Sabda Cinta untuk Khadijah

07.46.00



Ayam jantan berkokok tanda sang fajar mulai singgah dibumi ini. Aku menutup lembar terakhir dari mushaf yang kubaca pagi ini. An-Nas menjadi surah penutup dari tiap juz yang kutelateni.
“Alhamdulilah”  kataku lirih sembari mencium setumpuk  kertas yang amat mulia bagiku juga bagi seluruh umat muslim dibumi ini.

Aku mengawali aktivitas pagi ini dengan rasa senang yang membuncah. Agaknya rasa itu datang dari juz terakhir pagi tadi. Ku melangkahkan kaki keluar gubuk kecil sembari membawa cangkul dipundakku. Pagi ini aku harus melunakkan tanah agar bisa ditanami kembali. Hasil panen kemarin amat memuaskan bagi petani didesa ini. Tanpa terasa waktu mendekati beduk dzuhur, aku mendengarkan gema adzan ditengah hijaunya sawah. Aku terhenyak dari lamunan yang memabukkan itu. Baru sadar, siang ini aku mendapat jatah untuk mengumandangkan adzan didesa. 

Kuraih cangkul yang tergeletak dikolong bawah gabuk tempat ku merebah. Dengan langkah terburu, kupercepat langkah agar  tak terlampau telat adzan berkumandang nantinya. Sesekali, kerikil kecil menghambat lajuku. Kiranya tak terlampau jauh jarak antara pemantang sawah dengan rumah.
Cairan berwarnan coklat itu perlahan luntur terbawa guyuran air. Sisa – sisa lumpur itu tergantikan dengan busa sabun yang melimpah. Setelah semua ritual itu selesai, kuraih baju koko serta sarung yang menggantung dibelakang pintu kamar. Lalu kututup pintu itu, beberapa detik aku terdiam berpikir masih ada suatu hal yang kurang. Kubuka lagi pintu yang tadi sempat kututup, tanganku meraih peci yang terselip dijas almamater. Rupanya peci ini yang membuatku merasa ada yang kurang. Dengan raut menahan senyum ku melangkahkan kaki menuju masjid.

“Ustad Nizam mau kemasjid ya?” sapa ibu – ibu yang bergerombol dijalan. Nampaknya mereka baru saja pulang dari hajatan tetangga. Hidup didesa memang terkenal dengan paguyuban yang terjalin antar warganya.

“Iya ini, monggo saya duluan” aku melewati para ibu – ibu itu. Nampaknya terlampau lama jika ku buntuti langkah mereka yang berjalan sembari asyik bertutur kata. Samar – samar ku dengar pembicaraan mereka, masih berkutat mengenai harga sembako sampai hal – hal yang bahkan  tak ketahui. Agaknya dunia wanita memang sulit untuk difahami.

Adzan menggema dari speaker  atas masjid. Agak parau diakhir seruan yang menggema  suaraku terdengar. Dua rakaat kutunaikan shalat Qobliyah, pikirku sembari menunggu jamaah datang. Dengan suara lirih aku mengucapkan lafald – lafald ilahi yang amat menentramkan.

“Assalamu’alaikum ustadz, boleh saya bicara sebentar?” pak kyai menepuk pundakku. Aku segera mengikuti langkah beliau menuju serambi masjid. Agaknya tak baik berbincang – bincang di rumah Alloh, Baitulloh.

“Besok anak saya Rifa akan pulang, ia akan membawa temannya untuk membantu kamu mengajar  ngaji.” Terang beliau dengan mimik serius. Ais! Bukankan beliau selalu menampakkan ekspresi wajah seperti itu.

“Sendiko dawuh pak kyai” kataku penuh ta’dzim.
Benar saja, pagi harinya ada mobil travel menuju pekarangan rumah pak kyai. Dibalik jendela, Rifa mengeluarkan wajahnya melalui kaca sembari melambaikan tangan kearahku. Aku lakukan hal sama pula kepadanya. Rupanya ia masih temanku yang dulu, tepatnya partner petak umpet dulu.
Aku masih duduk diteras depan sembari membaca buku kecil dengan satu pegangan. Kemudian datang Rifa dengan wajah sumpringah.

“Assalamu’alaikum mas Nizam, bagaimana kabarnya?” katanya tersenyum memamerkan giginya yang berjejer rapi bak biji timun

“Wa’alaikumussalam, alhamdulilah baik, bagaimana denganmu Rifa?” jawabku sekenanya.
Sementara ia hanya tersenyum sembari menarik baju koko yang kukenakan. Ada rasa risih saat kulihat yang menarik lengan baju itu adalah seorang wanita cantik bukan lagi gadis centil yang dulu. Tapi sudahlah, toh Rifa sudah kuanggap adikku sendiri.

Langkah pertama diambang pintu rumah yang penuh kenangan masa kecil, rumah Rifa. Sejenak kumelihat sosok bidadari cantik duduk dipojok kursi tamu yang berjejer empat petak. Aku terpatri memandangnya, hingga kulihat senyum mengembang dipipi bidadari itu, merona begitu indahnya. Belum lagi sorot mata yang berbinar itu, ais menyejukkan begitu memandang.

“Ndak baik bujang bengong dipintu zam, ayo masuk” sanggah pak kyai membuyarkan lamunanku.

“Asytagfirulloh!” aku menggertak, dalam hati maksudnya. Aku hanya mampu tersenyum menutup malu,  saat pak kyai membuyarkan lamunanku. Tentu itu sudah jadi jawaban sederhana tanpa kata yang bisa kubuat menyingkapi teguran beliau.

“Ini Rana, teman Rifa yang akan membantumu mengajar anak – anak diTPQ nantinya. Ia ini teman satu asrama dengan Rifa, karena libur kuliah, mereka abah suruh pulang untuk membantumu” terang pak kyai.

Sedang aku lagi – lagi menemukan senyuman indah terlukis diwajah bidadari bernama Rana itu. Sembari mengepalkan tangan dibalik saku baju koko yang kupakai, aku berusaha membuyarkan pandanganku akan dirinya. Tak baik menatap yang bukan hak ku. Tepatnya belum hakku, toh masih ada harapan bidadari itu akan menjadi hak ku. Ah,, mimpi apa aku ini.

Pagi hari aku amatlah bersemangat menggarap ladang satu – satunya peninggalan orang tuaku. Aku tak sabar menunggu sore tiba, saat aku bisa bersanding dengan bidadari itu di TPQ. Bersanding sebagai partner kerja, maksudnya. Memangnya punya nyali bersanding dipelaminan? Tanyaku pada hati sembari menghujat.

Semenjak kejadian bengong dipintu rumah Rifa, aku membuat perjanjian padaku. Bahwa aku tak akan memandang bidadari itu lebih dari lima detik. Entah apapun yang terjadi aku harus menahan pandangan darinya. Entah kenapa untuk pertama kalinya aku segila ini. Belum pernah kiranya rasa seperti ini muncul disetiap degup jantung yang berdetak. Rupanya hatiku jatuh ketika memandangnya. Rana, adakah kiranya manusia ini bisa memilikimu, bidadari surgaku.

“Pak kyai, saya ingin mengutarakan suatu hal mengenai Rana. Apakah salah jika saya menaruh hati padanya, sedang saya juga berniat mengkhitbahnya?” tuturku agak meragu sembari menundukan wajah sedalam perasaanku kini.

“Benar salah itu fitrah manusia zam, tapi coba kamu pikir, apakah orang tua Rana menyekolahkannya hingga perkuliahan justru berniat agar ia berjodoh dengan petani sebatang kara yang tinggal dipedesaan?” jawab beliau bagai menusuk relung hatiku.

“Saya sama sekali tak bermaksud menghinamu zam, ketahuilah dalam hidup ada yang namanya hukum timbal balik, dimana saat kamu berikan satu kebaikan maka akan datang satu pengaharapan pada hal yang baik. Disebutkan dalam suatu riwayat shahih wanita itu dinikahi karena  4perkara, kecantikan, harta , nasob (keturunan), lalu agamanya. Apakah kamu kira wanita tak berpikir demikian dalam mencari jodoh? Saya hanya berusaha meringankan pikiranmu sebelum pikiran serta hatimu lebih sakit dari sekarang”.

Kecewa, sedih, marah, menyesal,kalut, semua rasa itu berbalut dalam satu hati didalam rongga dada. Kesadaran kembali singgah dalam pikiranku. Penyesalan membuat dadaku sesak, agaknya terlampau lancang diri ini untuk meminang bidadari. Bak seorang seorang pengemis yang mengais cinta dari seorang puteri. Aku tak membenci pak kyai karena mengucapkan hal sesakit itu, agaknya aku justru harus bersyukur beliau menyadarkanku secepat ini. Mungkin sakit ini akan lebih dan lebih berat  jika yang mengatakan hal tersebut dari pihak Rana. Sepanjang perjalanan pulang aku beristighfar dalam hati, mataku sampai sakit menahan air mata agar tak jatuh menetes. Langkahku gontai.

Tak terasa satu bulan berlalu, saatnya bidadari itu terbang ke kahyangan. Rana harus berangkat lagi ke ibu kota. Entah rasa ikhlas atau malah perasaan hati yang terluka aku menyingkapi hal ini. Dihari keberangkatan mereka, aku menyibukkan diriku bermunajah dirumah Tuhan, masjid. Agaknya pak kyai juga pernah mengatakan bahwa mereka sudah mengetahui rencana khitbah itu. Tambah lagi rasa yang membuncah didalam rongga dadaku, rasa malu! Berat sekali cobaan ini. 

Aku hanya bisa bergumam dalam diam, mengapa jodoh terpatri dalam tradisi trah? Apakah mereka yang kaya harus berjodoh dengan kaya pula? Apakah paras elok juga harus berjodoh dengan rupawan juga?
Hari terlewati begitu saja tanpa mengindahkan perasaan hatiku. Perlahan tapi pasti, aku mulai menerima kenyataan. Kenyataan bahwa aku terlahir sebagai pemuda desa sebatang kara dengan sepetak sawah, sedang bidadari itu terlahir bak puteri yang ditakdirkan untuk dipinang pangeran negeri seberang, bukan pangeran urban. Waktu berjalan tanpa sebentarpun menoleh kearahku. Pikirku ini bukan roman picisan, jadi mengapa aku harus menggalau berat macam ini.

Sepucuk amplop putih tergeletak didepan pintu rumah. Rupanya undangan untuk mengisi pengajian didesa sebelah. Waktuku tak banyak untuk mempersiapkan materi  yang  akan kusampaikan. Sore nanti acara berlangsung mengapa terkesan mendadak sekali, biasanya seminggu sebelum acara, undangan sudah ditangan. Setelah ijin tak masuk TPQ, aku dijemput ojek menuju desa sebelah. Sesampainnya disana aku agak kaget melihat jamaah yang lebih banyak dari biasanya.

“Dek Nizam, begini maksud kedatangan saya kesini. Kakak perempuan saya sudah lima tahun ditinggal mati suaminya. Ia ingin membangun rumah tangga kembali karena ia pun juga belum memiliki putra. Dan ia mengutarakan ketertarikannya pada sampean ini. Bagaimana?” terang lelaki paruh baya itu itu panjang lebar sedang aku tersudutkan dengan kata terakhir darinya, bagaimana?

“Ini fotonya, biar sampean lebih yakin mengambil keputusan. Namanya Khadijah.Asal sampean tahu juga, kakak perempuan saya itu tak sudah beberapa kali menolak pinangan, tapi setelah pulang dari pengajian kemarin, ia langsung meminta saya kesini. Katanya ada pemuda shaleh yang adzannya menggetarkan hatinya”. Dalam hati aku tersirat rasa kagum mendengar penuturan tersebut, bukan rahasia lagi jika Fatimah merupakan janda kaya raya serta berparas cantik yang tak luput menjaga kehormatannya. Sekilas aku juga menemui wajah teduh itu dipengajian kemarin.

“InsyaAlloh saya bersedia pak, dengan syarat Khadijah bisa menerima saya sebagai petani sepetak sawah serta bukan hartawan ataupun rupawan di desa ini” tuturku mantab.

“Alhamdulilah” Serempak semua orang yang singgah digubukku berucap.

Disini aku amat bersyukur akan takdir ilahi. Bagaimana tidak? Perjalanan kisah cintaku amatlah mirip dengan baginda Nabi Muhammad yang menikah dengan Khadijah. Aku mungkin tak bisa meminang bidadari surga itu tapi kali ini aku menikahi seorang bidadari surga berbonus dunia sekaligus. Karena Khadijah adalah bidadari dunia dalam rumah tangga yang kupimpin nanti, sedang ia pun akan jadi bidadari surgaku kelak diakherat, InsyaAlloh.

You Might Also Like

0 komentar





"Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak percaya itu"

_Ali bin Abi Thalib_

Like me on Facebook