Demi
jiwa yang ada dalam raga ini, sungguh rasanya aku ingin berontak menghalau
segala yang mengganggu kenyamanan hidupku tapi itu sama sekali tidak mungkin.
Ada satu rasa yang membuatku pasrah pada
keadaan ini, satu rasa yang mungkin telah banyak muncul dibenak setiap anak
pada orang tuanya. Aku sungguh nyiris pada setiap hal yang kulalui.
Bagaimana bisa aku tertawa untuk sekedar menutupi airmata yang menetes deras dalam hati. Aku munafik! Memang benar, demi membohongi diri dan sekitar aku menampakkan hal berbeda antara tindakan dan hati, kukira kebohongan ini mampu membuaiku hingga lupa perasaanku. Semua ini bermula saat aku harus merelakan mimpiku dan usahaku demi sebuah rasa pada wanita paruh baya yang kupanggil ibu. Mati –matian aku membangun setiap inci mimpi itu hingga bangunan itu harus roboh seketika. Nafasku terasa berat sedang hatiku begitu sesak saat mengingat mimpi itu.
Sialnya lagi ingatan itu selalu muncul dalam hitungan detik. Aku tersiksa atau malah menyiksa diriku sendiri? Kelak aku besar nanti aku ingin kuliah dibangunan megah bernama universitas dengan ribuan mahasiswa. Aku bahkan terlihat seperti psikopat yang berburu mimpi kecilnya. Ruang kamarku penuh dengan deretan list yang kupersiapkan untuk tes masuk universitas nantinya, bukan persiapan menunggu bulan tapi semua itu kupersiapkan semenjak duduk dibangku sekolah menengah pertama. Tiap pagi hari ketika kelopak mataku membuka, hal pertama yang kulakukan adalah mengelupas tempelan kertas berisi hitungan waktu yang tersisa untuk masuk unviersitas.
Seringkali wanita baruh baya itu menegur karena cat tembok ikut terbawa lem kertas yang kutempel. Kuanggap potongan – potongan kertas itu sebagai waktu yang tersisa dimasa mendatang. Kuartikan bahwa nyawaku juga berkurang setiap kali kukelupas tempelan kertas itu dari tembok. Tak terbayangkan betapa banyak potongan kertas itu bukan? Hitung saja bila dalam satu tahun terdapat dua belas bulan dan masa untuk masuk universitas masih sekitar enam tahun kedepan. Bisa diartikan dua belas bulan dikali enam, kalian hitunglah sendiri. Tiap jarum jam berlari kearahnya, aku juga ingin berlari kearahku. Itu semua feedback dari apa yang kulakukan tiga tahun yang lalu. Sekarang ini aku sedang menempuh kuliah semester tiga disalah satu sekolah tinggi komputer dikota kelahiran.
Semua ini tak berjalan begitu saja, perlu perjuangan dan pengorbanan yang cukup menguras pikiran. Awal langkahku saat menempuh masa – masa akhir sekolah menengah atas. Orang bilang, masa putih abu – abu adalah masa terindah dalam fase hidup. Tapi teori itu tak berlaku padaku, masa abu – abu putih adalah masa penuh peluh dan darah.Tahun pertama masuk aku harus terpisah dari orang yang kusebut keluarga, diruang kotak sesak itu mencoba mencocokkan diri dengan kaum hawa yang asing. Sesekali aku melihat kelebatan raut jemu dari mereka, tapi aku mencoba diam.
Dalam diam aku membohongi diriku akan realita. Bagaimana atau apapun yang terjadi disini aku harus membohongi diriku bahwa aku akan baik – baik saja. Waktu untuk mandi bertambah menjadi dua kali lipat dari biasanya, separuh waktu itu kugunakan untuk meredam isak tangis. Sungguh aku tak ingin menjadi beban pikiran bagi wanita paruh baya yang dalam diam amat kusayangi, Ibu.
Bagaimana bisa aku tertawa untuk sekedar menutupi airmata yang menetes deras dalam hati. Aku munafik! Memang benar, demi membohongi diri dan sekitar aku menampakkan hal berbeda antara tindakan dan hati, kukira kebohongan ini mampu membuaiku hingga lupa perasaanku. Semua ini bermula saat aku harus merelakan mimpiku dan usahaku demi sebuah rasa pada wanita paruh baya yang kupanggil ibu. Mati –matian aku membangun setiap inci mimpi itu hingga bangunan itu harus roboh seketika. Nafasku terasa berat sedang hatiku begitu sesak saat mengingat mimpi itu.
Sialnya lagi ingatan itu selalu muncul dalam hitungan detik. Aku tersiksa atau malah menyiksa diriku sendiri? Kelak aku besar nanti aku ingin kuliah dibangunan megah bernama universitas dengan ribuan mahasiswa. Aku bahkan terlihat seperti psikopat yang berburu mimpi kecilnya. Ruang kamarku penuh dengan deretan list yang kupersiapkan untuk tes masuk universitas nantinya, bukan persiapan menunggu bulan tapi semua itu kupersiapkan semenjak duduk dibangku sekolah menengah pertama. Tiap pagi hari ketika kelopak mataku membuka, hal pertama yang kulakukan adalah mengelupas tempelan kertas berisi hitungan waktu yang tersisa untuk masuk unviersitas.
Seringkali wanita baruh baya itu menegur karena cat tembok ikut terbawa lem kertas yang kutempel. Kuanggap potongan – potongan kertas itu sebagai waktu yang tersisa dimasa mendatang. Kuartikan bahwa nyawaku juga berkurang setiap kali kukelupas tempelan kertas itu dari tembok. Tak terbayangkan betapa banyak potongan kertas itu bukan? Hitung saja bila dalam satu tahun terdapat dua belas bulan dan masa untuk masuk universitas masih sekitar enam tahun kedepan. Bisa diartikan dua belas bulan dikali enam, kalian hitunglah sendiri. Tiap jarum jam berlari kearahnya, aku juga ingin berlari kearahku. Itu semua feedback dari apa yang kulakukan tiga tahun yang lalu. Sekarang ini aku sedang menempuh kuliah semester tiga disalah satu sekolah tinggi komputer dikota kelahiran.
Semua ini tak berjalan begitu saja, perlu perjuangan dan pengorbanan yang cukup menguras pikiran. Awal langkahku saat menempuh masa – masa akhir sekolah menengah atas. Orang bilang, masa putih abu – abu adalah masa terindah dalam fase hidup. Tapi teori itu tak berlaku padaku, masa abu – abu putih adalah masa penuh peluh dan darah.Tahun pertama masuk aku harus terpisah dari orang yang kusebut keluarga, diruang kotak sesak itu mencoba mencocokkan diri dengan kaum hawa yang asing. Sesekali aku melihat kelebatan raut jemu dari mereka, tapi aku mencoba diam.
Dalam diam aku membohongi diriku akan realita. Bagaimana atau apapun yang terjadi disini aku harus membohongi diriku bahwa aku akan baik – baik saja. Waktu untuk mandi bertambah menjadi dua kali lipat dari biasanya, separuh waktu itu kugunakan untuk meredam isak tangis. Sungguh aku tak ingin menjadi beban pikiran bagi wanita paruh baya yang dalam diam amat kusayangi, Ibu.
Tak
terasa waktu mengantarkanku kebangku akhir SMA, di tempat ini aku harus
menyesuaikan waktu menjadi dua bagian, satu untuk pembelajaran formal ilmu
agama dipesantren. Dan karena inilah persiapan untuk menghadapi Ujian Nasional
dipercepat, empat bulan lebih awal dari sekolah formal lainnya. Tuhan
mendengarku, disaat seperti itulah seorang alumni pesantren membawa info
beasiswa kuliah dari diknas.
Aku girang bukan main, setiap harinya aku menyempatkan diri menerobos ruang guru untuk menanyakan info lebih lanjut, kuharap ada guru yang berkenan membantuku. Hasilnya tetap saja nihil, para guru rasanya tak punya waktu lebih untuk sekedar melihat usahaku. Nafasku sesak menahan kecewa setiap kali menginjakkan kaki dilantai sekolah. Perasaan demi perasaan muncul disela himpitan ujian nasional yang menghadang. Bukannya mendukung, kebanyakan makhluk justru tertawa sinis melihat usahaku meraih beasiswa tersebut. Bahkan satu kalimat yang sangat membuatku amat terpukul, “mau ujiannya gak lulus apa, kok ngotot banget pengin kuliah”.
Aku girang bukan main, setiap harinya aku menyempatkan diri menerobos ruang guru untuk menanyakan info lebih lanjut, kuharap ada guru yang berkenan membantuku. Hasilnya tetap saja nihil, para guru rasanya tak punya waktu lebih untuk sekedar melihat usahaku. Nafasku sesak menahan kecewa setiap kali menginjakkan kaki dilantai sekolah. Perasaan demi perasaan muncul disela himpitan ujian nasional yang menghadang. Bukannya mendukung, kebanyakan makhluk justru tertawa sinis melihat usahaku meraih beasiswa tersebut. Bahkan satu kalimat yang sangat membuatku amat terpukul, “mau ujiannya gak lulus apa, kok ngotot banget pengin kuliah”.
Kali
ini aku tak mau merasakan sakit hati lagi, aku akan menunjukan bahwa diri yang
mereka sepelekan ini akan jadi subyek yang selalu disebut dimana tempat. Itu
janjiku, dan sebagai langkah awal menepatinya kukerok habis tabungan untuk
mendaftar ujian masuk perguruan tinggi, sisanya kugunakan untuk browsing materi ujian masuk perguruan
tinggi tahun sebelumnya. Bukan hal mudah memang membagi waktu untuk beberapa
urusan.
Jika sebelumnya waktuku mempunyai dua bagian, kini waktu harus kupecah lagi menjadi tiga bagian, antara sekolah formal (persiapan ujian nasional), aktivitas pesantren, dan ujian masuk perguruan tinggi. Dulu bukan hal mudah untuk mendapat ube rampe ujian masuk perguruan tinggi, disisi lain aku sangatlah gaptek (gagap teknologi). Aku mencatat secara manual dibuku tulis setiap soal yang kutemukan diinternet, bila kuhitung ada tiga buku yang berisi soal – soal latihan ujian masuk pergiruan tinggi, isi dari tiap buku ada 58 lembar, jadi 58 lembar dikali tiga hasilnya 174 lembar. Jika mengingat hal ini aku tersenyum kecut, entah terkesan lucu atau bodoh.Setelah ujian nasional berlalu, aku punya banyak sekali waktu dirumah, istilah kerennya mudik. Lebih gilanya lagi, tak terbesit sedikitpun kekhawatiran akan hasil ujian nasional nanti. Entah kenapa aku terlampau percaya diri bisa lulus.
Firasatku memang benar, bahkan diacara wisuda namaku disebut sebagai siswi dengan nilai ujian bahasa inggris terbaik. Rasanya beribu bunga mekar didadaku sedang udara sejuk Himalaya menyambar wajahku. Selang beberapa hari aku membuka website pengumuman hasil ujian masuk perguruan tinggi, ada ucapan selamat anda lulus di pilihan pertama. Tulisan itu tertera jelas dengan header besar berfont tebal, rupanya aku diterima disalah satu universitas negeri yang cukup tersohor diJogjakarta. Setelah pertimbangan dari keluarga, aku dan wanita paruh baya, Ibu, datang ke universitas tersebut untuk cek kesehatan serta mengurus administrasi. Ada rasa bahwa pembuktian ini bisa kujadikan cambukan bagi mereka yang dulu menertawakan mimpiku.
Bukankah jelas dalam firmanNya, bahwa Alloh tak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang merubahnya. Dan kini sudah kuubah nasibku dengan usahaku. Tak lagi terpikirkan seberapa sakit dan terpukulnya aku saat ditertawakan dulu, kini ku tuai hasil keringatku. Berita bahagia bertubi - tubi datang menghampiri, dan terakhir tawaran beasiswa full datang dari yayasan yang tak berdiri tak jauh dari pesantren dan sekolahku dulu. Melalui bebarapa pertimbangan, pada akhirnya ku lepaskan tiket masuk universitas di Jogja dan menukarnya dengan tiket beasiswa dikota sendiri. Setiap kali jam perkuliahan usai, dengan mantab ku lewati bangunan yang dulu menertawakanku. Sekilas kulihat disana para makhluk menunduk pelan kearahku.
Jika sebelumnya waktuku mempunyai dua bagian, kini waktu harus kupecah lagi menjadi tiga bagian, antara sekolah formal (persiapan ujian nasional), aktivitas pesantren, dan ujian masuk perguruan tinggi. Dulu bukan hal mudah untuk mendapat ube rampe ujian masuk perguruan tinggi, disisi lain aku sangatlah gaptek (gagap teknologi). Aku mencatat secara manual dibuku tulis setiap soal yang kutemukan diinternet, bila kuhitung ada tiga buku yang berisi soal – soal latihan ujian masuk pergiruan tinggi, isi dari tiap buku ada 58 lembar, jadi 58 lembar dikali tiga hasilnya 174 lembar. Jika mengingat hal ini aku tersenyum kecut, entah terkesan lucu atau bodoh.Setelah ujian nasional berlalu, aku punya banyak sekali waktu dirumah, istilah kerennya mudik. Lebih gilanya lagi, tak terbesit sedikitpun kekhawatiran akan hasil ujian nasional nanti. Entah kenapa aku terlampau percaya diri bisa lulus.
Firasatku memang benar, bahkan diacara wisuda namaku disebut sebagai siswi dengan nilai ujian bahasa inggris terbaik. Rasanya beribu bunga mekar didadaku sedang udara sejuk Himalaya menyambar wajahku. Selang beberapa hari aku membuka website pengumuman hasil ujian masuk perguruan tinggi, ada ucapan selamat anda lulus di pilihan pertama. Tulisan itu tertera jelas dengan header besar berfont tebal, rupanya aku diterima disalah satu universitas negeri yang cukup tersohor diJogjakarta. Setelah pertimbangan dari keluarga, aku dan wanita paruh baya, Ibu, datang ke universitas tersebut untuk cek kesehatan serta mengurus administrasi. Ada rasa bahwa pembuktian ini bisa kujadikan cambukan bagi mereka yang dulu menertawakan mimpiku.
Bukankah jelas dalam firmanNya, bahwa Alloh tak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang merubahnya. Dan kini sudah kuubah nasibku dengan usahaku. Tak lagi terpikirkan seberapa sakit dan terpukulnya aku saat ditertawakan dulu, kini ku tuai hasil keringatku. Berita bahagia bertubi - tubi datang menghampiri, dan terakhir tawaran beasiswa full datang dari yayasan yang tak berdiri tak jauh dari pesantren dan sekolahku dulu. Melalui bebarapa pertimbangan, pada akhirnya ku lepaskan tiket masuk universitas di Jogja dan menukarnya dengan tiket beasiswa dikota sendiri. Setiap kali jam perkuliahan usai, dengan mantab ku lewati bangunan yang dulu menertawakanku. Sekilas kulihat disana para makhluk menunduk pelan kearahku.