Lagu Cinta dalam Gema Takbir
09.10.00
Bukan sekedar untaian kata tanpa makna yang kubuat malam
ini. Malam dimana cinta seolah memenuhi ruang hati yang belum pernah
tersinggahi. Sang pangeran dengan kuda besi yang kini berdiri didepan istana
keluargaku. Memetik gitar sembari menyanyikan lagu cinta. Ia berdendang
layaknya penyanyi profesioanal yang menggelar konser tunggal.
Samar – samar aku memerhatikan tingkahnya dibalik tirai
jendela kamar yang sengaja kubuat gelap. Sekedar khawatir jika ia bisa
melihatku dibalik jendela memerhatikannya. Sedikit khawatir akan respon yang
akan ayahku berikan. Tapi ia layaknya bayi yang merengek manja pada ibunya,
sedang sang ibu hanya tersenyum simpul sembari memperhatikan.
Dan itu semua dulu, sebelum ku tahu apa itu rasa cinta.
Memangnya sedalam apa makna cinta yang bisa kutafsirkan? Hingga sampai detik
ini cinta itu bagaikan lukisan abstrak yang terlihat serta terasa indah namun
tak bisa terdeskripsi apa dan bagaimana keindahan itu terasa. Sang pangeran
yang dulu berdendang merdu ditaman istana kini menjelma menjadi makhluk penuh
wibawa. Mungkin sang pangeran kini menjelma menjadi raja. Sedang aku putri yang
beristanakan kesederhanaan kini tetaplah putri yang mencari arah jalannya.
Berapa lama lagi waktu bisa merubah seorang putri menjadi ratu? Layaknya pangeran yang menjelma menjadi raja dalam kurun waktu yang tak mampu kuhitung.
Berapa lama lagi waktu bisa merubah seorang putri menjadi ratu? Layaknya pangeran yang menjelma menjadi raja dalam kurun waktu yang tak mampu kuhitung.
Dialah sang pangeran yang kudiamkan dalam cinta masa remaja.
Kini kembali menyapa dalam wujud yang
beda. Tatapan matanya kini teduh penuh kewibawaan, langkah kakinya secepat
keputusan hatinya malam itu, sedang wajahnya dipenuhi aura seorang imam. Lalu,
kagumkah aku dengan semua itu? Tepatnya kagum akan sang pangeran yang menyapa?
Atau memang rasa cinta yang kudiamkan telah mengendap hingga apapun yang kulihat
tentangnya adalah keindahan tiada tara?
Kuakui aku menyimpan rasa,bahkan memendamnya hingga kini.
Akupun tak tahu seberapa tebal endapan dari rasa cinta yang kini semakin
membebani hati. Tapi semua ini terlalu membuatku bingung? Dilema pada perasaan
hati! Aku terlampau kesulitan untuk membedakan tabir kagum dengan rasa yang
kusebut itu cinta. Aku terlalu naif untuk sekedar menyandingkan ketertarikan
dengan pesona. Entahlah aku serba salah mengucapkan segala tentangnya.
“apa kabar?” tersenyum dengan ramahnya kepadaku.
“wa’alaikumussalam”
.................................
Tanpa sadar aku salah tingkah saat ia menyapa. Bagaimana
bisa kabar malah kujawab salam. Entahlah padahal telingaku mendengar kata kabar
terlontar dengan dengan dari bibrnya. Otakku juga bisa merespon jawaban yang
harus kuberikan. Tapi kenapa mulutku justru menjawab salam, apakah ini yang
mereka katakan salah tingkah? Betapa malunya aku hingga tak berani menatapnya
kini. Sekilas aku melirik kearahnya, ia hanya mengusap kening hingga permukaan
rambut sebagai bahasa tubuh yang spontanitas terlontar. Masih sama seperti
kebiasaannya dulu.
Aku dan dia hanya terpatri dalam diam, tepatnya dalam
suasana yang tak tentu arah. Aku harus bicara apa kepadanya kini? Hanya
sesekali lirikan tak berarti darinya, begitupun dariku juga. Ah, aku terlalu
naif untuk berhadapan langsung dengannya. Setelah sekian lama waktu memisahkan,
entah kenapa aku seolah merasa beda. Tepatnya salah tingkah didepannya,
kupencet keypad handphone untuk sekedar mengalihkan fokus walaupun tak ada
pesan apalagi panggilan.
Tuhan, apa kiranya yang harus kubicarakan dengannya kini. Haruskah ku katakan rasa cintaku yang masih tersimpan untuknya. Haruskah kutanyakan lagi kata cinta yang pernah ia dendangkan dalam lagu cinta malam itu padaku? Masih berlakukah kiranya sampai saat ini. Tolong kirimkan malaikatmu tuk bisikan kata indah ataupun kata yang sekiranya tak nampak bodoh dihadapannya. Aku speechless, kuakui itu!
Tuhan, apa kiranya yang harus kubicarakan dengannya kini. Haruskah ku katakan rasa cintaku yang masih tersimpan untuknya. Haruskah kutanyakan lagi kata cinta yang pernah ia dendangkan dalam lagu cinta malam itu padaku? Masih berlakukah kiranya sampai saat ini. Tolong kirimkan malaikatmu tuk bisikan kata indah ataupun kata yang sekiranya tak nampak bodoh dihadapannya. Aku speechless, kuakui itu!
“gimana kuliah kamu?” serentak aku dan dia melontarkan kata.
Lagi – lagi kami salah tingkah hingga rasanya jantungku berdegup tak beraturan.
“eh maaf” ucapku
sekenanya kepadanya, sedangkan ia hanya tersenyum sipu layaknya menahan malu.
Bisa kulihat pipinya merona kemerahan. Sesekali ia mengusap rambut seperti
kebiasaannya dulu. Bahasa tubuhnya menandakan ia salah tingkah.
“Bolehkan aku pinjam handphone?”
Ia menunjukan ibu jarinya kearah handphone yang ku letakkan
diatas meja. Ku berikan kepadanya tanpa menatap apalagi mengarahkan pandangan
kearahnya kini.
“ini nomorku, sudah kusimpan dikontak handphonemu, kuharap
kita bisa menjalin komunikasi nanti malam”
“insyaAlloh, sudah dulu ya, sepertinya aku sudah terlambat
sekarang, assalamu’alaikum” celotehku memotong pembicaraannya. Pikirku daripada
aku semakin tampak bodoh dengan tingkah yang tak karuan ini, lebih baik aku
melarikan diri saja. Jujur, ada rasa senang saat ku tahu ia menyimpan nomornya
dihandphoneku. Tapi bukankah tak baik jika ku mengumbar rasa senang yang
berlebihan didepan lawan jenis?
Sesampainya dirumah aku terbayang wajahnya tadi siang
direstoran seafood. Bagaimana bisa setelah lebih dari sepuluh tahun aku dan dia
bertemu kembali ditempat yang dan waktu yang sama sekali tak pernah
kubayangkan. Takdirkah ini Tuhan? Tak sabar kiranya aku melihat jarum jam yang
bergerak melambat . ingin rasanya kuputar jam sore ini menjadi malam. Kiranya
apa yang akan ia bicarakan denganku. Akankah mengenai lagu cinta yang malam
itu. Entahlah! Akupun terombak rasa untuk memikirkannya.
Sesekali ku buka laptop untuk menulis diary hari ini. Ku
buka password dengan teliti agar aman semua rasa gundah gulana yang kutuang
dalam ketikan selama setahun belakangan ini. Dan tahukah jika semua tulisanku
tak pernah terlewatkan membahas tentangnya. Asytaghfirulloh.. sesungguhnya ini
juga disebut zina hati, tapi bagaimana Tuhan aku masih manusia awam yang pernah
bisa terlepas dari khilaf. Begitu pula rasa cinta yang kian lama mengendap
disanubari.
Someone calling you!
Nada dering mengagetkanku, ku raih handphone yang tergeletak
dibalik bantal berenda pink itu. Kulihat nama Ridho yang memanggil. Sekian jam
aku tak sabar menanti telephone darinya, kini justru aku yang bingung setelah
namanya muncul dilayar handphoneku kini.
“halo assalamu’alaikum” suaraku agak parau.
“wa’alaikumussalam, Zahra. Terganggukah dirimu dengan
telephoneku?”
“ah biasa saja, bagaimana kabarmu serta kabar keluargamu?”
jawabanku yang berusaha mencairkan ketegangan yang ada.
“Alhamdulilah baik, berhubung bulan depan sudah masuk
Ramadhan, emm... ada yang ingin kusampaikan kepadamu juga kepada teman
dekatmu,Naila”
Aku hanya menjawab sekenanya. Mana mungkin teman lama yang
menghilang berpuluh tahun, tiba – tiba kembali dengan cinta masa remaja.
Mungkin ia lupa akan lagu cinta yang terdendang dengan indah malam itu. Toh,
sama sekali ia tak membahas hal itu. Ia hanya bertanya mengenai keluargaku,
terlebih lagi ia menanyakan perihal teman dekatku, Naila. Remuk hatiku saat
kudengar ia mengucap berkalii – kali nama wanita lain kepadaku.
Kubisa menyimpulkan bahwa ia akan melamar Naila Ramadhan besok. Duh Gusti, sakit sekali hatiku saat ini. Langit – langit kamarku seolah ambruk menimpaku. Ah bahkan rasa sakit ini lebih dan lebih sakit lagi daripada kejatuhan beton sekalipun. Aku yang selalu mengacuhkan kata – kata serta lagu cinta darinya, aku yang selalu mendiamkan rasa cintanya mengendap dihatiku tanpa sepengetahuannya, dan aku yang diam – diam memendam rasa cinta kepadanya kini menahan sakit dalam derai airmata yang menetes.
Ada rasa penyesalan yang amat dalam, bagaimana bisa ku bersikap tak jelas kepadanya. Aku terlalu gengsi untuk sekedar mengakui bahwa aku juga mencintainya. Tapi kini, aku dirundung rasa menyesal karena mendiamkannya. Seharusnya ku katakan saja kalau aku juga ada rasa kepadanya. Toh dia juga tak mungkin mengajakku pacaran. Karena yang kutahu ia anak orang paling alim dikotanya.
Kubisa menyimpulkan bahwa ia akan melamar Naila Ramadhan besok. Duh Gusti, sakit sekali hatiku saat ini. Langit – langit kamarku seolah ambruk menimpaku. Ah bahkan rasa sakit ini lebih dan lebih sakit lagi daripada kejatuhan beton sekalipun. Aku yang selalu mengacuhkan kata – kata serta lagu cinta darinya, aku yang selalu mendiamkan rasa cintanya mengendap dihatiku tanpa sepengetahuannya, dan aku yang diam – diam memendam rasa cinta kepadanya kini menahan sakit dalam derai airmata yang menetes.
Ada rasa penyesalan yang amat dalam, bagaimana bisa ku bersikap tak jelas kepadanya. Aku terlalu gengsi untuk sekedar mengakui bahwa aku juga mencintainya. Tapi kini, aku dirundung rasa menyesal karena mendiamkannya. Seharusnya ku katakan saja kalau aku juga ada rasa kepadanya. Toh dia juga tak mungkin mengajakku pacaran. Karena yang kutahu ia anak orang paling alim dikotanya.
Naila, betapa beruntungnya dirimu kini. Aku hanya diam
sembari mendengarkan ia menyebut serta membahas Naila dari seberang sana. Aku
sakit sekali Tuhan!
“sudah ya, aku sudah ngatuk. Aku faham apa yang kau maksud
tadi, insyaAlloh aku akan membantumu menemui Naila”
Sekilas ada jawaban darinya, tapi aku tak bisa mendengar
karena tombol merah sudah kutekan. Aku menagis tertahan diatas ranjang. Ku
berbicara pada diriku sendiri. Mengapa menyesal? Bukankah jodoh tak akan pernah
tertukar. Jika ia memang jodohmu, sikap diammu tak akan jadi soal baginya. Tapi
lihatlah sekarang, bukankah ia malah menanyakan wanita lain dihadapanmu, dan
sadarlah wanita itu sahabatmu. Sadarlah ia bukan pangeran seperti dulu. Ia bukan
pendendang lagu cinta ditaman istana dulu. Sadarlah Zahra!
Ku tarik nafas sedalam mungkin lalu kuhembuskan perlahan, ku
gerakkan tanganku untuk mengetik diatas laptop. Aku akan mengirim email ke
Naila mengenai hal ini.
“Naila, sahabatku. Aku ada berita bagus untukmu, tapi maaf
aku tak bisa menyampaikannya sekarang. Besok kita ketemu ditaman kota jam
09.00. on time ya? Awas kalau telat!
hehe”
Aku berusaha keras menulis email yang itu. Keesokan harinya
aku benar – benar menunggunya ditaman kota. Setelah itu, kuceritakan perihal
Ridho yang ingin menemuinya bersama orang tuanya. Apalagi jika bukan untuk mengkhitbah. Sekilas kulihat
matanya berbinar bahagia. Tapi ia tak menjawab sepatah katapun. Masih tersimpan
sakit bekas airmata yang bercecer malam tadi tapi ini bukan jadi dan memang
harusnya begitu. Lagi – lagi aku menghela nafas.
Tiga hari setelah setelah kusampaikan pesan Ridho kepadanya.
Naila mengirim email yang isinya ia sangat senang dengan kedatangan Ridho
berserta keluarganya, kebetulan keluarga besar dari Naila sedang berkumpul. Ia
sangat merasa nyaman dengan keluarga Ridho. Andai saja kamu bisa datang
menyaksikannya, Zahra.
Deg!
Kalimat terakhir dari pesan Naila, menggugah hawa malasku.
“andai saja kamu bisa menyaksikannya” bagaimana aku bisa hadir dalam acara
khitbah seorang pangeran yang kudiamkan cintanya, sedang ia kini mendekat ke
wanita yang kujadikan teman hidup selama diperantauan dulu. Ah betapa tragisnya
drama yang mengalir ini. Hari kini terlewat begitu cepat, tanpa terasa Ramadhan
menyapa. Kebetulan awal Ramadhan juga
hari yang istimewa bagiku. Awal ramadhan yang berbarengan dengan hari
ulang tahunku.
Dan mengenai Ridho, separuh endapan hati telah ku singkirkan. Aku tak akan mendapat cinta malam itu lagi. Disaat aku mulai tegar, justru Naila mengirimiku email yang mengatakan bahwa ia dan Ridho akan silaturahim kerumahku. Tepat hari pertama puasa atau tepatnya hari lahirku. Itu juga jika mereka masih ingat. Sempat juga aku berpikir mungkin Naila dan Ridho telah menikah tanpa sepengetahuanku. Toh mereka juga tak pernah membahas proses khitbah kepadaku. Mereka hanya berkata pertemuan dua keluarga. Maksud apa lagi jika bukan khitbah yang mereka maksudkan.
Dan mengenai Ridho, separuh endapan hati telah ku singkirkan. Aku tak akan mendapat cinta malam itu lagi. Disaat aku mulai tegar, justru Naila mengirimiku email yang mengatakan bahwa ia dan Ridho akan silaturahim kerumahku. Tepat hari pertama puasa atau tepatnya hari lahirku. Itu juga jika mereka masih ingat. Sempat juga aku berpikir mungkin Naila dan Ridho telah menikah tanpa sepengetahuanku. Toh mereka juga tak pernah membahas proses khitbah kepadaku. Mereka hanya berkata pertemuan dua keluarga. Maksud apa lagi jika bukan khitbah yang mereka maksudkan.
Ting tong ......ting
tong.....
Lekas ku tuju arah suara bel, ku buka pintu itu sepasang
wanita dan pria tampan berdiri berdampingan dihadapanku. Tak salah lagi
pikirku. Apalagi mereka bergandeng tangan. Jika belum resmi mana mungkin mereka
berani kontak fisik seperti itu. Pastilah kedatangan mereka untuk memberitahuku
akan pernikahan mereka.
“silahkan duduk, duh makin mesra aja sih kalian” godaku
untuk sekedar membuka pembicaraan. Aku berusaha tersenyum seriang mungkin
walaupun hatiku ingin menjerit terluka melihatnya.
“apaan sih, orang sama saudara sendiri kok dibilang mesra”
Naila menimpali dengan wajah sedikit manyun kearahku. Sedangkan Ridho hanya terkekeh.
“saudara? Bukankah kalian mungkin telah menikah? Ah sudahlah
jangan bercanda, ini sama sekali tidak lucu”
Aku menjawab dengan nada serius kali ini. Kami jadi terdiam
dalam suasana yang serba salah ini. Entah kenapa Ridho menyanyi kemudian bersimpuh dihadapanku. Tak salah
lagi ini lagu cinta yang ia dendangkan malam itu. Masih diliputi kebingungan,
aku hanya mampu terdiam mencoba menerka apa yang sebenarnya terjadi.
“Zahra, sebenarnya aku dan Naila ini masih satu nenek,
itulah mengapa kami saudara. Dan sebenarnya rasa cintaku tak pernah berkurang
ataupun terkikis oleh waktu. Ingatkah kau lagu cinta ini? Lalu maukah kau
menjadi pendamping hidupku kelak. Sudikah kau menjadi ratu untuk pria jelata
sepertiku?” Ridho bertutur layaknya pujangga yang meluluhlantahkan perasaan
hati pendengarnya. Mimpikah aku dengan semua ini.
Tidak perlu menunggu masa ta’aruf, kami sepakat untuk
melangsungkan pernikahan kami sehari setelah gema takbir memenuhi jagat ini.
Gema takbir penuh cinta yang terlontar dari pangeran cinta masa remaja yang
kudiamkan dulu. Endapan rasa yang menggema layaknya takbir penuh kemenangan
bagi kaum muslim. Begitu pula bagiku, rasa syukur penuh kemenangan atas cinta
dalam diam yanng kini merongrong jagat. Bahkan dalam diamnya cinta, tangan
Tuhan berkuasa atas segala takdir indah ini.
3 komentar
Bagus, cair akhirannya !
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusTerima Kasih ^_^
BalasHapus