awal perkenalan antara aku dan dia juga berasal dari hal yang dibuat – buat. Ternyata ia menyewa preman untuk menjambret tas yang kubawa dibandara, sedangkan ia lalu muncul menjadi pahlawan berparas menawan kala itu. Awalnya hanya ucapan terimakasih biasa saja, tapi lambat laun perhatian serta kealimannya meluluhkanku, juga keluargaku. Tapi nyatanya sekarang apa? Dia hanya bagian dari komplotan preman yang menyamar.
Dia sosok alim yang kupandang sebagai malaikat tak ubahnya iblis bertopeng. Memang awal perkenalan antara aku dan dia juga berasal dari hal yang dibuat – buat. Ternyata ia menyewa preman untuk menjambret tas yang kubawa dibandara, sedangkan ia lalu muncul menjadi pahlawan berparas menawan kala itu. Awalnya hanya ucapan terimakasih biasa saja, tapi lambat laun perhatian serta kealimannya meluluhkanku, juga keluargaku. Tapi nyatanya sekarang apa? Dia hanya bagian dari komplotan preman yang menyamar.
Apalagi kabar menyedihkan datang silih berganti. Mulai dari
pertunangan bang Ridwan yang akhirnya
ditunda, perusahaan yang pailit, bunda yang memerlukan perawatan tindak lanjut
dirumah sakit. Dan alasan dari semua itu berpangkal pada satu cabang,yaitu aku!
Hari demi hari kami jalani dengan kesederhanaan. Dari bangunan megah berbeton tebal kini
menjelma menjadi kayu triplek kecoklatan sebagai dinding serta tameng dari
angin malam. Ayah sibuk mencari suntikan dana dari relasi kerjanya, bang Ridwan
susah payah menduduki jabatan asisten produksi dikantor yang dulu ia pimpin.
Sedang yang paling tragis ibu, kini semakin kurus serta kantung mata bergelayut
dibawah kelopak matanya. Diatas semua kesusahan ini, aku justru bersikap bodoh
dengan pisau dapur berkarat itu.
Setahun kemudian, ekonomi keluarga kami membaik. Akupun
melanjutkan kuliahku yang sempat kutiinggalkan. Aku mulai merasakan angin sejuk
serta nafas kebahagiaan yang sempat kulupakan. Dikampus aku juga merupakan
salah satu aktivis dakwah. Sesekali aku juga seolah menjadi motivator bagi
junior atau bahkan senior dikampus. Kuceritakan kisah kelamku dulu, kukerahkan
semua daya untuk menceritakan kisah pahit yang hampir merengggut nyawaku.
Tak kusangka, mereka begitu menghargai untaian demi untaian kata dari ceritaku. Mereka bahkan sangat termotivasi akan ceritaku.
Tak kusangka, mereka begitu menghargai untaian demi untaian kata dari ceritaku. Mereka bahkan sangat termotivasi akan ceritaku.
Usai shalat dzhuhur, aku yang masih membawa bahan untuk
tugas UAS berlarian menuju depan kantin untuk sekedar berteduh. Jika tahu hujan
akan segera turun, mungkin akan lebih baik jika aku menunggu redanya terlebih
dahulu. Ditengah pelarian tersebut, ada sosok yang tak sengaja kutabrak.
“eh maaf mas, saya buru – buru”
“iya mba, ini salah saya juga kok” sahut pria berpeci hitam
dengan wajah menunduk.
Sepulang dari kampus, aku masih sempat terpikir pria yang
kutabrak tadi. Agaknya ia pria yang baik.
Tiba – tiba aku teringat kejadian masa itu. Aku benar – benar tak ingin tertipu dengan penampilan untuk kedua kalinya. Semenjak kami bertabrakan, sering aku jumpai ia berjalan dimasjid kampus. Ternyata ia mahasiswa transfer yang aktif sebagai pendakwah dikampusnya dulu. Tak ayal jika ia juga aktif dikampusnya kini. Kutahui ia bernama Farid. Ada sedikit rasa kagum dibalik hatiku kini. Tapi sebisa mungkin kuredam.
Tiba – tiba aku teringat kejadian masa itu. Aku benar – benar tak ingin tertipu dengan penampilan untuk kedua kalinya. Semenjak kami bertabrakan, sering aku jumpai ia berjalan dimasjid kampus. Ternyata ia mahasiswa transfer yang aktif sebagai pendakwah dikampusnya dulu. Tak ayal jika ia juga aktif dikampusnya kini. Kutahui ia bernama Farid. Ada sedikit rasa kagum dibalik hatiku kini. Tapi sebisa mungkin kuredam.
“Eh kamu tahu mahasiswa transferan itu kan?” selidik Rifa
bernada menggoda
“siapa?”
“itu loh, mas Farid. Bukannya minggu lalu kau menabraknya?”
nadanya kini benar- benar menggoda, sedang aku hanya menundukan wajah yang
perlahan merona merah.
“mas Farid meminta abangku Riko untuk menyampaikan salamnya
padamu, assalamu’alaikum?” aku salah tingkah dengan nada bicara Rifa yang amat
menggoda itu. Untuk mengurangi salah tingkah, aku hanya menjawab salam itu dengan
suara lirih.
Semenjak salam darinya, entah kenapa disela sujudku aku
terbayang wajahnya yang menunduk saat berbicara. Kulawan bayangan itu dengan
istigfar,sayang semua itu tak berlangsung lama. Bahkan aku pernah mendapatinya
melihat kearahku saat ia menyampaikan dakwahnya.
“kenapa tak pernah cerita sama abangmu ini, Tina? Abang
yakin Farid pria yang baik untukmu” aku
amat kaget mendengar penuturan bang Ridwan.
”Farid siapa bang?” tanyaku sekedar menyakinkan serta mengharap yang dimaksud oleh abangku
ini adalah Farid mahasiswa transferan itu. Bang Ridwan hanya tersenyum simpul sembari
menyerahkan surat biru langit ketanganku.
Teruntuk : Tina Zania
Assalamu’alaikum Tina,
mungkin suratku mengagetkanmu atau bahkan membuatmu merasa aneh akan diriku.
Tepatnya empat bulan sudah semenjak kita bertabrakan, aku melihat sosokmu
dimasjid kampus. Dengan Asma Rabbi, aku ingin menyampaikan hasratku untuk
mengajakmu ta’aruf. Kadang, kucuri pandang tuk sekedar melihat kelebat
bayanganmu,Tina. Inilah pria sederhana yang memimpikan membangun cinta diatas
ibadah kita bersama nantinya. Itupun kalau kau berkenan. Aku bukanlah sosok
romantis yang pandai merangkai kata indah yang memabukkan, inilah kalimat
sederhana yang ingin kusampaikan padamu, jika kau berkenan mari kita saling
mengenal. Untuk itu sejak bulan lalu aku sudah menemui ayah serta bang Ridwan
membicarakan hal ini. Serta ibundamu juga merestui niatanku. Tina, aku telah
meletakkan dua buku diatas mejamu, jika kau menerima niatan baikku maka
ambillah buku tafsir dan jika kau belum berkenan maka ambillah buku aqidah.
Wassalamu’alaikum
warohmatullohi wabarokatuh.....
Deg!
Bahagia, kaget, entah rasa apa lagi yang kini
meluluhlantahkan hatiku. Ada rasa kesal bercampur senang saat kutahu ternyata
sebulan lalu, Mas Farid telah menemui keluargaku. Hanya saja mereka
menyembuyikan hal itu dariku. Kejutan macam apa ini. Esoknya aku mengambil buku
dimejaku, buku tafsir yang kuambil. Dibalik jendela ruang kuliah, aku melihat
sekelebat bayangan pria. Kuyakin itu pasti mas Farid. Ah dasar romantis!
Secepat kilat ia menyembunyikan diri dari pandanganku. Tentunya kini ia tahu
jawabanku.
Kebetulan bulan depan kami diwisuda. Kuhitung baru dua bulan
kami menjalani masa ta’aruf. Kukira ia akan menggunakan masa perkenalan itu
hingga tiga bulan, ternyata tidak. Katanya ia sudah amat mengenaliku. Lagi –
lagi ucapan sederhana yang keluar darinya menggoncangkan hatiku.
“Tina, tak terasa kita telah mendapatkan gelar kita masing –
masing. Untuk itu aku ingin
mengkhitbahmu besok” ia masih menggunakan pakaian wisuda saat bicara denganku,
masih dengan wajah yang menunduk seperti dulu. Sedang aku masih seperti dulu,
selalu saja hanya mengangguk dengan wajah merona.
Setelah dikhitbah, aku serta keluargaku menyiapkan visa
keberangkatan kami ke Palestina. Bukan demi mode menikah diluar negeri. Akan
tetapi ini merupakan nadzar mas Farid jika bisa mempersuntingku. Ada rasa takut
serta was – was dinegeri itu. Walaupun keselamatan kami dijamin oleh kedubes
Indonesia disana, akan tetapi aku tetap merasa khawatir. Sesampainya disana
keluargaku serta keluarga mas Farid membawa segala ube rampe untuk akad kami
nantinya.
Ube rampe disini bukanlah sesajen atau bunga macam tujuh layaknya orang abangan. Ini hanya istilah saja. Dimasjidil Aqsa kami masuk melalui pintu yang dijaga tentara Israel. Anehnya disana bagi pengunjung muslim menjadi syarat utamam hafal surah Al Fatehah. Akan tetapi bagi non muslim tanpa syarat untuk masuk baitulloh tersebut. Bahkan tak jarang turis non muslim itu hanya memakai celana pendek. Ditambah lagi, aku amatlah kasihan rakyat sipil disana, aku harus menyaksikan anak – anak yang pergi kesekolah bertodong senjata. Ais! Kejamnya tentara Zionis itu!
Ube rampe disini bukanlah sesajen atau bunga macam tujuh layaknya orang abangan. Ini hanya istilah saja. Dimasjidil Aqsa kami masuk melalui pintu yang dijaga tentara Israel. Anehnya disana bagi pengunjung muslim menjadi syarat utamam hafal surah Al Fatehah. Akan tetapi bagi non muslim tanpa syarat untuk masuk baitulloh tersebut. Bahkan tak jarang turis non muslim itu hanya memakai celana pendek. Ditambah lagi, aku amatlah kasihan rakyat sipil disana, aku harus menyaksikan anak – anak yang pergi kesekolah bertodong senjata. Ais! Kejamnya tentara Zionis itu!
Kuputuskan untuk mengambil air wudhu sebelum akad nikah
dimulai. Bagiku wudhu adalah riasan pengantin paling sempurna, apalagi riwayat
shahih membahas hal tersebut. Setelah berwudhu aku beranjak menuju serambi
masjid dimana akad kami dilaksanakan. Tiba – tiba aku mendengar jeritan anak
kecil dibalik tembok ku berdiri. Entah apa yang menggerakkan aku untuk mencari
sumber suara tersebut. Entah kekuatan macam apa yang menuntun langkahku,
padahal sebelumnya aku singgah dinegeri ini berliput rasa khawatir.
“Asytaghfirulloh!” gumamku lirih saat kutemui gadis kecil
yang memeluk wanita paruh baya yang bersimpuh darah. Air mata serta rintih
tangisannya memilukan hatiku. Kuyakin wanita paruh baya tersebut adalah
ibundanya.
“help me... help me and
my mother, please!” gadis kecil itu menatap kearahku sembari senjata
menodong kepalanya. Seorang tentara kini bagai Izrail dihadapanku, tatapannya
seperti psikopat.
“Don’t touch them, or you wil die with them now. Go!” sang tentara Yahudi menggertakku. Sedang
kulihat sitentara mulai menarik pelatuk senjatanya. Kulihat lagi gadis itu yang
kini memejamkan mata serta memeluk erat wanita paruh baya itu. Syetan
menakutiku serta menawarkan keselamatan dengan dengan meninggalkan gadis itu,
sedang hati kecilku bergumam menolongnya, bukankah Alloh janjikan surga bagi
para syuhada, jika aku mati sekalipun. Dalam pertentangan batin itu, entah
kenapa air mataku menetes disertai keberanian yang tak kutahu darimana asalnya.
“Allohu Akbar!” Aku mencoba mengekang senjata itu dengan
tanganku. Senjata itu kini menjauh dari kepala si gadis. Dan kini aku berebut
menaklukan senjata dari tangan kekar sang tentara. Hingga tanganku melemah,
lalu kurasakan hentakan peluru mengenai dada kiriku. Pandanganku tiba – tiba
buyar. Samar – samar kudengar jeritan ibu serta mas Farid yang berhambur menuju kepadaku.
“kenapa kamu Tina, berasabarlah serta kau harus kuat. Kami akan
membawamu kerumah sakit As Syiwa agar kau bisa sembuh” ibuku nampak panik
hingga pelukannya terasa erat sekali dipergelangan tanganku.
Dunia menghitam. Lalu kumelihat cahaya sedikit demi sedikit.
Kelopak mataku membuka perlahan. Kini kusadar keberadaanku dimobil ambulance
ayah,ibu dan mas Farid duduk disebelahku.
“Ayah, ibu maafkan Tina. Dan mas Farid ijinkan aku pergi
sebagai syuhada, bimbinglah aku membaca syahadat untuk terakhir kalinya” aku
berusaha tersenyum walaupun dadaku amatlah sakit.
“Tirukan mas untuk bersyahadat Tina, Ashadu alla ilaa
haillalloh wa asyhadu anna muhammadarrosululloh...” agak serak menahan air mata
mas Farid membimbingku bersyahadat.
Agak terbata menahan sakit, aku berusaha bisa menyelesaikan syahadatku untuk terakhir kalinya. Aku melihat wajah mereka sembari menghaturkan senyum tanda kebahagiaan yang hakiki untuk terakhir kaliinya. Aku memejamkan mata dan bersiap memandang melalui ruh yang akan menemui penciptanya. Ku tinggalkan gelapnya dunia tuk penuhi hasratku akan cahaya surga, insyaAlloh. Ya Rabb dulu aku pernah mencoba mendahului hidupku sebelum takdir yang Engkau gariskan. Kini aku terima takdir hidup yang Engkau gariskan sebagai pengganti masa kelamku dulu. Terimalah pengganti ini dan anggaplah aku sebagai salah satu syuhadaMu Ya Rabb. Dalam hening aku menyampaikan ungkapan itu dalam hati, menunggu detik dimana kebahagiaan menjemputku, insyaAlloh.
Agak terbata menahan sakit, aku berusaha bisa menyelesaikan syahadatku untuk terakhir kalinya. Aku melihat wajah mereka sembari menghaturkan senyum tanda kebahagiaan yang hakiki untuk terakhir kaliinya. Aku memejamkan mata dan bersiap memandang melalui ruh yang akan menemui penciptanya. Ku tinggalkan gelapnya dunia tuk penuhi hasratku akan cahaya surga, insyaAlloh. Ya Rabb dulu aku pernah mencoba mendahului hidupku sebelum takdir yang Engkau gariskan. Kini aku terima takdir hidup yang Engkau gariskan sebagai pengganti masa kelamku dulu. Terimalah pengganti ini dan anggaplah aku sebagai salah satu syuhadaMu Ya Rabb. Dalam hening aku menyampaikan ungkapan itu dalam hati, menunggu detik dimana kebahagiaan menjemputku, insyaAlloh.
0 komentar