Tentang Sebuah Luka (Coretan Terbaru Rifa Syarif)
14.42.00
Seberapapun menganga luka yang ada dihati seseorang, tetap saja hanya ia
yang benar – benar faham seberapa dalam hatinya terluka. Tidak ada yang bisa
menyembuhkan lukanya kecuali ia sendiri. Karena didunia ini, isi hati dengan segala
perasaannya hanya benar – benar difahami oleh satu pemilik saja. Tidak ada yang
benar – benar terbawa perasaan pada isi hati orang lain, tidak lebih hanya
memenuhi unsur kepantasan saja. Menampakkaan wajah ceria ketika teman naik
jabatan atau memasang raut sedih turut berduka cita. Kita benar – benar harus
belajar membedakan mengenai kepantasan dan ketulusan.
Di tanah kelahiran ini, nyatanya
sulit sekali membedakan kedua hal itu. Kita terlahir ditanah yang begitu ramah
dan penuh tata krama. Bahkan seringkali kita tidak enak hati mengatakan bahwa
kita sibuk dan terlalu terburu – buru untuk mendengarkan curahan hati seorang
teman. Belajar tetap menatap wajahnya seolah kita duduk sebagai pendengar yang
baik padahal kita tidak lebih hanya seonggok batang kayu, sekedar meng-iya-kan
tanpa berusaha memutar otak mencari solusi.
Memasang ekspresi seperti bayi yang baru belajar huruf “A” dan
mengangguk membenarkan apa yang dianggap benar. Meskipun dalam hati kadang
terbesit saran untuk hal yang ia anggap benar, tapi semua kata itu kutahan
dalam hati, dibiarkan mengendap begitu saja. Aku khawatir perbincangan kita
semakin lama karena aku menyalahkan apa yang kau anggap benar. Lagipula, aku
merasa tidak enak hati menyanggah apa yang kau benarkan, begitu khawatirnya aku
jika kalimatku justru membuatmu semakin merasa terluka.
Aku pernah mendengar bahwa orang yang terluka tidak butuh nasehat,
sekedar butuh didengarkan. Itu saja sudah cukup menumpahkan racun yang memenuhi
rongga dadanya. Membiarkan jantung menetralisir racun sebelum mengendap dan
memicu dendam kesumat. Bersyukurlah orang yang hatinya lapang mencurahkan apa
yang menyesakkan hatinya, menangispun tak apa, karena diluar sana banyak sekali
anak manusia yang hatinya semakin terluka akibat memendam apa yang harusnya tak
dipendam. Luka itu perlu obat bukan dibiarkan menganga didalam sana. Mereka
berharap luka itu menutup dengan sendirinya seperti kinerja sel darah putih
yang bahu membahu menutup jaringan kulit yang robek,
Tapi harapan mereka tak sesuai dengan kenyataan mengenai hati. Satu –
satunya organ tubuh yang lukanya sering tersembunyi hingga sulit sekali
disembuhkan. Satu saja bintik luka muncul maka rasa sakitnya akan terulang sama
persis kapanpun otak membuka ingatan akan luka tersebut. Bagaimana bisa sebuah
luka menggandakan diri dalam rentan waktu yang tak sebentar? Bukankah ia
seperti parasit yang enggan pergi padahal sudah di usir ribuan kali? Mari duduk
sebentar, kita akan bicara mengenai obat dari segala luka.
“Aku pernah dengar, luka itu bukan untuk dilupakan karena seberapa keras
kau berusaha melupakan justru ia akan semakin melekat dipalung hati, membuat
perasaanmu terluka semakin dalam, tanpa sadar usahamu melupakan justru membuat
otak begitu mengingatnya”.
Sebuah tatapan mata yang menahan cairan jatuh diujung kelopak menatapku
dalam. Seolah dari hatinya ada hal yang benar – benar ingin diutarakan. Aku
sedikit mengerti bahwa sosok dihadapanku gemetar menahan getir dari pahitnya
kenyataan.
“Kamu tidak mungkin merasakan apa yang sedang berkecamuk dihatiku bukan?
Sekilas kau hanya tahu aku menangis tanpa benar – benar faham seberapa dalam
luka itu. Bagaimana bisa kau mengatakan untuk tak melupakan ingatan yang
membuatku merasa terluka? Sudah seharusnya aku berusaha membuang semua kenangan
tanpa memberikannya ruang untuk tetap tinggal”. Ia mengarahkan pandangan
kebawah, tak lagi menatapku.
Dengan posisi menunduk, air mata tentunya tidak lagi bisa ditahan
seperti sebelumnya. Dengan sempurna tetesan itu jatuh melalui sudut mata untuk
pertama kalinya, bulir air mata saling susul menjatuhkan diri. Bola matanya
mengkilat menatapku yang mulai iba, jemariku meraih tangan mungil yang mengepal
menahan gemetar. Emosinya benar – benar tidak stabil sekarang.
“Aku memang tidak bisa seutuhnya merasakan apa yang orang lain rasakan,
tapi percayalah bahwa kau bukan satu – satunya orang yang menderita karena luka
pada hatimu. Tidak perlu berusaha membuangnya jauh dari ingatan, karena otak
justru akan menandainya sebagai benang merah. Rengkuh luka itu, peluk ia dengan
lapang dada dan tempatkan ia disudut hatimu. Masih ada ruang penting dihatimu
yang bisa ditempati oleh rasa bahagia. Maafkan semua hal yang membuatmu
terluka, lapangkan hatimu untuk menerimanya. Maka ketika hatimu benar – benar
penuh dengan penerimaan, luka itu tidak akan terasa sakit lagi bahkan ketika
otak kembali memutar tayangannya yang sendu. Ketika penerimaan itu benar –
benar tumbuh, yakinlah luka itu tidak akan terasa sakit lagi, percayalah..”.
Tubuhnya menghambur kepelukanku, menangis sejadi – jadinya, terisak
begitu dalam. Nafasnya tersengal tak mampu lagi melontarkan kata yang muncul
dibenaknya. Sedang aku tidak lagi bagaikan seonggok kayu yang sekedar
mengiyakan apa yang ia anggap benar, mengangguk perlahan ketika ia meminta
persetujuan, bahkan bersandiwara seolah aku adalah pendengar yang baik. Perasaan
seperti itu tidak lagi bertengger dibenakku, karena aku telah tumbuh dari luka
masa lalu. Seolah tiga puluh menit yang lalu aku sedang mengulang diriku yang
dulu. Luka memang membuat anak manusia cepat sekali dewasa sebelum usianya. Kita
telah bicara mengenai penerimaan, dimana memaafkan adalah perjuangan melepaskan
diri dari luka yang selalu enggan pergi.
Esok kita akan belajar bagaimana
memaafkan orang lain sebagaimana kita memaafkan diri kita sendiri. Kita terlalu
lelah menahan benci, biarkan luka itu pergi dengan sendirinya. Membencinya justru
semakin memperparah luka yang ada. Sekali lagi kita benar – benar harus belajar
menahan diri dari godaan benci dan luka. Belajarlah membuka mata, melihat sisi
lain dari sebuah luka, meskipun amat menyakitkan mengapa kedatangannya membuat
yang lemah menjadi kuat?
0 komentar