Berbagi Pengalaman sebagai Tim Survei Tradisi dan Kebudayaan Banjarnegara (Lestarinya tradisi Dayakan)
12.35.00Numpang foto di tengah pejalanan |
Kami tergabung dalam sebuah tim
survei dalam rangka seraserahan tradisi dan kebudayaan banjarnegara. Satu tim
terdiri dari empat orang dimana kami mengemban tugas ke desa terkait untuk
meninjau langsung tradisi dan kebudayaan yang belum terdata oleh dinas
kebudayaan dan pariwisata (Dinbudpar) kabupaten Banjarnegara. Tempatnya cukup
di sebut pedalaman karena jauh dari perkotaan dan akses jalan yang sulit.
Dengan dua motor kami menuju ke rumah kepala desa dan sesepuh terkait. Sebagai
pendatang tentu kami harus faham anggah – ungguh walaupun kedatangan kami hanya
sekedar meninjau tradisi desa terkait. Membutuhkan waktu tempuh dua jam untuk
sampai di rumah kepala desa. Alangkah
terkejutnya kami saat rumah beliau penuh sesak dengan sekumpulan wanita
berjilbab berseragam hijau muda. Nampaknya sedang ada kegiatan atau pengajian
ormas disana. Di tengah perjalanan, sebenarnya kami bisa merasakan padatnya
jalan oleh mobil dan kendaraan roda dua, nampaknya mustahil jika jalan desa
bisa sepadat itu kecuali ada kegiatan yang akbar. Karena bingung harus
mengambil sikap apa, lalu kami pun memilih menunggu di depan rumah tepatnya di
belakang panggung yang di dirikan. Bukannya kami terlalu penakut ataupun
terlampau malu melintas di depan panggung, hanya saja kami menjaga sikap di
desa yang terkenal anggah – ungguh dan sangat sopan. Rasanya tak enak hati jika
kami meninggalkan image yang tak sopan sedangkan kami juga mengemban amanah
organisasi. Pastinya bukan nama baik kami yang dipertaruhkan karena masyarakat desa
tersebut sama sekali tak mengenal kami, akan tetapi nama baik organisasi yang
pasti akan terbawa.
Dari ke
empat anggota, saya bertugas sebagai koordinator tim. Pantas jika tanggung
jawab lebih di bebankan kepada saya. Matahari bersinar sangat terik seolah
membakar kulit. Mengambil inisiatif, saya menghampiri meja registrasi untuk
menanyakan lamanya acara tersebut. Entah karen amat baik hati atau mungkin tak
tega melihat kami bak cacing kepanasan, beliau memegang tangan saya lalu
menuntunnya tanpa meminta ijin atau bertanya saya bersedia atau tidak.
“ Ow tim
survei to, mari mba, saya antar ke ndalem nya pak lurah. Lewat sini saja karena
tidak ada jalan lain” terang beliau sembari menuntun tanganku. Ketiga teman
langsung mengikuti di belakangku.
Saya benar –
benar tidak kuasa menolak niat baik ibu tersebut. Belum sempat bernafas lega,
saya terhenyak karena ibu tersebut melintas didepan panggung dimana seorang
pria paruh baya sedang memberikan sambutan. Alamak! Betapa tidak sopannya kami,
menyita perhatian pemirsa dari sang orator. Antara kaget, heran dan serba salah
kami melintas tanpa bisa menolak, karna tak ada jalan lain dan tak tega rasanya
menolak niat baik wanita tersebut. Sesampainya diteras depan, kami bertambah
bingung karena diantara ramainya umat, justru kediaman beliau kosong. Hanya
terjadi berbagai hidangan di atas meja. Wanita paruh baya yang mengantar kami
pun sudah pergi secepat kilat.
Ditengah
kebingungan kami, melintas wanita muda berparas cantik. Aku dengan sikap
meluncurkan pertanyaan seputar pemilik rumah dari orang nomor satu di desa itu.
“aduh mba,
gimana ya saya bingung kalau harus
menjawab sekarang, saya lagi tergesa sekali” jawabnya dengan nafas yang memburu
menahan letih. Dalam hitungan detik, wanita muda itu berlari meninggalkan kami
yang masih termangu. Dari kejauhan kami bisa melihat wanita tersebut terbirit
menaiki panggung yang lenggang kosong karena pria paruh baya, sang orator tadi
telah turun meninggalkan pemirsa yang mulai mencari kanan – kiri dimana pemandu
acaranya. Melihat itu kami faham, siapa wanita cantik yang terbirit tadi.
Setelah
menunggu setengah jam, seorang nenek mempersilahkan kami masuk. Sembari
menunggu kepala desa datang, kami pun mempersiapkan segala perkakas wawancara
nantinya. Saya bertugas menjadi
penyambung lidah dari kedua belah pihak. Dan sekali lagi adrenalinku kembali
teruji ketika melihar sang orator yang kami lalui didepan panggung tadi
ternyata seorang lurah (kepala desa) yang kami tuju. Antara menahan rasa malu,
menahan tawa dan rasa tak enak hati, ku beranikan diri menanyakan berbagai
pertanyaan dasar 5W + 1H. Melalui hal tersebut sepertinya kami sedang
memperagakan iklan permen, nano-nano rasanya. Haha
Dan kami
belajar untuk menempuh satu tujuan itu butuh kesabaran dan menyisihkan perasaan
– perasaan yang lain.
0 komentar