Gadis berwajah bawang
11.11.00
Matahari seperti
biasanya muncul dari ufuk timur menyapaku pagi ini. Seperti biasanya pula aku
memandang langit yang masih terlalu dini untuk menerima sinar.
“pagi yang indah” hanya
itu ungkapan yang selalu ku ucapkan pada diriku sendiri tiap kali ku hirup
serta ku tatap mesra pandangan dibalik jendela kaca ini. Pagi ini sudah
terbayang dalam pikiranku bagaimana aku akan bersikap didepan dosen pembimbing
nanti. Bagaimana pula aku akan bertutur kata pada pengajuanku hari ini, itupun
kalau aku bisa bertatap muka dengan beliau. Maklum saja sudah jadi tradisi
mahasiswi semester akhir dalam mengintai
kehadiran dosen dikampus tercinta.
Setelah ku rasa lengkap
segala persenjataan kini ku beranjak dari meja rias untuk menuju kampus. Lumayan
jaug jarak yang ku tempuh, mungkin juga karena aku menempuhnya menggunakan
angkutan umum yang sering ngetime ataupun mengalami trouble tak terduka.
Sesekali aku tak boleh masuk ruangan oleh dosen yang ku bilang mirip zombi
karna terlalu otoriter.
“hy.. udah dari tadi
apa un?” sapa sahabat karibku sambil membuyarkan bermacam imaginasi yang sedang
ku bangun.
“eh baru aja kok., ”
sambil tersenyum ku menggeser kursi mempersilahkannya duduk
Pagi itu aku ngobrol
banyak tentang banyak hal sampai pada pembicaraan pada sosok yang kurasa
sedikit canggung untuk mengingatnya bahkan sekedar mengucap siapa namanya.
Bagaimana aku tidak canggung jika seorang pria menorehkan rasa sedangkan hatiku
sudah terisi oleh cinta makhluk lain. Sebisa mungkin aku hindari dia, dari menghilang
dari pandangannya sampai mengurangi komunikasi dengannya. Tapi apa daya jika
Tuhan berkehendak lain, setelah sekian
lama aku berusaha menghindar darinya justru terjadilah suatu even dimana dalam
even tersebut mengharuskanku untuk dekat dengannya. “Tuhaan.. apa yang harus
aku lakukan..???” jeritanku dalam hati.
Entah kenapa namaku
terdaftar menjadi peserta KKN Vokasi dan celakanya lagi saat breefing aku
tertinggal informasi sehingga aku hanya bisa menerima takdir. Tapi dibalik itu
semua aku juga memperoleh keringanan untuk proses pengajuan laporanku. Yah
setidaknya itu bisa mengurangi kegundahanku.
Tepatnya hari sabtu
pagi kami berangkat ke kota tempat pelaksanaan KKN Vokasi, setelah perjalanan
panjang disela hujan lebat yang mengguyur
bus kami tertap bersemangat tapi setelah kita sampai diposko rasanya
kami agak aneh dengan rumah yang hanya bersandar kayu dan berbalut dengan
segala keserhanaannya. Tapi syukurlah semua itu nyatanya tak sebanding dengan
kebaikan tuan rumah yang kebetulan kepala desa tersebut.
Secara natural aku dan
dia (sebut saja ari) dekat kembali layaknya sahabat sebelum ku tahu perasaannya
yang sebenanya. Aku juga secara tak sengaja melanggar prinsip yang lama ku
tempuh akhir – akhir ini dikampus. Tapi
biarlah.. toh aku menggangapnya sebuah kewajiban dalam bertugas. Disana banyak
aktivitas yang kelompokku lakukan yah bisa dibilang kami termasuk satu kelompok
yang cukup kompak. dua pria dan empat wanita dan menariknya kelompok kami
adalah campuran antara senior dan junior dikampus.
Hari – hari kami lewati
dengan bahagia. Anehnya setiap kegiatan pasti ada saja personil kami yang
membuat ulah. Saat tragedi shoun the sheep yang jatuh dari langit- langit rumah
ketika sholat berjamaah, saat gurauan yang meledak sebelum tidur, saat dikejar anak kecil yang maaf (kelainan)
sambil menyingsingkan rok. Ah.. semua itu terlalu indah untuk sekedar dikenang.
Oh iya ada satu kejadian yang sama sakali tak bisa aku lupakan, saat tengah
malam kami beranjak tidur tiba – tiba terdengar langkah kaki dua orang melewati
samping kamar kami, tiba – tiba terdengar bunyi kentut samar – samar. Tentu
saja kami saling pandang dan memasang telinga bilamana kita salah dengar, tapi
disaat kita memasang pendengaran justru terdengar lagi bunyi kentut yang keras
sekali. Kami terbahak – bahak tak karuan mendengar suara yang agak aneh itu,
sehingga membuat si empunya kentut lari menghindar takut terbongkar kedoknya.
Keesokan paginya aku
bersama tim bergegas menuju kelurahan setempat untuk mengurus segala ube rampe
even yang akan kami adakan. Seperti
biasa menjelang malam kami beranjak tidur, ku mainkan kerudung yang ku pakai
tiba tiba....
“mba un wajahnya kok
kaya bawang?” serentak pertanyaan tersebut memancing gelak tawa seisi kamar.
“lho kok bisa – bisanya
wajahku dibilang kaya bawang?” bukannya dijawab gelak tawa semakin meraung
dikamar kami. Huft biarlah pikirku, toh aku merasa sangat ingin tidur. Mungkin
sampai pagi jika aku melayani gurauan mereka.
Setelah kejadian malam
itu semua tim memanggilku dengan julukan “gadis berwajah bawang”. Sangatlah
tidak masuk akal pikirku. Bawang yang ku anggap bumbu penyedap untuk sebuah
masakan kini jadi nama keduaku? Benar – benar membuatku meh mendengar julukan
itu.
Setelah minggu akhir
kita merasa sayang untuk pulang. Anak – anak MTs yang kami ajar, anak pak lurah
yang begitu lucu dan keluarga pak lurah itu sendiri yang begitu baik pada kami.
Disana kami merasa menemukan keluarga baru, menikmati keramahan warga desa yang
selalu memanjakan kita. Malah kita merasa tak pantas melakukan vokasi disana,
bagaimana tidak, sehari – hari kami hanya duduk manis yah walaupun terkadang
ada satu ataupun dua aktivitas. Disanalah hati kami berlabuh pada ketenangan
nyiur bunga liar dipelosok desa. Disana pula kami temukan kedamaian serta keramahan
tanpa pamrih, sungguh indah membayangkan kembali moment – moment indah itu,
membuatku seolah merasakan kembali rasa yang pernah kami lewati bersama. Tapi
satu hal yang masih menjadi ganjalan bagiku adalah ari, bagaimana aku akan
bersikap setelah kegiatan ini selesai, aku takut ia menuntut lebih. Seringkali
kami saling pandang saat membahas suatu hal yang kami susun, bahkan semua
anggota menyadari apa yang terjadi antara aku dan ari.
Langit serasa ambruk
dikepalaku sore ini, bagaimana aku bisa mengatakan bahwa hatiku sudah bertuan.
Aku juga tak tega untuk sekedar mengucap
pernyataan pahit itu. Tuhan tolong ambilkan aku topeng untuk menutup wajahnya
dari pandanganku. Gadis berwajah bawang ini hanya takut menyakiti tapi tak
berani mengungkapkan apa yang dirasa. Hingga suatu saat ku ucapkann beberapa
sapaan kepadanya.
“ri, kamu ada waktu
sebentar” tanyaku sedikit canggung
“oh iya ada apa un”
sambil reflek menyiapkan tempat duduk untukku.
“begini aku hanya ingin
meluruskan apa yang terjadi sebelum atau mungkin sesudah kegiatan ini, tapi
sebelumnya aku minta maaf jika nanti perkataanku justru menyakiti perasaanmu”
kataku menunduk menunggu responnya.
“tenanglah un, aku
faham betul apa yang kau maksudkan, semua ini tentang ungkapan serta lakuku
waktu itu , jujur bilaku terpaut rasa padamu tapi aku sadar betul bila kita
sudah sama – sama punya ikatan, biarlah rasa ini menjadi awan yang siap
menampung airmata kita . bersikaplah segaimana kau bersikap denganku pertama
kali, insyaAlloh aku menerimannya. Bagiku ku itu gadis berwajah bawang yang
hanya bisa kupandang tapi tak bisa ku miliki”
Mendengar ucapan itu
aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Antara senang dan sedih ku dengarkan
setiap untaian kata darinya. Kejamkah aku mematahkan harapan seorang pria?
Hanya diam yang mampu ku tunjukan padanya, ku tahu betul jika ada raut kecewa diwajahnya. Biarlah berakhir kisah cinta
gadis berwajah bawang malam ini. Biarlah hembusan angin malam yang akan
memendam rasa kecewa kami. Berakhirnya kisah tak sampai gadis bawang untuk
waktu yang singkat ini
Segala persaan
berkecamuk dalam hatiku tapi apa mau dikata aku dan dia ibarat orang yang
menari dalam lingkaran api, sehebat apapun aku dan dia memainkan tarian pasti
akan ada saatnya kami terbakar atau paling tidak kami akan merasakan hawa panas
serta ketidaknyamanan. Dan ini adalah keputusan terbaik untuk aku dan dia.
Biarlah segala kenangan itu terhapus jejak – jejak para serangga malam disela
kerlingan bintang yang merajuk.
0 komentar