Marah Bukan Berarti Berhenti Mencinta
21.44.00
Tepatnya dua puluh tahun yang lalu, ia menggenggam mesra telapak tanganku dalam romantisnya candle light dinner dihari dimana aku dan dia menjalin cinta dalam komitmen. Masa itu komitmen awal sepasang kekasih berseragam abu - abu yang tumbuh karena MOS (masa orientasi siswa) yang kami lalui bersama. Suka duka cinta telah kami lalui serta nikmati dalam komitmen pernikahan dua puluh tahun silam. Cinta itu sesuatu yang sulit untuk sekedar dipahami, begitu juga dengan sulitnya kami mengerti serta memahami cinta yang kami bangun dalam seragam abu - abu putih dulu. Tapi cinta kami hampir saja terbawa arus saat kami harus menempuh jurusan perkuliahan di universitas yang berbeda. Bukan hanya berbeda jurusan tapi beda negara.
Aku yang harus melanjutkan study ku ke oxford university sedangkan ia harus menemui masa kuliahnya di Adelaide University. Betapa jauhnya kami terpisah akan menara eiffel dan negeri yang penuh dengan kangguru. Inggris dan Australia itu tak jauh, tapi sangatlah jauh. Teringat pertengkaran kami di bandara menjelang keberangkatanku.
"Akankah cinta kita terbatas pada ruang dan waktu?" nada serta intonasinya begitu meyakinkan saat aku katakan ingin akhiri saja hubungan kami.
"Bukan seperti itu maksudku" aku hanya menunduk penuh kebimbangan. lalu entah kenapa aku lari dari sampingnya menuju tempat parkir taksi yang menunggu pelangannya.
Tanpa sadar, ia juga menggenggam erat lenganku, mencegahku untuk berlari. tapi entah kenapa aku begitu berhasrat untuk lari menjauh dari sampingnya, entah untuk sekedar melampiaskan kebimbangan ataupun aku bingung untuk sekedar menjawab untaiannya.
Kutinggalkan tiket yang sudah keluargaku persiapkan jauh - jauh hari, jam terbangku harusnya sudah ku lalui sejam yang lalu. tapi kini aku justru berjalan dalam derasnya hujan. Aku tak ingin menyakinkan perasaanku bahwa aku terlalu takut menjalin hubungan jarak jauh dengannya. Aku terlalu takut ia akan berpaling hati pada bidadari yang dekat disampingnnya.
"Tak seharusnya kau berlaku ceroboh seperti ini" suaranya nyaring saat ku tatap wajahnya. Ternyata ia juga membatalkan jam terbangnya demi mengejarku. Tapi ku lihat raut wajah yang kecewa padanya. Secepat kilat ia melepas jaketnya lalu diarahkannya jaket itu diatas kepalaku, berusaha melindungiku dari serbuan bulir hujan. Aku bingung raut wajahnya marah tapi ia mau memayungiku dengan jaketnya.
"Marahkah kau padaku" tanyaku.
"Menurutmu?" jawabnya sekenanya, kini aku yakin ia memang memendam kemarahan.
"Jika kau marah, untuk apa kiranya kau memayungiku. sungguhlah kemarahanmu lebih menyakitiku daripada air hujan ini"
"Apakah jika aku marah, aku tak boleh melindungi seseorang yang ku cintai? mengertilah cinta kita tak terbatas akan rasa senang, marah apalagi jarak dan waktu. kembalilah besok ke bandara ini. kita akan pergi ketujuan kita masing - masing. percayakah engkau padaku?"
Sejenak aku hanya bisa memendam rasa menyesal mengapa aku pergi begitu saja dari bandara tadi. Padahal orang tuaku begitu telaten mempersiapkan keberangkatanku hari ini. Tapi hanya karena kekhawatiran serta ketakutan akan cinta kami, aku justru bertingkah bodoh.
Dan kini kenangan itu masih jelas tertulis dalam memoriku. Aku belajar hal besar saat ia memayungiku dalam derasnya hujan waktu itu. Aku belajar dari kemarahannya bahwa hanya karena kita marah pada seseorang bukan berarti kita berhenti mencintai orang tersebut.
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku
0 komentar